Jakarta (ANTARA) - Visi Presiden Prabowo Subianto tegas, Indonesia harus mampu mewujudkan kedaulatan energi. Karena itu, semua wajib mengarahkan langkahnya menuju transisi energi berkelanjutan.
Teknologi hijau menjadi pilihan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mengoptimalkan sumber daya alam yang tersedia melimpah dan lebih ramah lingkungan.
Indonesia memiliki potensi besar dalam sumber daya terbarukan, seperti Matahari, angin, dan geotermal, yang jika dikelola dengan baik dapat mendorong ketahanan energi jangka panjang.
PT Pertamina sebagai salah satu perusahaan energi terbesar di Tanah Air merespons visi tersebut dengan mengembangkan teknologi rendah karbon.
Melalui berbagai program, seperti biofuel, energi geotermal, dan carbon capture utilization and storage (CCS/CCUS), perusahaan milik negara itu berupaya mengurangi emisi karbon sambil menjaga pasokan energi nasional.
Program-program ini menunjukkan keseriusan Indonesia dalam beralih ke energi hijau, sejalan dengan target net zero emission (NZE) pada tahun 2060.
Melalui kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, visi kedaulatan energi yang dicanangkan Presiden Prabowo terbuka jalan untuk dapat tercapai.
Dengan peran aktif Pertamina dalam transisi energi hijau, didukung inovasi teknologi rendah karbon, Indonesia bergerak ke arah masa depan yang mandiri energi.
Teknologi rendah karbon
PT Pertamina terus merumuskan langkah strategis dalam teknologi rendah karbon untuk mendukung swasembada energi di Indonesia.
Langkah ini menjadi bagian dari upaya pemerintah mencapai kedaulatan energi dalam beberapa tahun mendatang, termasuk memenuhi target NZE pada tahun 2060.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menyatakan berbagai terobosan diluncurkan, di antaranya adalah pengembangan biofuel, petrochemical, geotermal, serta teknologi CCS/CCUS.
Dalam mendukung kebijakan energi hijau, Pertamina memanfaatkan berbagai sumber daya alam yang berkelanjutan. Salah satu terobosan terbesar adalah pengembangan biofuel, yang diolah dari bahan bakar nabati.
Biofuel ini diharapkan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, sekaligus menekan emisi karbon yang dihasilkan dalam proses penggunaannya.
Biodiesel B35, salah satu inovasi unggulan, telah berhasil dikembangkan sebagai bahan bakar ramah lingkungan.
Tidak hanya digunakan pada kendaraan bermotor, biofuel juga diintegrasikan pada moda transportasi yang lebih luas. Inovasi ini berperan signifikan dalam menekan emisi CO2, memberikan dampak positif pada lingkungan.
Selain biodiesel, Pertamina juga mengembangkan bahan bakar terbarukan lainnya, seperti Pertamax Green dan Sustainable Aviation Fuel (SAF).
Kedua bahan bakar ini dirancang untuk menggantikan bahan bakar konvensional yang berisiko tinggi bagi lingkungan. Pertamax Green dan SAF menjadi bagian dari solusi masa depan energi yang lebih berkelanjutan, terutama dalam industri penerbangan yang membutuhkan bahan bakar berkualitas.
Geotermal juga menjadi fokus utama Pertamina dalam mencapai swasembada energi. Saat ini, perusahaan itu mengelola 15 wilayah kerja panas bumi di seluruh Indonesia, dengan kapasitas terpasang 672 megawatt.
Targetnya adalah meningkatkan kapasitas ini menjadi 1 gigawatt dalam beberapa tahun ke depan, menjadikan geotermal sebagai salah satu pilar utama energi terbarukan di Indonesia.
Di sektor petrokimia, Pertamina berupaya mengoptimalkan produksi untuk memenuhi kebutuhan domestik dan membuka peluang ekspor.
Hingga tahun 2025, produksi petrokimia ditargetkan mencapai 3,2 juta ton per tahun, naik dari kapasitas saat ini. Langkah ini tidak hanya mendukung industri nasional, tetapi juga membuka peluang kemitraan dengan institusi lokal dan internasional untuk memperkuat posisi Indonesia di pasar global.
Meramu teknologi hijau untuk kedaulatan energi di masa depan
Rabu, 30 Oktober 2024 9:17 WIB