"Memasuki musim kemarau pada Mei hingga Agustus akan terjadi penurunan kualitas udara di wilayah Jakarta yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi PM2.5," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.
Hal tersebut terjadi karena curah hujan dan kecepatan angin rendah mengakibatkan PM2.5 terakumulasi dan melayang di udara dalam waktu yang lama.
Hasil pantauan konsentrasi PM2.5 di Stasiun Pemantauan Kualitas Udara (SPKU) DLH DKI Jakarta menunjukkan adanya perbedaan pola antara siang dan malam hari.
Hasil pantauan konsentrasi PM2.5 di Stasiun Pemantauan Kualitas Udara (SPKU) DLH DKI Jakarta menunjukkan adanya perbedaan pola antara siang dan malam hari.
Baca juga: Dokter ingatkan bahaya kualitas udara buruk bagi kulit
"Konsentrasi PM2.5 cenderung mengalami peningkatan pada waktu dini hari hingga pagi dan menurun di siang hingga sore hari," ujar Asep.
Asep menjelaskan, pada periode akhir Mei-awal Juni konsentrasi rata-rata harian PM2.5 berada pada level 47,33-49,34 µg/m3.
Selama periode 21 Mei-7 Juni 2023, konsentrasi PM2.5 di wilayah DKI Jakarta mengalami penurunan kualitas udara dan berada dalam kategori sedang hingga kategori tidak sehat.
Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG)
Ardhasena Sopaheluwakan menjelaskan, proses pergerakan polutan udara seperti PM2.5 dipengaruhi transport angin yang bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain.
“Angin yang membawa PM2.5 dari sumber emisi dapat bergerak menuju lokasi lain sehingga menyebabkan terjadinya potensi peningkatan konsentrasi PM2.5,” kata
Ardhasena.
Ardhasena.
Baca juga: Dokter imbau kelompok sensitif lebih waspada pada kualitas udara Jakarta saat ini
Menurut Ardhasena, kelembapan udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inversi yang dekat dengan permukaan.
Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara yang seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.
“Dampak dari keberadaan lapisan inversi menyebabkan PM2.5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain dan mengakibatkan akumulasi konsentrasinya yang terukur di alat monitoring,” kata Ardhasena.
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Luckmi Purwandari menyampaikan, berdasarkan Peraturan Menteri LHK 14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) bahwa kualitas udara diklasifikasikan menjadi lima. Yaitu baik, sedang/moderate, tidak sehat, sangat tidak sehat dan berbahaya
Luckmi mengungkapkan, perhitungan ISPU hasil pemantauan kualitas udara di stasiun pemantau Gelora Bung Karno Jakarta selama tahun 2020-Juni 2023 menunjukkan kondisi udara Jakarta cenderung masuk dalam klasifikasi sedang/moderate.
Baca juga: Sejumlah faktor disebut pengaruhi penurunan kualitas udara Jakarta
Kondisi baik-buruknya kualitas udara dalam bentuk nilai ISPU termasuk petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh masyarakat di 56 lokasi stasiun pemantau kualitas udara di Indonesia dapat diketahui melalui publikasi resmi pemerintah oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Namun, kata Luckmi, pada waktu-waktu tertentu di musim kemarau berada dalam klasifikasi tidak sehat, yaitu pada Agustus 2020, Mei-Juli 2021, dan Juni-Agustus 2022 dan Juni 2023.
Kondisi udara tidak sehat adalah kondisi udara dengan nilai ISPU pada rentang 101-200. Artinya tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada manusia, hewan dan tumbuhan.