Jakarta (ANTARA) - Pada 14 Mei 2023, Turki menggelar pemilihan umum yang disebut-sebut bakal menentukan nasib Presiden Recep Tayyip Erdogan setelah dalam 20 tahun terakhir memerintah negara yang berada di dua benua, Asia dan Eropa, itu.
Pemilu itu mempertemukan dua calon terkuat, yakni Erdogan dan Kemal Kilicdaroglu, walaupun ada dua calon lain, yakni Muharrem Ince dan Sinan Ogan.
Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) menghadapi oposisi bersatu pimpinan Kemal Kilicdaroglu yang mengetuai Partai Rakyat Republik (CHP).
Ssejak Pemilu 2014, Turki menganut sistem presidensial di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat. Erdogan menjadi Presiden Turki pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.
Namun sebagaimana biasa terjadi pada pemimpin yang terlalu lama berkuasa, tatanan yang tadinya demokratis perlahan menjadi otoriter setelah Erdogan dituding terlalu memusatkan kekuasaan pada dirinya.
Inilah yang selalu dikritik oposisi di Turki. Akan tetapi baru 2019, oposisi bisa menggoyang kekuasaan Erdogan dalam skala besar, setelah Ankara dan Istanbul yang menjadi basis kekuatan AKP, direbut politisi-politisi CHP pada Pilkada 2019.
Jajak pendapat lembaga polling TEAM di Istanbul pekan ini, mendapatkan gambaran bahwa Kemal Kilicdaroglu mendapat suara 47,4 persen, unggul dari Erdogan dengan 44,4 persen.
Sejumlah kalangan meyakini pemilu bakal berlangsung dua putaran.
Jika Erdogan kalah maka dipastikan lanskap politik berubah, tidak hanya menyangkut praktik sekularisme dibandingkan dengan masa Erdogan, tetapi juga menyangkut kebijakan luar negeri Turki, mulai dari masalah keamanan Eropa sampai komitmen Turki di Timur Tengah, khususnya Suriah.
Siapa pun yang memenangi pemilu, agaknya akan mengubah bentuk peran Turki dalam aliansi NATO, hubungan Turki dengan Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Rusia.
Kemal Kilicdaroglu yang dijuluki "Gandhi dari Turki", menjanjikan perubahan besar, dari pemimpin otoriter yang mengatur segalanya, menjadi tatanan yang mengandalkan kerja tim, yang pasti jauh lebih demokratis, kata Unal Cevikoz, Kepala Penasihat Kebijakan Luar Negeri Kilicdaroglu.
Pemilu di Turki bisa menjadi akhir dari nasionalisme-religius atau sebaliknya babak baru sekularisme Turki, walau sekularisme yang dibawa Kilicdaroglu berbeda dari Turki masa lalu karena Kilicdaroglu sendiri melibatkan beberapa partai Islam.
Bisa juga menghasilkan tatanan yang lebih akomodatif dan pragmatis mengingat kekuatan dari masing-masing calon.
Turki dan Pemilu 14 Mei
Kamis, 4 Mei 2023 11:21 WIB