Jakarta (ANTARA) - Pada 13 Januari 2020 lalu, sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Tim Advokasi Banjir Jakarta 2020 mendaftarkan class action yang ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan karena dianggap lalai menjalankan kewajibannya melindung warga DKI Jakarta dari bencana banjir. Total terdapat 243 warga yang terdata dalam materi gugatan, dengan taksiran kerugian sekitar Rp43 Miliar. Menurut Jubir Tim Advokasi Banjir Jakarta 2020, Azas Tigor Nainggolan, terdapat setidaknya dua tugas yang tidak dijalankan Gubernur Anies Baswedan dalam menangani permasalahan banjir yaitu tidak menjalankan sistem peringatan dini dan tidak berjalannya sistem bantuan darurat atau emergency response.
Banjir yang terjadi pada awal Januari 2020 lalu tidak hanya membelah DKI Jakarta, namun juga membelah masyarakat Indonesia menjadi dua kubu. Kubu pertama menganggap bahwa banjir terjadi akibat Pemprov DKI Jakarta dibawah kepemimpinan Anies Baswedan gagal mengimplementasikan program pencegahan banjir yang sudah dicanangkan. Kubu kedua menganggap bahwa permasalahan banjir di ibukota seharusnya tidak menjadi tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta sendiri, melainkan juga menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Hal ini dikarenakan status ibukota negara yang melekat pada DKI Jakarta, sehingga penanganan banjir menurut kubu ini seharusnya dilakukan secara bersama.
Amat terasa bahwa terbelahnya masyarakat kedalam dua kubu tersebut merupakan ekses dari Pemilu 2019. Sudah jelas bahwa kubu pertama adalah kubu pendukung petahana dan pendukung Pemerintah Pusat, sedangkan kubu kedua adalah kubu oposisi yang mengalihkan dukungannya dari mantan Capres Prabowo Subianto kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Padahal, pelaksanaan Pilpres 2024 sendiri masih sangat jauh dan dinamika politik serta situasi nasional masih berpotensi berubah drastis pada masa mendatang.
Pada sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan cara menyelesaikan permasalahan banjir yang ditempuh oleh Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta. Pemerintah Pusat menggunakan metode normalisasi, antara lain dengan mengembalikan lebar sungai menjadi 35-50 meter, menguatkan badan sungai yang berfungsi sebagai tanggul, meningkatkan daya tampung aliran air, dan menata kawasan sekitar sungai. Sementara itu, Pemprov DKI Jakarta menggunakan metode naturalisasi, antara lain dengan pengembangan ruang terbuka hijau di bantaran sungai, konservasi, dan pemulihan fungsi pengendalian banjir.
Pada akhirnya, perbedaan cara antara Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta tersebut menjadi masalah utama terjadinya banjir di Jakarta, yang diklaim oleh Tim Advokasi Banjir Jakarta 2020 menimbulkan kerugian hingga mencapai Rp43 Miliar. Hal inilah sejatinya yang menyebabkan timbulnya class action terhadap Gubernur Anies Baswedan. Jika ditelusuri lebih lanjut, tidak menutup kemungkinan bahwa Pemerintah Pusat juga akan terkena dampak hukum maupun politik dari class action tersebut.
Oleh karena itu, Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta seharusnya segera duduk bersama untuk memutuskan jalan keluar terbaik mengatasi permasalahan banjir yang selalu melanda ibukota ketika musim penghujan tiba. Kedua pihak harus mengenyampingkan ego sektoral dan menggunakan pendekatan teknokratis untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Bagaimanapun, DKI Jakarta tidak hanya menjadi milik warganya sendiri melainkan juga menjadi milik seluruh masyarakat Indonesia.
Adanya class action yang diajukan oleh Tim Advokasi Banjir Jakarta 2020 merupakan pengingat penting bahwa bencana banjir di ibukota tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, melainkan juga mencoreng wajah Indonesia dalam pasar ekonomi internasional. Ditengah upaya Pemerintah Pusat menggenjot masuknya investasi asing untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyejahterakan rakyat, adanya bencana banjir menimbulkan stigma negatif bagi investor asing potensial bagi Indonesia.
Selain itu, tidak elok rasanya jika class action tersebut berubah menjadi upaya politik menjatuhkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Hal ini dikarenakan impeachment lebih banyak menimbulkan mudarat berupa ketidakstabilan politik, dibandingkan dengan manfaat politik yang hanya akan didapatkan oleh segelintir oknum saja. Oleh karena itu, mari kita kawal class action sebagai upaya memperbaiki penanganan banjir sehingga Prov. DKI Jakarta dapat menjadi benchmark penanggulangan banjir bagi seluruh provinsi di Indonesia kedepan. (1/*).
*) Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial-Politik.
Nirfaedah Politisasi Banjir
Senin, 10 Februari 2020 17:05 WIB
Mari kita kawal class action sebagai upaya memperbaiki penanganan banjir sehingga Prov. DKI Jakarta dapat menjadi benchmark penanggulangan banjir bagi seluruh provinsi di Indonesia kedepan.