Tasikmalaya (ANTARA) - Terletak di tengah pegunungan yang asri, Desa Bojongkapol, Kecamatan Bojonggambir adalah permata tersembunyi di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Desa ini dikelilingi oleh hutan lebat yang dulunya menghadapi tantangan besar dengan lahan kritis yang tidak produktif.
Tanah yang kering dan tidak subur membuat banyak petani sempat menyerah dan membiarkan lahan tersebut terbengkalai.
Keadaan ini mendorong warga untuk mencari solusi. Mereka pun menemukan cara untuk memanfaatkan lahan kritis menjadi area yang produktif, dengan mengubahnya menjadi sebuah ekosistem biomassa.
Ekosistem biomassa adalah ekosistem yang fokus pada penggunaan biomassa (material organik) untuk menghasilkan energi. Biomassa tersebut dapat berupa tanaman, limbah organik, atau material yang dihasilkan dari hewan. Ekosistem biomassa ini mengintegrasikan berbagai elemen, termasuk tanaman, hewan, dan mikroorganisme.
Para petani di Desa Bojongkapol memanfaatkan Indigofera, tanaman dari keluarga polong-polongan yang dikenal dengan kemampuannya untuk tumbuh di berbagai kondisi lingkungan, sebagai basis pembentukan ekosistem biomassa tersebut.
Baca juga: 4.000 bibit kayu putih ditanam di Bangka lewat program UPSA KLHK
Tanaman ini juga dikenal memiliki kemampuan untuk memperbaiki kualitas tanah dengan meningkatkan kandungan nitrogen.
Seorang petani lokal Aris Rismayadi (40) bercerita kepada ANTARA dirinya bersama kelompok tani setempat, memulai upaya menghidupkan kembali lahan tandus yang dulunya sulit ditanami, menjadikannya ekosistem biomassa berbasis tanaman indogofera.
Mereka memulai upaya itu sekitar sembilan bulan lalu. “Tanah di sini sebelumnya tidak subur, bahkan tanaman teh sulit tumbuh. Tetapi setelah penanaman indigofera, kualitas tanah mulai meningkat, dan tanaman tumbuh lebih baik,” kata Aris.
Manfaat indigofera ternyata lebih dari sekadar memperbaiki kualitas tanah. Tanaman ini membantu mengembalikan kesuburan tanah untuk produktif kembali, dan memungkinkan Aris serta rekan-rekannya menanam tanaman lain, seperti jahe, dalam sistem tumpang sari yang mereka kembangkan.
Upaya ini melibatkan sekitar 40 petani dari dua kelompok tani di desa tersebut yakni Kelompok Tani Jaga Lembur dan Tani Makmur.
Baca juga: Warga dan korporasi di Purwakarta diajak ikut kurangi lahan kritis
Ekonomi sirkuler
Indigofera bukan hanya bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Namun tanaman yang diperkenalkan di Indonesia pada abad ke-19 oleh pemerintah kolonial Belanda ini daunnya memiliki nutrisi tinggi untuk pakan ternak.
Sementara dahan dan rantingnya merupakan bahan baku potensial untuk produksi bioenergi.
Beragam manfaat tanaman inilah yang menjadikannya sebuah win-win solution bagi sektor energi maupun pertanian.
Para petani di desa ini mendapat dukungan penuh dari PT PLN Energi Primer Indonesia dan pemerintah daerah yang membantu petani dengan menyediakan 100 bibit tanaman Indigofera dan 250 ekor domba.
"Kalau manfaat yang dirasakan pertama dari daun kita bisa untuk kasih makan ternak dari rantingnya juga kita bisa jual ke PLN untuk salah satu penunjang bahan biomassa pengganti batu bara," kata Aris.
Produksi biomassa ini dimanfaatkan oleh PLN untuk memenuhi kebutuhan implementasi teknologi pencampuran bahan bakar (cofiring) di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), sebagai upaya mengurangi emisi karbon dan mempercepat transisi energi.
Indigofera membutuhkan waktu sekitar tiga tahun untuk mencapai kematangan penuh sebelum bisa ditebang untuk biomassa, sehingga petani memanfaatkan waktu tersebut dengan menanam jahe sebagai hasil tumpang sari jangka pendek.
Berbeda dengan cabai yang membutuhkan perawatan intensif, jahe dinilai lebih tahan terhadap kondisi cuaca dan bisa dipanen dalam waktu tujuh hingga delapan bulan.
Baca juga: KLHK bangun KBD-KBR untuk rehabilitasi lahan kritis
Dengan sistem tumpang sari ini, Aris dan kelompok taninya bisa memperoleh pendapatan lebih cepat tanpa menunggu Indigofera sepenuhnya siap.
Para petani itu juga berharap pemerintah daerah dan perusahaan pemasok energi tersebut dapat menyiapkan alat produksi biomassa sehingga ranting indigofera bisa diolah langsung di desa, membuatnya lebih efisien dalam proses distribusi dan menjamin keberlanjutan rantai ekonomi lokal.
Petani di Bojongkapol berharap keberhasilan program ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain.
Desa Bojongkapol kini sedang mempersiapkan lebih dari 70 hektare lahan tambahan untuk pengembangan indigofera, setelah sebelumnya berhasil mengembangkan tanaman ini di lahan seluas 30 hektare.
Langkah ini diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan ekonomi desa secara berkelanjutan.
Wakil Menteri Pertanian Sudaryono yang meninjau lahan penanaman Indigofera di Desa Bojongkapol beberapa waktu lalu menyatakan apresiasinya atas kerja sama erat antara perusahaan dengan masyarakat untuk mengembangkan ekosistem biomassa berbasis ekonomi kerakyatan.
Pihaknya pun siap untuk bersinergi untuk memastikan keberhasilan program seperti memberikan pembinaan, menghadirkan penyuluh sehingga program betul-betul diterima oleh masyarakat.
"Kami dari Kementerian Pertanian siap bersinergi, siap mendorong, siap membantu, siap menempatkan orang. Apapun yang baik buat rakyat, kita siap jiwa raga kita untuk rakyat," kata Sudaryono.
Sudaryono juga mengapresiasi upaya PLN yang tidak hanya berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon, tetapi juga membantu meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.
Menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat 14 juta hektare lahan kritis di seluruh Tanah Air. Dengan mengembangkan ekosistem biomassa berbasis pertanian terpadu, program ini dapat turut berkontribusi dalam upaya pemanfaatan lahan kritis.