Jakarta (ANTARA) - Ketua Dewan Pemilu Turki (YSK) pada Minggu (28/5) mengumumkan bahwa Recep Tayyip Erdogan kembali terpilih sebagai Presiden Turki setelah memenangi putaran kedua pemilu presiden.
Berdasarkan hasil suara yang belum disahkan, Erdogan unggul dengan perolehan 52,14 persen suara atas pesaingnya Kemal Kilicdaroglu yang mengantongi 47,86 persen suara pada putaran kedua pilpres Turki.
Sebelumnya pada putaran pertama 14 Mei tidak ada calon presiden yang menembus ambang batas 50 persen suara sehingga pilpres dilanjutkan ke putaran kedua, meski Erdogan mengantongi 49,52 persen suara.
Lebih dari 64,1 juta orang terdaftar sebagai pemilih pemilu Turki, termasuk sekitar 1,92 juta orang yang berada di luar negeri yang sudah lebih dulu memberikan suaranya.
Pengamat hubungan internasional Teuku Rezasyah mengatakan secara konstitusional Erdogan sudah menang. Meski sudah melewati ambang batas, kemenangannya masih tipis dengan selisih kurang dari 10 persen suara. Hal itu menunjukkan bahwa Erdogan harus bekerja keras dan bahwa ia bukanlah presiden dari partai yang berkuasa saja, melainkan presiden dari seluruh masyarakat Turki.
"Erdogan harus meyakinkan dirinya sendiri dan masyarakat Turki bahwa dia adalah presiden dari seluruh masyarakat Turki sehingga harus berani mengambil program-program unggulan dari lawannya. Harus mempunyai standar tinggi dan membuktikan dirinya mampu mencapai itu. Harus berani, jangan sekadar menang," katanya.
Jika perlu, Erdogan juga harus mengambil pencapaian atau nilai-nilai terbaik dari pemenang kedua dan ketiga pada pilpres Turki. "Bagaimanapun Erdogan harus merangkul semua pihak," ujarnya.
Hal tersebut tidaklah mudah sehingga Erdogan perlu banyak melakukan konsultasi dan harus pula mengurangi atau tidak terkesan otoriter. Pun wajib menerima pihak yang dia kalahkan sebagai saudara. "Karena budaya Turki termasuk masyarakat dan peradabannya tinggi," katanya.
Menurut Teuku, Erdogan juga harus membuktikan bahwa kebijakan luar negeri Turki akan lebih baik dari sebelumnya, sebab banyak kritikan atas perilaku Turki di Timur Tengah. Kritikan tentang tidak adanya progres di Uni Eropa dan anggapan soal seperti bermain dua kaki dalam perang Rusia-Ukraina.
Oleh karena itu, katanya, Erdogan harus berani melakukan tindakan-tindakan global, harus pula mencoba berpikir berbeda dengan negara-negara mitra di Uni Eropa. "Dia harus memperkaya ide dan memberikan terobosan, seperti melakukan reformasi di Dewan Keamanan PBB."
Kemudian, terkait kabinet, Erdogan harus berani berbagi kursi dan melibatkan tokoh-tokoh di luar partainya untuk jabatan-jabatan strategis di luar posisi pertahanan dan keamanan.
Teuku menuturkan bahwa untuk ke depannya Erdogan hendaknya meyakinkan dalam negeri bahwa akan terjadi transisi kepemimpinan Turki yang secara alamiah tetapi terencana. Hendaknya Erdogan berani melakukan reformasi di DK PBB dan perlu berkoordinasi dengan negara-negara MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia).
"Erdogan perlu juga belajar dari konflik Rusia-Ukraina bahwa menciptakan perdamaian adalah hal yang mutlak di dunia. Turki hendaknya berani mengatakan kepada dunia bahwa Turki yang modern adalah yang cinta damai dan yang turut membantu menyelesaikan krisis-krisis dunia secara bermartabat."
Sementara itu, pengamat hubungan internasional Dinna Prapto Raharja berpendapat bahwa kemenangan Erdogan ternyata semakin menonjolkan adanya perbedaan pendapat tentang siapa yang layak memimpin dan model kepemimpinan yang tepat untuk Turki. "Ini menarik karena Erdogan selama berkuasa telah melakukan berbagai macam cara agar lebih diterima di masyarakat tetapi ternyata justru makin nampak perbedaan internal di dalam negeri Turki," katanya.
Dinna berpendapat bahwa terpilihnya Erdogan sampai harus melalui dua putaran pemilu menunjukkan bahwa politik di Turki sehat karena dinamis. "Politik yang sehat di mata saya adalah politik yang terus dinamis, tidak berhenti puas pada satu orang selama berpuluh-puluh tahun."
Erdogan lahir pada 26 Februari 1954 dan menjabat sebagai Presiden Turki sejak 2014. Sebelumnya, dia menjabat sebagai Perdana Menteri Turki sejak 14 Maret 2003 sampai 28 Agustus 2014.
Erdogan terpilih sebagai Wali Kota Istanbul pada pemilu daerah pada 27 Maret 1994. Dia pernah mendekam di penjara pada 12 Desember 1997 karena puisi karyanya. Setelah 4 bulan di penjara, Erdogan kemudian mendirikan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pada 14 Agustus 2001.
Baca juga: Presiden Jokwi beri selamat atas terpilihnya kembali Erdogan
Baca juga: Trump ucapkan selamat untuk Erdogan
Baca juga: Erdogan kembali jadi Presiden Turki
Erdogan lanjutkan kekuasaan di Turki
Selasa, 30 Mei 2023 7:38 WIB