Jakarta (Antara Megapolitan) - Hari Buruh Internasional alias May Day menjadi ritual bagi para pekerja untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Perjuangan mereka menjadi sebuah upaya yang romantis manakala tidak sedikit di antara mereka menyediakan diri sebagai "martir" bagi sesamanya.
Mereka saling berjibaku untuk menuntut perbaikan kualitas hidup dan perlakuan yang manusiawi dari para pemberi kerja.
Sayang ketika perjuangan murni mereka kemudian dibumbui aksi-aksi berbau politis yang diduga sebagai kontaminasi kepentingan pihak-pihak tertentu.
Perjuangan mereka pun tidak lagi versus penindasan melainkan ditunggangi dan dipolitisasi untuk kepentingan segelintir orang.
Pun serupa dengan May Day tahun ini yang menuntut tiga substansi mendasar yakni penolakan terhadap pemagangan dan alih daya (outsourcing), revisi jaminan sosial, dan penolakan rezim upah murah.
Tuntutan yang disuarakan dengan menurunkan ribuan buruh ke lapangan itu sejatinya tak beranjak dari tuntutan aksi-aksi tahun lalu.
Sebagaimana disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal bahwa perjuangan buruh tidak akan berhenti sampai aspirasi mereka didengar pemerintah.
"Kami akan terus melakukan aksi sampai tuntutan dan aspirasi kami didengar oleh pemerintah," katanya.
Ia mengaku aksi buruh dalam May Day tidak ada hubungannya dengan keputusan atau sikap politik apapun.
Namun, kemudian banyak pihak pada akhirnya yang menuding tindakan oknum buruh yang sempat melakukan perusakan karangan bunga untuk Ahok memiliki muatan politis tertentu.
Tuntutan Konkret
Demonstrasi buruh tahun ini juga tampak terasa mulai menipis roh dukungan perjuangannya manakala masyarakat semakin sering disuguhi aksi-aksi serupa.
Masyarakat mulai jenuh dengan pemberitaan seputar penggalangan massa dalam jumlah besar untuk turun ke jalan.
Meski begitu, May Day yang identik dengan turunnya massa buruh ke jalan memang tak boleh dilewatkan begitu saja.
Maka wajar ketika lambat laun May Day pun tak lebih dari sekadar ritual untuk mempertahankan citra buruh yang antikemapanan.
Sejumlah tuntutan konkret pun tetap disampaikan di antaranya oleh Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia yang menuntut implementasi sistem nontunai di gerbang tol seluruh Indonesia.
"Ini justru menciptakan pengangguran baru bukan membuka lapangan pekerjaan secara berkelanjutan," kata Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat.
Padahal, katanya, Presiden Joko Widodo menjanjikan komitmen Nawacita berupa penyediaan lapangan pekerjaan yang berkelanjutan.
Karena itu, Aspek Indonesia meminta Presiden Jokowi segera menghentikan rencana penutupan proyek-proyek padat karya karena akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja bagi ribuan pekerja. "Ini bertentangan dengan komitmen Nawacita karena akan menghadirkan pengangguran baru," katanya.
Buruh juga menyuarakan tuntutan penghapusan praktik kerja alih daya ("outsourcing") dan kontrak yang dinilai telah melanggar undang undang, peningkatan jaminan kesehatan gratis untuk seluruh rakyat Indonesia, serta jaminan pensiun untuk pekerja yang setara dengan jaminan pensiun untuk pegawai negeri sipil (PNS).
Aspek Indonesia pun kemudian menurunkan ribuan anggotanya ke jalan untuk juga menyampaikan tuntutan kepada pemerintah.
Masyarakat harus merasakan dampak dari ribuan orang yang turun ke jalan termasuk adanya pengalihan arus lalu lintas dan kemacetan tak wajar di banyak titik.
Tanpa Hasil
Demonstrasi buruh yang terkesan sebagai ritual semata terkadang lebih sering tampak sebagai aksi tanpa hasil yang menjemukan.
Aksi-aksi tersebut bahkan rentan untuk dipolitisasi atau ditunggangi kepentingan politik yang jauh dari tujuan mulia kaum buruh.
Oleh karena itu, beberapa buruh yang menyadari hal itu justru melakukan aksi-aksi berbeda ketika sejawatnya turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi.
Federasi Serikat Pekerja Transportasi Indonesia (FSPTI) Bengkalis misalnya yang justru memperingati hari buruh Internasional May Day dengan kegiatan bakti sosial di antaranya dengan penanaman pohon di sepanjang jalan poros dan pembersihan tempat ibadah.
"Untuk pembersihan tempat ibadah kita lakukan di tujuh titik. Diantaranya ada tiga mesjid dan empat mushala yang kita bersihkan," ungkap ketua FSPTI Bengkalis Masuri.
Bahkan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri pun turut memberikan saran kepada buruh yang biasa berunjuk rasa dalam Peringatan 1 Mei untuk tidak hanya sekadar demo atau berkumpul-kumpul lantas pulang.
Hanif menyarankan agar aspirasi buruh banyak didengar luas sebaiknya dikemas dalam kampanye yang menarik dan bisa memberikan nilai tambah.
"Kalau kita kemas menarik, kita harapkan orang berbagai daerah datang ke pusat kota, riang gembira," ujarnya.
Cara menarik yang diusulkan Hanir yakni dengan memadukan unsur pariwisata di dalamnya.
"Kalau menarik dari sisi pariwisata akan ada orang datang menonton, Anda semua bisa berkampanye, menyampaikan pesan," katanya.
Meski begitu boleh saja dan menjadi hak buruh untuk berjuang, untuk turun ke jalan, untuk menyuarakan aspirasi, sepanjang memang versus dan jauh dari upaya politisasi mereka yang punya kepentingan pribadi. (Ant).
Ritual Hari Buruh Versus Politisasi Kepentingan
Selasa, 2 Mei 2017 13:20 WIB
Aksi-aksi tersebut bahkan rentan untuk dipolitisasi atau ditunggangi kepentingan politik yang jauh dari tujuan mulia kaum buruh.