Magelang (ANTARA) - Sejumlah mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta memanfaatkan puncak Festival Lima Gunung XXIII/2024 dengan tema "Wolak-Waliking Jaman Kelakone" di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu.
"Fokus kajian mereka tentang manajemen pertunjukan seni karena Festival Lima Gunung dikenal tanpa pendanaan dari 'pelat merah' (pemerintah) maupun sponsor atau donatur," kata dosen mereka Doktor Paramitha Dyah Fitriasari di arena FLG XXIII di Magelang, Minggu.
Mereka yang melakukan kajian terhadap FLG berjumlah total 29 orang terdiri atas 22 mahasiswa program sarjana strata 2 dan tujuh mahasiswa sarjana strata 3 (doktoral).
Festival Lima Gunung diselenggarakan secara mandiri oleh Komunitas Lima Gunung yang berbasis kelompok-kelompok seniman petani di kawasan gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang (Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).
Komunitas yang dirintis berdirinya oleh budayawan Magelang Sutanto Mendut (77) lebih dari dua dasawarsa tersebut, juga berjejaring dengan berbagai kalangan, terutama seniman, pemerhati budaya, dan akademisi, baik di dalam maupun luar negeri.
Ia mengemukakan pentingnya mahasiswa yang dibimbingnya memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang berbagai model penyelenggaraan pertunjukan seni budaya, termasuk FLG.
"Sebelumnya mereka juga mendapat materi tentang FLG dan KLG dalam kuliah di kelas, juga menyimak berbagai referensi buku, media massa, dan tayangan di Youtube. Kami memutuskan hadir saat puncak festival," kata Tata, dosen Prodi Kajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM itu.
Ia mengaku sering hadir dalam kegiatan seni budaya dilakukan komunitas itu, terutama menonton FLG selama ini. Festival itu diselenggarakan secara berpindah-pindah lokasi di dusun-dusun basis komunitas seniman petani di kawasan gunung-gunung di Kabupaten Magelang.
Para mahasiswa, ujarnya, selanjutnya membuat catatan dan kajian ilmiah, termasuk mengkritisi penyelenggaraan FLG untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan mereka pada masa mendatang.
Ia mengemukakan nilai-nilai penting dan mendasar tentang manusia dan kebudayaan dalam FLG yang notabene dilakukan secara tekun oleh kalangan warga dan petani desa itu.
"Festival ini selalu menjadi cerita di kelas saya. Orang-orang hadir, ikut pentas, warga menyiapkan segala keperluan festival. Dengan menghadiri langsung acara seni budaya sebagaimana Festival Lima Gunung, akan bisa membaca manajemen penyelenggaraan dan pengelolaannya," ucapnya.
Selain melakukan wawancara dengan sejumlah seniman yang mengikuti pementasan dan berbagai pihak lainnya, para mahasiswa itu juga mendapatkan kesempatan beraudiensi dengan pendiri KLG Sutanto Mendut di ruangan "Sanggar Saujana Keron". Sanggar itu dipimpin Sujono yang saat ini juga menjadi Ketua Komunitas Lima Gunung.
Puncak rangkaian Festival Lima Gunung XXIII berlangsung selama 25-29 September 2024 di Dusun Keron di kawasan Gunung Merapi dan Merbabu
Tercatat oleh panitia, sedikitnya 120-an kelompok seniman dengan total sekitar 2.000 personel menggelar pementasan di tempat bernama "Panggung Semut Ireng" FLG di tengah dusun tersebut. Mereka berasal dari grup-grup di KLG, desa-desa sekitar Keron dan Magelang, sejumlah kota di Indonesia dan beberapa negara. Berbagai agenda pementasan pada puncak festival, antara lain tarian, musik, wayang, performa seni, pameran foto, melukis "on the spot", pembacaan puisi, teater, pidato kebudayaan, dan kirab budaya.
Mahasiswa UGM gelar kuliah lapangan pada Festival Lima Gunung XXIII/2024 Magelang
Minggu, 29 September 2024 16:54 WIB
Fokus kajian mereka tentang manajemen pertunjukan seni karena Festival Lima Gunung dikenal tanpa pendanaan dari 'pelat merah' (pemerintah) maupun sponsor atau donatur.