Meminjam istilah "Kembali ke... Laptop!" dari komedian Tukul Arwana, maka akhir dari Ramadhan pun selalu ditutup dengan tradisi "Kembali ke... Udik!" atau mudik.
Ya, kembali ke udik atau desa, mengingat udik adalah "kota sesungguhnya", dari para urban atau para perantau, sedangkan kota hanyalah tempat mereka mencari sesuap nasi.
Agaknya, mudik bukanlah sekadar pulang, karena para urban atau para perantau bukanlah siapa-siapa di kota. Mereka hanya direktur, kepala, ketua, koordinator lapangan, pencari ilmu, buruh, dan "jabatan" lainnya.
Hal itu tentu sangat jauh berbeda dengan ketika para urban atau para perantau itu mudik, karena di udik ada peran sosial, seperti menjadi ayah, ibu, kakek, pakde, paklek, kakak, adik, keponakan, dan "status" lainnya.
Para pemudik pun menemukan keakraban yang tidak formal dan tidak basa-basi ketika bertemu sanak saudara dan tetangga kanan-kiri, yang bukan sekadar rumah yang bersebelahan dengan tembok kamar.
Menurut tokoh NU yang juga anggota DPR RI Prof Dr KH Ali Maschan Moesa MSi, tradisi mudik itu bagus sekali untuk menumbuhkan budaya silaturahmi dan bakti anak kepada orang tua, namun niat baik itu tidak selalu berdampak baik bila dilakukan dengan memaksakan diri.
"Nah, Islam mengajarkan hal yang manfaat (baik) itu harus dilakukan dengan menolak kemungkinan yang mudharat (tidak baik/membahayakan). Mudik itu baik, tapi kalau mudik dengan motor itu bisa celaka," ujar mantan Ketua PWNU Jatim yang juga anggota Fraksi PKB DPR RI itu.
Menurut dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya itu, sepeda motor yang seharusnya digunakan mudik dalam jarak dekat itu sering digunakan jarak jauh seperti Surabaya-Kediri, Surabaya-Trenggalek, Surabaya-Banyuwangi, Surabaya-Tuban, dan sebagainya.
"Itu namanya memaksakan diri dan hal itu tidak baik dalam Islam, karena dampaknya akan merugikan masyarakat sendiri, sebab satu sepeda motor dikendarai ayah, ibu, dua anak di depan dan belakang, bahkan masih ada barang di depan dan belakang," tuturnya.
Namun, kata pengasuh Pesantren Luhur Al-Husna, Jemurwonosari, Surabaya itu, masyarakat memang tidak memiliki alternatif lain atau solusi apapun, sebab mereka mencari kendaraan dengan biaya murah.
"Untuk itu, gubernur harus memberikan layanan yang murah dan mudah untuk mudik, karena itu saya usulkan ada subsidi transportasi untuk masyarakat yang mudik agar mereka tidak menggunakan sepeda motor yang membahayakan nyawa mereka," katanya.
Oleh karena itu, DPRD harus mendorong pemerintah daerah setempat untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat bawah, misalnya dengan subsidi transportasi di saat mudik untuk menekan angka kecelakaan, sebab di Jatim pada tahun 2011 terjadi 667 kecelakaan di saat mudik dengan 593 kecelakaan atau 88,9 persen pemudik bermotor.
Dis-orientasi
Tidak hanya kecelakaan di jalanan, tradisi mudik juga menimbulkan "kecelakaan" orientasi atau dis-orientasi para urban sendiri, karena urusan "pamer" kepada saudaranya di udik masih lebih menonjol daripada "belajar" kepada saudaranya di udik.
Buktinya, produk-produk kota pun menjadi gengsi bagi orang-orang udik, baik saudara maupun tetangga, semisal telepon seluler yang digenggam hingga ke tengah sawah, botol air mineral yang menggeser air sumur mereka sendiri, celana jeans atau motor dengan berbagai gaya yang membalut "gengsi" mereka.
"Barang-barang kota" itu dimaknai sebagai simbol sukses, arti kerja keras, dan makna sebuah kemajuan, sedangkan udik itu ndeso, pelosok, dan tertinggal... Benarkah demikian ?!.
Itulah kekalahan orang-orang udik, orang udik yang merantau ke kota, lalu "mencelakai" udik mereka sendiri di saat mudik. Kalau itu yang terjadi, maka orang udik yang tidak memiliki ketrampilan apapun akan tergiur ke kota untuk... kalah!.
Ya, ada nilai-nilai yang dikorbankan atas nama ekonomi atau gengsi... udik sudah kalah (dengan datangnya para pemudik) dan orang udik pun akhirnya kalah pula (bila tergiur ke kota tanpa bekal ketrampilan sama sekali). Haruskah udik mengalami dua kali kekalahan ?!.
Agaknya, hal itulah yang mendorong Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengingatkan warganya saat melepas ribuan peserta 'mudik bareng Pakde Karwo-Gus Ipul' di Grha Pena, Surabaya (16/8).
Ia mengimbau warganya untuk membawa kebiasaan desa ke kota, seperti gotong royong, silaturahmi, dan 'sungkem' (hormat) orang tua. "Kebiasaan orang desa itu baik, karena itu bawa yang baik-baik ke kota ya," katanya.
Di hadapan 4.500-an pemudik yang diangkut dengan 90 bus itu, Gubernur yang akrab disapa Pakde Karwo menjelaskan kebiasaan dari desa yang baik itu jika dibawa ke Surabaya antara lain gotong royong membersihkan selokan.
"Itu kebiasaan yang baik, jangan justru kebiasaan di kota yang tidak menyapa tetangga justru dibawa ke desa. Sungkem kepada orang tua itu berarti santun kepada orang tua," katanya.
Agaknya, mudik atau kembali ke udik harus benar-benar dimaknai "kembali". Artinya, para urban atau para perantau hendaknya tidak mudik untuk sekadar "pamer", melainkan mereka mudik untuk "belajar" tentang nilai-nilai udik.
Nilai-nilai udik dan orang udik yang santun, arif, akrab, gotong royong, dan spiritual akan justru membuat kota dan orang kota mengalami perbaikan, lalu para urban dan para perantau pun tidak melihat ukuran sukses hanya kota.
Toh, Indonesia itu bukan hanya kota!.
Dis-orientasi Dalam Tradisi Kembali ke Udik
Sabtu, 18 Agustus 2012 21:08 WIB
Dis-orientasi Dalam Tradisi Kembali ke Udik
dis-orientasi-dalam-tradisi-kembali-ke-udik
