Kabupaten Bogor (ANTARA) - Pengamat sosial budaya dari Universitas Pakuan Dr Agnes Setyowati menyebutkan perlunya pendekatan budaya untuk mengatasi fenomena beberapa kasus KDRT yang belakangan terjadi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
"Dalam konteks budaya, KDRT tidak hanya dipengaruhi oleh faktor individu, tetapi juga oleh norma dan nilai yang berkembang dalam masyarakat," kata Agnes dalam keterangannya di Cibinong, Minggu.
Setelah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa seorang selebgram Cut Intan Nabila di Sukaraja, kali ini menimpa NS yang juga merupakan warga Sukaraja. NS dalam kondisi sekarat setelah dibacok oleh suaminya, SN (36) menggunakan golok pada beberapa bagian tubuh NS.
Baca juga: Suami istri di Bekasi jadi tersangka pembunuhan anak sendiri
Agnes menyebutkan, penting untuk memahami penyebab, dampak, dan cara penyelesaian KDRT dari perspektif budaya.
Salah satu penyebab KDRT, kata dia, adalah norma budaya yang menganggap bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga memiliki kuasa yang dominan. Karena dalam banyak kasus, masyarakat masih memegang teguh pandangan yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat.
"Hal ini menciptakan ruang bagi laki-laki untuk melakukan kekerasan sebagai cara untuk mempertahankan kontrol dan otoritas dalam keluarga," ujar Agnes.
Selain itu, faktor ekonomi juga berperan penting. Banyak keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi, yang dapat menyebabkan stres dan ketegangan dalam rumah tangga.
Ketika beban ekonomi semakin berat, individu ada yang mencari pelampiasan melalui kekerasan. Dalam konteks ini, kata Agnes, ketidakstabilan ekonomi dapat memicu konflik dan kekerasan, yang seringkali diarahkan pada anggota keluarga, terutama perempuan dan anak-anak.
Baca juga: PN Cibinong vonis Armor Toreador 4 tahun 6 bulan penjara dalam kasus KDRT
Dampak KDRT sangat luas dan merugikan, tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Korban KDRT, terutama perempuan, sering mengalami trauma fisik dan psikologis yang berkepanjangan.
Hal ini dapat mengganggu kesehatan mental mereka dan menghambat kemampuan mereka untuk berkontribusi di masyarakat. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan KDRT juga berisiko mengalami gangguan perkembangan, baik secara fisik maupun emosional.
"Mereka mungkin saja meniru perilaku kekerasan yang mereka saksikan, sehingga menciptakan siklus kekerasan yang sulit diputus," sebut Agnes.
Dari perspektif sosial, KDRT dapat merusak struktur keluarga dan komunitas. Ketika kekerasan menjadi hal yang biasa, rasa saling percaya dan solidaritas dalam masyarakat akan menurun. Selain itu, stigma terhadap korban KDRT seringkali membuat mereka enggan untuk melaporkan kejadian tersebut, yang pada gilirannya memperburuk situasi dan menghalangi upaya pencegahan.
Baca juga: Kapolres: KDRT penyiraman air keras di Sukabumi terencana
Menurut Agnes, untuk mengatasi KDRT di Bogor, pendekatan yang berbasis budaya sangatlah penting. Pertama, pendidikan dan penyuluhan tentang hak asasi manusia dan kesetaraan gender harus ditingkatkan.
Ia menekankan, masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa kekerasan bukanlah solusi untuk menyelesaikan konflik dan bahwa setiap individu berhak untuk hidup tanpa kekerasan.
Kedua, perlu ada upaya untuk mengubah norma-norma budaya yang mendukung KDRT. Ini bisa dilakukan melalui edukasi untuk publik yang melibatkan tokoh masyarakat dan pemuka agama. Dengan melibatkan tokoh-tokoh yang dihormati, pesan tentang pentingnya menghormati perempuan dan menolak kekerasan dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Ketiga, penting untuk menyediakan layanan dukungan bagi korban KDRT, seperti tempat penampungan dan layanan konseling. Dengan memberikan akses yang lebih baik kepada korban, mereka dapat mendapatkan bantuan yang dibutuhkan untuk memulihkan diri dan keluar dari situasi berbahaya.
"Dalam kasus yang serius, penting juga untuk melibatkan penegak hukum. Pelaku harus menyadari bahwa tindakan mereka memiliki konsekuensi hukum," kata Agnes.
Baca juga: Ini tersangka suami aniaya istri hingga sekarat di Bogor