Kabupaten Bogor (ANTARA) - Pengamat sosial budaya dari Universitas Pakuan Dr Agnes Setyowati menekankan pentingnya memahami penyebab, dampak, hingga solusi dalam mengatasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
"Fenomena ini tidak terbatas pada satu gender atau satu jenis hubungan, sehingga penting memahami untuk mengatasi masalah ini," kata Agnes dalam keterangannya di Cibinong, Minggu.
Ia menjelaskan, KDRT dapat dilakukan oleh berbagai pihak dalam keluarga, termasuk suami, istri, orang tua, anak, atau bahkan anggota keluarga lainnya. Masing-masing pelaku mungkin memiliki motivasi dan konteks yang berbeda.
Misalnya, seorang suami mungkin menggunakan kekerasan sebagai bentuk dominasi, sementara seorang istri bisa melakukannya sebagai respons terhadap kekerasan yang diterimanya.
Anak-anak, kata Agnes, juga bisa terlibat, baik sebagai pelaku maupun sebagai saksi, yang dapat mempengaruhi perilaku mereka di masa depan.
Menurut dia, berbagai faktor dapat menjadi penyebab KDRT, di antaranya pengalaman masa lalu, trauma, dan masalah kesehatan mental seringkali berkontribusi pada perilaku kekerasan. Pelaku yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh kekerasan memiliki potensi mengulangi pola tersebut.
Baca juga: Pengamat: Perlu pendekatan budaya atasi KDRT di Bogor
"Dinamika hubungan yang tidak sehat, seperti ketidaksetaraan kekuasaan atau komunikasi yang buruk, dapat memicu KDRT. Ketika satu pihak merasa terancam atau tidak berdaya, mereka mungkin bereaksi dengan kekerasan," ujar dia.
Norma-norma budaya yang mengizinkan atau memfasilitasi kekerasan dalam rumah tangga, kata dia, juga berperan dalam terjadinya KDRT. Dalam beberapa budaya, kekerasan dianggap sebagai cara yang sah untuk menyelesaikan konflik.
Tekanan ekonomi dan ketidakstabilan finansial dapat meningkatkan stres dalam rumah tangga, yang pada gilirannya dapat memicu kekerasan. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seringkali menyebabkan frustrasi yang berujung pada perilaku agresif.
Agnes menjelaskan, dampak KDRT sangat luas dan menyentuh berbagai aspek kehidupan individu dan keluarga. Korban KDRT sering mengalami cedera fisik, trauma psikologis, depresi, dan gangguan kecemasan. Dampak ini bisa bertahan lama, bahkan setelah kekerasan berakhir.
"KDRT juga merusak hubungan antara anggota keluarga dan dapat menyebabkan isolasi sosial. Korban mungkin merasa malu atau takut untuk mencari bantuan, sehingga semakin terjebak dalam siklus kekerasan," ujar Agnes.
Baca juga: Pengamat sebut Cakada punya PR tingkatkan kepedulian warga terhadap budaya
Anak-anak yang menyaksikan atau mengalami KDRT cenderung mengalami gangguan emosional dan perilaku. Mereka mungkin menginternalisasi kekerasan sebagai cara yang sah untuk menyelesaikan konflik, yang dapat menyebabkan generasi kekerasan berikutnya.
"Mengatasi KDRT memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan individu, keluarga, dan masyarakat," kata dia
Ia mengatakan program pendidikan yang menekankan kesetaraan gender, komunikasi yang sehat, dan resolusi konflik harus diperkenalkan sejak dini. Kesadaran masyarakat tentang dampak KDRT juga perlu ditingkatkan.
"Penyediaan layanan dukungan bagi korban KDRT, seperti tempat perlindungan, konseling, dan akses ke bantuan hukum adalah langkah penting dalam membantu mereka keluar dari situasi berbahaya," ujarnya.
Menurut dia, program rehabilitasi yang fokus pada pengembangan diri dan pengendalian emosi bagi pelaku KDRT juga perlu diperkuat. Pendekatan yang berbasis pada pemahaman tentang dampak kekerasan diharapkan dapat membantu pelaku mengubah perilaku mereka.
Baca juga: Pengamat ingatkan aspek budaya dalam susun visi-misi bagi cakada
Masyarakat, kata dia, harus dilibatkan dalam upaya pencegahan KDRT. Diskusi terbuka tentang isu ini dapat membantu mengubah pandangan dan norma yang mendukung kekerasan.
"Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku KDRT, serta kebijakan yang melindungi korban, sangat penting. Namun, kebijakan tersebut harus diimbangi dengan program rehabilitasi yang memberikan kesempatan bagi pelaku untuk berubah," tuturnya.