Jakarta (ANTARA) - Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut adanya akulturasi budaya Indonesia dengan Tionghoa memberikan dampak yang signifikan terhadap kebudayaan Nusantara hingga saat ini.
“Akulturasi budaya Tionghoa memberi dampak signifikan dalam memperkaya keberagaman budaya Indonesia,” kata Fadli Zon pada pembukaan pameran Kongsi: Akulturasi Tionghoa di Nusantara di Museum Nasional, Jakarta, Senin.
Fadli mengatakan kekayaan budaya Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke sebelumnya telah mendapatkan pengaruh budaya negara lain. Misalnya seperti Tiongkok, India, Timur Tengah, Eropa hingga Amerika.
Percampuran budaya itu terjadi karena adanya faktor interaksi antara pedagang Tionghoa dengan warga lokal. Misalnya dalam dunia sastra, para penyair lokal yang awalnya menuliskan syair-syair menggunakan daun lontar atau kulit pohon, jadi menggunakan lembaran kertas yang dibawa orang-orang Tiongkok ke Nusantara kala itu.
Dari sisi kebudayaan, adanya faktor perkawinan dari dua ras yang berbeda menciptakan motif batik baru pada pakaian-pakaian yang dikenakan, seperti kebaya encim, kerah sanghai sampai baju koko.
Kemudian di dunia kuliner, muncul makanan berupa bakmi, teh, lumpia dan bakso. Menurutnya, semua kekayaan tersebut merupakan bukti konkret dari hubungan baik yang terjalin antara masyarakat Tionghoa dengan warga lokal.
“Dari rute percobaan maritim dari era Sriwijaya dan Majapahit, ke warisan peranakan yang terus berkembang hari ini, legasi ekoliterasi merupakan fitur yang menakjubkan dalam sejarah kita,” ujar dia.
Dalam kesempatan itu, Fadli turut menekankan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan telah menjadi melting point atau tempat bertemunya berbagai budaya tersebut.
Dengan demikian, dirinya berharap masyarakat dapat menjaga seluruh warisan budaya tersebut. Salah satunya melalui kunjungan ke museum guna menambah wawasan terkait sejarah bangsa baik dari sisi cerita maupun pengetahuan soal peninggalan sejarah lainnya.
Tian Xia
Kita lihat di Maluku, misalnya, etnis Tionghoa mengenal konsep Tian Xia yang menekankan bahwa semua manusia adalah bersaudara dan memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai kebahagiaan dan keharmonisan.
Konsep Tian Xia ini menjadi pondasi sehingga masyarakat keturunan Tionghoa bisa berbaur dan diterima di tengah budaya Indonesia yang beragam, tak terkecuali di Ambon, Maluku.
Konsep Tian Xia ini sendiri memiliki kemiripan dengan falsafah pela gandong yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Maluku. Kedua konsep itu sama-sama menekankan persaudaraan dan kekeluargaan satu sama lain.
Dengan landasan filosofis hidup yang seirama itu, maka tak mengherankan jika sebanyak lebih dari 40.000 orang Tionghoa di seluruh Maluku kini hidup berdampingan bahkan kawin-mawin dengan penduduk wilayah yang berjuluk bumi raja-raja ini.
Eksistensi etnis Tionghoa di Maluku semakin diperkuat dengan berdirinya sebuah klenteng atau rumah pemujaan bagi masyarakat Tionghoa di dataran tinggi Pulau Ambon. Suarna Giri Tirta namanya, tempat pemujaan dewa/dewi kepercayaan masyarakat Tionghoa di Maluku.
Setiap perayaan Imlek, klenteng ini selalu dikunjungi oleh masyarakat etnis Tionghoa di sekitaran Pulau Ambon. Tak banyak klenteng yang berdiri di Ambon, tetapi karena itu, keberadaan Suarna Giri Tirta justru menjadi pemersatu bagi Masyarakat Tionghoa di daerah ini.
“Ini adalah budaya orang Tionghoa, siapapun yang merasa memiliki darah keturunan Tionghoa boleh melakukan pemujaan di sini,” kata Ketua Walubi sekaligus tetua masyarakat Tionghoa Maluku, Welhelmus Jauwerissa.
Sejarah
Keberadaan masyarakat Tionghoa di Maluku memiliki posisi yang unik, karena jika melihat perjalanan sejarah di daerah itu, kentalnya budaya Eropa ala Portugis dan Belanda yang terasimilasi dengan kebudayaan masyarakat setempat seolah mengendapkan eksistensi Tionghoa.
Hingga saat ini belum dapat dipastikan bagaimana sejarah masuknya etnis Tionghoa ke Kepulauan Maluku. Kurangnya catatan-catatan sejarah tentang kedatangan masyarakat Tionghoa di Maluku membuat beberapa teori ahli menjadi tak begitu kuat.
Alhasil cerita turun temurun menjadi bekal utama bagi setiap masyarakat Tionghoa di Maluku untuk mengenang sejarah nenek moyang mereka.
Tak banyak catatan sejarah yang terungkap dari eksistensi etnis Cina di Maluku. Sumber-sumber terdahulu menyebut, keberadaan orang Tionghoa tercatat sejak Dinasti Tang pada tahun 618-906.
Namun, konon Maluku sudah tercatat dalam tambo dinasti Tang di negeri China sekitar tahun 618-906 yang menyebut tentang ‘Miliku’, yaitu suatu daerah yang dipakai sebagai patokan penentuan arah ke kerajaan Holing (Kalingga) yang ada di sebelah Barat.
Para ahli memperkirakan ‘Mi-li-ku’ ini sebagai Maluku, yang artinya sekurang-kurangnya Maluku sudah dikenal di negeri China pada abad ke-7.
Hal itu juga dibuktikan dengan cerita masyarakat. Menurut tetua Tionghoa Maluku lainnya, Kim Tan, beberapa nama tempat di Kota Ambon sendiri diambil dari istilah Tionghoa seperti Tantui yang dalam Bahasa Indonesia berarti Menjelajahi kaki, hal tersebut sesuai dengan letak geografis wilayah Tantui sendiri yang berada di dataran rendah pesisir Teluk Ambon dan Baguala.
Asimilasi Kebudayaan
Pada Maret 1978, pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap warganegara perlu membuktikan kewarganegaraannya.
Untuk mengajukan permohonan mendapatkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), WargaTionghoa-Indonesia yang memilih kewarganegaraan Indonesia kemudian diminta mengganti nama dan membuat SBKRI agar dapat tetap tinggal di Indonesia.
Penambahan atau penggantian nama etnis Tionghoa ini biasanya menggunakan nama Indonesia yang terdengar umum seperti Wijaya, Sanjaya, Tanoe dan lain sebagainya.
Uniknya di Maluku, etnis Tionghoa Maluku menggabungkan marga Tionghoa mereka dengan marga yang terdengar Maluku agar tak kehilangan identitas Tionghoa namun tetap melokal. Nama "marga" yang banyak disematkan tersebut adalah Jauwerissa, Tanner, Sutanner, Onggaria, Isakai, Lieber, Tanian dan banyak lagi.
Hal ini semakin merekatkan hubungan antara masyarakat Maluku dengan masyarakat Tionghoa Maluku. Budaya Tionghoa juga telah berbaur dengan budaya lokal Maluku, menciptakan budaya yang unik dan kaya.
Meskipun demikian, perayaan Imlek dan Cap Go Meh masih dilestarikan dengan penuh semangat. Ini menunjukkan bahwa keberagaman budaya dan agama di daerah Ambon ini.
Baca juga: Masyarakat Tionghoa di bumi Pela Gandong Maluku
Baca juga: 1.500 orang berbagai etnis meriahkan Festival Imlek Bali