Bank Indonesia (BI) pada pertengahan bulan Juli 2017 melaporkan jumlah Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per akhir kuartal I 2017 mencapai 326,3 Miliar dollar AS. ULN Indonesia dikelompokkan berdasarkan tiga kelompok, yaitu Pemerintah, Bank Sentral, dan swasta. Angka ini mengalami kenaikan 2,9 persen secara tahunan (yoy) dibandingkan pada kuartal sebelumnya yang mencapai 2 persen (yoy). Peningkatan ULN dipengaruhi lebih kecilnya kontraksi pertumbuhan ULN swasta pada kuartal I 2017, yakni minus 3,6 persen (yoy) dibandingkan minus 5,5 persen (yoy) pada kuartal sebelumnya. Adapun ULN publik tumbuh melambat dari 11 persen pada kuartal I 2016 menjadi 10 persen (yoy) pada kuartal I 2017. Dengan perkembangan tersebut, rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir kuartal I 2017 tercatat relatif stabil di kisaran 34 persen sebagaimana pada akhir kuartal IV 2016. Namun menurun jika dibandingkan kuartal I 2016 yang sebesar 37 persen.
Keterangan resmi yang diekspose oleh BI, termasuk posisi ULN swasta pada akhir kuartal I 2017 yang terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik, gas dan air bersih, memicu reaksi lebih jauh dari para pakar ekonomi dan tak terkecuali para politisi yang turut memantau perkembangan ULN dan mengkritisi dampak ULN dalam mendukung optimalisasi pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas makro ekonomi dalam negeri. Kritikan terhadap kenaikan Utang Pemerintah pun akhirnya tertuju pada Pemerintahan Jokowi dengan berbagai politisasi berkaitan dengan posisi ULN Indonesia.
Posisi total utang Pemerintah saat Jokowi baru dilantik menjadi Presiden pada tahun 2014 telah mencapai sekitar Rp2.700 triliun. Dan kini, posisi total hutang Pemerintah per Juni 2017 bertambah menjadi Rp3.700 triliun. Meskipun ada penambahan ULN mencapai Rp1.000 triliun, namun menurut Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menko Kemaritiman, total utang Pemerintah dinilai belum seberapa apabila dilihat dari rasio PDB. Persentase rasio utang terhadap PDB Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan Negara-Negara lain. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan Pemerintah dalam mengatasi beban keuangan negara adalah Debt to GDP Ratio. Debt to GDP Ratio merupakan rasio ULN Pemerintah terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Rasio ini menggambarkan kesehatan penggunaan ULN oleh Pemerintah.
Berdasarkan UU Nomor: 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara, untuk batas rasio ULN dijelaskan dalam pasal 12 ayat 3 menerangkan bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto. Inilah yang menjadi acuan Pemerintah Indonesia untuk menyatakan ULN saat ini masih aman. Hal ini juga menjadi indikasi awal bahwa anggaran Pemerintah lebih sehat, karena kemampuan membayar ULN mengalami peningkatan. Namun demikian, pengelolaan ULN harus tetap menjadi perhatian Pemerintah, karena apabila tidak mengedepankan prinsip akuntabilitas dan transparan, terlebih apabila ada itikad buruk untuk menyalahgunakannya, maka akan berdampak langsung pada rakyat. Karena bagaimana tidak, rakyatlah yang akan menanggung utang-utang tersebut akibat program percepatan pembangunan tidak berjalan sesuai program yang telah dicanangkan Pemerintah. Pada dasarnya, ULN bermanfaat apabila diperuntukkan dalam kegiatan produktif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah pun mengakui pertumbuhan ULN Indonesia relatif cepat. Hingga akhir April 2017, utang Pemerintah mencapai Rp 3.667 triliun, naik Rp 201 triliun dibandingkan posisi Desember 2016. Peningkatan jumlah ULN Indonesia disebabkan kebutuhan Negara untuk membangun infrastruktur, yang tak cukup apabila hanya mengandalkan APBN. Menko Perekonomian, Darmin Nasution menyatakan, Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya agar biaya pembangunan tidak terus menerus tergantung kepada dana hasil utang dan mengubah skema-skema pembiayaan pembangunan.
Perubahan skema pembangunan saat ini lebih menitikberatkan kepada peran swasta membiayai proyek pembangunan. Dengan cara itu, maka anggaran belanja Pemerintah diharapkan tidak membengkak. Peran swasta dalam pembiayaan pembangunan sangat besar mencapai 42 persen atau Rp 1.974 triliun. Adapun sisanya yakni 33 persen atau sekitar Rp1.551 triliun berasal dari Pemerintah dan 25 persennya atau Rp1.175 triliun berasal investasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati pun menegaskan ingin menekan Utang Pemerintah dengan mentitikberatkan supaya sumber pendanaan pembangunan dikurangi dari utang. Untuk itu, penerimaan pajak harus dinaikkan. Dan agar lebih optimal, penerimaan pajak diupayakan dengan melakukan reformasi sistem perpajakan serta memantau potensi penerimaan dari berbagai aktivitas perekonomian. Selain menaikkan penerimaan pajak, Pemerintah juga akan menerapkan pengalokasian belanja secara hati-hati. Saat ini, belanja yang diutamakan adalah belanja pendidikan, kesehatan yang tidak bisa ditunda.
Namun menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai jumlah utang Indonesia saat jatuh tempo sangat mungkin menjadi ancaman bagi Pemerintah baru pada tahun 2019 mendatang. Alasannya, beban pembayaran pokok dan bunga utangnya menjadi semakin besar, sehingga Partai manapun yang memenangkan Pilpres 2019 akan dipaksa untuk menerbitkan surat utang, karena mulai berkurangnya kredibilitas fiskal yang berakibat turunnya kepercayaan investor sampai ke ancaman crowding out alias rebutan likuiditas antara pemerintah dan pelaku pasar. Kritikan terhadap kenaikan Utang Pemerintah pun mulai ditujukan pada Pemerintahan Jokowi dengan berbagai politisasi berkaitan dengan posisi ULN Indonesia, bahkan mulai diarahkan pada kontestasi politik Pilpres tahun 2019.
Presiden Jokowi melalui sembilan prioritas pembangunan (NAWA CITA) yang dicanangkan, terdapat tiga kegiatan yang berkaitan dengan strategi pembangunan ekonomi, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam rangka Negara kesatuan. Peningkatan produktivitas dan daya saing di pasar internasional. Kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis domestik. Arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional tidak lepas dari visi yang tertera pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005 s.d 2025, yaitu Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur (UU No.17 Tahun 2007). Visi ini mengarah pada pencapaian tujuan Nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945 yakni, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Untuk mewujudkan itu semua, sebenarnya Pemerintah memiliki instrumen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, yakni APBN yang kredibel dan kuat. Dengan pendapatan per kapita hampir US$ 4.000 dan jumlah penduduk mendekati 250 juta jiwa, ekonomi Indonesia saat ini masuk Middle Income Country. Pemerintah harus menggunakan seluruh instrument tersebut dengan didukung pada upaya memperkuat faktor internal bangsa di antaranya, peningkatan kualitas SDM, peningkatan implementasi dari nilai-nilai kebangsaan dalam setiap perilaku pelaku-pelakuekonomi, mengurangi ketimpangan pendapatan, serta menggerakkan kesadaran produktivitas masyarakat di sektor strategis domestik, dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan ekonomi nasional termasuk pelunasan ULN dan mewujudkan kemandirian ekonomi, sehingga Indonesia dapat menjadi negara dengan ekonomi besar kelima pada 2045.
------oo00oo------
*) Pemerhati Sosial dan Politik.
Politisasi Utang Luar Negeri
Selasa, 22 Agustus 2017 17:57 WIB
Indonesia dapat menjadi negara dengan ekonomi besar kelima pada 2045.