Jakarta (Antara Megapolitan) - Pers merupakan pilar keempat demokrasi yang menjadi penyeimbang tiga pilar demokrasi lainnya, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif serta mewakili rasa ingin tahu publik.
Hal itu merupakan salah satu konsep yang kerap didengungkan dalam menyuarakan kebebasan pers di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Sebagai pilar keempat, pers memiliki fungsi kontrol sosial. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pun menyebutkan bahwa salah satu fungsi pers nasional adalah kontrol sosial, selain sebagai media informasi, pendidikan dan hiburan.
Empat fungsi pers tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Pers. Selain keempat fungsi tersebut, ayat (2) di pasal yang sama menyebutkan bahwa pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Fungsi yang disebutkan terakhir itulah yang kemudian membuat fungsi kontrol sosial yang dimiliki pers dan media massa kadang menjadi bias antara mempertahankan kekritisannya dalam memberitakan atau kepentingan ekonomi, apalagi ekonomi politiknya.
Pemberitaan media, pada dasarnya adalah konstruksi atas realitas. Setiap berita adalah hasil konstruksi atas realitas yang diberitakan.
Paradigma kritis memandang media sebagai saluran yang tidak bebas dan netral. Media dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Karena itu, pertanyaan pertama paradigma kritis adalah siapa yang menguasai media?
Penelitian tentang pers Indonesia telah banyak dilakukan. Salah satunya oleh seorang Indonesianis asal Australia David T Hill. Hill mencatat enam hal penting tentang pers Indonesia.
Pertama, masih ada tekanan dan kekerasan terhadap wartawan. Padahal, menurut dia, setiap kelompok yang ingin memaksakan kehendaknya ke media tidak akan dapat diterima.
Kedua, dinamika hubungan partai politik dengan media. Hill berpendapat, partai politik boleh saja memiliki media, tetapi dia meyakini media partisan tidak akan terlalu dipercaya masyarakat pada situasi pasar bebas.
Justru yang harus diwaspadai adalah pengaruh partai politik kepada media yang terselubung.
Ketiga, terkait konsentrasi kepemilikan media. Hill melihat tidak terjadi monopoli atau konsentrasi kepemilikan media di Indonesia karena media dimiliki beragam kelompok.
Hal tersebut berbeda dengan Australia yang hampir separuh media dikuasai kelompok media milik Rupert Murdoch. Hill berpendapat keberagaman media di Indonesia harus dijaga.
Keempat, Hill memfokuskan pada institusi hukum dan peradilan. Menurut Hill, ada beberapa langkah maju, tetapi dia belum yakin institusi kejaksaan dan kehakiman mengerti benar apa itu peran media.
Kelima, bagaimana profesi wartawan dihargai oleh komunitas pers sendiri dan masyarakat. Hill menekankan pendidikan jurnalistik penting agar mereka yang terjun ke dunia pers dapat bekerja profesional.
Keenam, hubungan antara media nasional dan media lokal. Hill berpendapat perkembangan media lokal lebih dinamis dibandingkan dengan media nasional karena pekerja media lokal memiliki kemauan keras untuk memberikan isi pada media masing-masing.
Menurut Hill, media lokal merupakan ¿garis depan¿ dalam memberikan petunjuk arah kemerdekaan pers Indonesia.
Namun, pendapat Hill tersebut tidak sepenuhnya relevan dengan kondisi di Indonesia saat ini. Pendapatnya tentang konsentrasi kepemilikan modal yang menyebutkan tidak terjadi monopoli, dengan membandingkan di Australia, tidak sepenuhnya tepat.
Memang di Indonesia tidak terjadi monopoli, tetapi bukan berarti tidak ada konsentrasi kepemilikan. Di Indonesia, Tidak terjadi monopoli, tetapi oligopoli. Meskipun dimiliki beragam kelompok, media di Indonesia terkonsentrasi pada beberapa konglomerat media.
Konglomerasi Media
Merlyna Lim mencatat setidaknya ada 12 kelompok media di Indonesia yang dikuasai oleh konglomeratnya masing-masing. Masing-masing kelompok media tidak hanya memiliki satu "platform" media saja, tetapi "multiplatform".
Artinya, dalam satu kelompok media yang dimiliki oleh satu atau beberapa konglomerat, terdapat media cetak, media elektronik maupun media daring.
Kelompok media di Indonesia menurut Lim adalah Media Nusantara Citra atau MNC Group (Hary Tanoesoedibjo), Mahaka Media Group (Erick Tohir), Kompas Gramedia Group (Jakob Oetama) dan Jawa Pos Group (Dahlan Iskan).
Kemudian, Bali Post Group (Satria Narada), Elang Mahkota Teknologi atau EMTEK Group (Eddy Kusnadi Sariaatmaja), Lippo Group (James Riady), Bakrie & Brothers atau Visi Media Asia (Anindya Bakrie),
Masih ada juga Femina Group (Pia Alisyahbana), Media Group (Surya Paloh), Mugi Reka Abadi atau MRA Group (Dian Muljani Soedarjo) dan Trans Corpora atau Para Group (Chairul Tanjung).
Pers di Indonesia memang tidak terkonsentrasi pada kepemilikan media yang monopolistik sebagaimana dicatat oleh Hill. Namun, pers di Indonesia terkonsentrasi pada kepemilikan media yang oligopolistik.
Hill mungkin memandang konsentrasi kepemilikan media yang oligopolistik di Indonesia lebih baik bila dibandingkan dengan konsentrasi kepemilikan media yang monopolistik, sebagaimana terjadi di Australia yang hampir separuh media dikuasai kelompok media milik Rupert Murdoch.
Pendapat Hill tentang dinamika hubungan media dengan partai politik juga perlu diberi catatan. Secara langsung memang tidak ada media massa di Indonesia yang dimiliki oleh partai politik.
Namun, sebagian kelompok media di Indonesia dimiliki oleh konglomerat yang juga merupakan pendiri atau petinggi partai politik.
Itu terjadi pada kelompok Media Group, antara lain, koran Media Indonesia dan Metro TV yang dimiliki Surya Paloh, MNC Group, antara lain, RCTI, I-News TV dan Koran Sindo yang dimiliki Hary Tanoesoedibjo dan Visi Media Asia, antara lain, TV One dan Vivanews.com yang dimiliki keluarga Bakrie.
Surya Paloh merupakan pendiri dan Ketua Umum Partai NasDem dan Hary Tanoesoedibjo adalah pendiri dan Ketua Umum Partai Perindo. Sedangkan Aburizal Bakrie adalah politisi Partai Golkar yang pernah menjadi ketua umum.
Hill memberi catatan agar pengaruh partai politik kepada media yang terselubung diwaspadai, tetapi pengaruh kekuatan politik kepada beberapa kelompok media di Indonesia pada kenyataannya tidak lagi terselubung sebagaimana terjadi pada Media Group, MNC Group dan Visi Media Asia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kelompok-kelompok media tersebut selama ini mengusung kepentingan politik pemiliknya.
Karena itu, makna kebebasan pers di tengah kepemilikan media yang sangat dekat bersinggungan dengan politik, yang memiliki tujuan kekuasaan, menjadi bias.
Dalam menjalankan fungsi sebagai kontrol sosial, pers dituntut bersikap kritis. Namun, di tengah kedekatannya dengan kekuasaan, sikap kritis pers dipertanyakan.
Pada akhirnya, perkataan salah satu tokoh pers Petrus Kanisius Ojong, "tugas pers bukanlah untuk menjilat penguasa, melainkan untuk mengkritik yang sedang berkuasa", hanya akan menjadi sebuah utopia. (Ant).
Kebebasan Pers Di Bawah Cengkeraman Kepemilikan Modal
Minggu, 7 Mei 2017 6:47 WIB
Dalam menjalankan fungsi sebagai kontrol sosial, pers dituntut bersikap kritis. Namun, di tengah kedekatannya dengan kekuasaan, sikap kritis pers dipertanyakan.