Magelang (ANTARA) - Permintaan maaf para elite penguasa karena telah mengelola bangsa dan negara secara tak pantas akhirnya bergaung setelah rakyat secara tegas meletakkan cermin agar mereka menyadari bahwa pemimpin selain legal, mestinya juga bijaksana dan berwibawa.
Tentu saja permintaan itu tak cukup hanya bergaung di langit pernyataan. Harus dilanjutkan dengan segera melalui langkah-langkah riil perbaikan yang hasilnya dinilai publik sebagai terbukti bagi kebermanfaatan dan memenuhi kebutuhan rakyat.
Seakan hendak menegaskan bahwa rakyatlah juragan mereka dan para elite sesungguhnya bekerja untuk juragan, itulah puisi tak berjudul yang dihadirkan secara lantang oleh penyair Magelang Munir Syalala.
Ia membacakan puisi itu dalam rangkaian performa ritual doa, "Lelanane Jangka Gunung", diselenggarakan Komunitas Lima Gunung di Candi Mendut dan dilanjutkan di panggung terbuka Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (4/9) petang hingga menjelang tengah malam.
Pegiat komunitas itu meliputi seniman petani berbasis dusun di lima gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) yang mengelilingi Kabupaten Magelang dengan jejaringnya di berbagai tempat, antara lain budayawan, pemerhati seni dan tradisi, pelajar, mahasiswa, dan akademisi. Munir salah satu bagian lingkaran energi komunitas tersebut.
Penggalan besar bait kedua puisi itu, "Bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Kita punya sistem. Kita punya hukum. Kita punya aparat. Tapi apakah semua itu sungguh berpihak pada kita? Atau hanya panggung besar, dan kita dipaksa jadi penonton yang bayar tiket, tanpa pernah boleh ikut menentukan ceritanya?".
Performa ritual "Lelanane Jangka Gunung" diawali dengan prosesi berjalan tanpa alas kaki para pegiat Komunitas Lima Gunung dari Studio Mendut menuju Candi Mendut, berjarak sekitar 300 meter. Setiap peserta jalan kaki mengenakan pakaian bernuansa serba warna putih. Sajian makanan untuk mereka yang hadir di pementasan di Studio Mendut malam itu, juga serba berwarna putih, yakni nasi gurih putih, bihun, kerupuk putih, ubi kayu, dan air putih. Simbol usaha mengatasi negeri dari keadaan muram dan keruh saat ini.
Berbagai tema festival yang hampir semua dirumuskan dalam bahasa Jawa itu, antara lain Cokro Manggilingan Jiwo (2009), Sudro Satrio (Ngulandoro) (2010), Tembang Kautaman (2011), Ngupadi Banyu Sejati (2012), Ragam Batin Desa (2012), Mulat Kahangan Sungsang (2013), Tapa ing Rame (2014).
Selain itu, Mantra Gunung (2015), Pala Kependhem (2016), Mari Goblok Barang (2017), Masih Goblok Bareng (2018), Gunung Lumbung Budaya (2019), Donga Slamet, Waspada Virus Dunia (2020), Disrupsi Desa Kontemporer TradisiMaya (2021), Wahyu Rumagang (2022), Kalis ing Kahanan (2023), Wolak Waliking Jaman Kelakone (2024), dan Andhudhah Kawruh Sinengker (2025).
Tema-tema ini dihadirkan kembali karena nilainya dianggap penting oleh komunitas dalam kaitan dengan upaya bersama rakyat dan elite memperbaiki keadaan negeri dari gonjang-ganjing saat ini menjadi stabil, untuk kemudian berbenah menuju gemilang.
Acara bernama "Lelana Jangka Gunung", menghadirkan imajinasi tentang peluncuran nilai-nilai kearifan, keadilan, kemakmuran, ketangguhan, dan keseimbangan yang pernah digali warga Komunitas Lima Gunung untuk hidup bernegara dan berbangsa yang menjadi baik.
Budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut mengulang pesan penting dalam kisah bersumber dari Kitab Jataka dan Kitab Pancatantra disimpan dalam relief Candi Mendut yang dibangun pada abad IX itu, yakni tentang seekor bulus dibantu sepasang angsa untuk terbang melihat bumi dari langit. Namun, saat di angkasa, bulus lalai atas pesan agar tetap diam dan tidak kaget. Akhirnya kura-kura itu terjatuh dan mati.
Pesan atas kisah itu mengingatkan penguasa dan elite untuk selalu rendah hati dan mawas diri supaya kepemimpinan tidak sekadar sah, akan tetapi juga tetap berwibawa dan tidak jatuh.
"Negeri ini sedang mencari jalan pulang,” demikian satu baris lainnya dalam puisi tak berjudul tersebut.
