Bogor (Antara Megapolitan) - Dinas Kesehatan Kota Bogor, Jawa Barat, mensosialisasikan obat program untuk pasien atau penderita Tubercolosis (TBC) yang disertai penyakit penyerta seperti TBC, kusta, malaria, dan penyakit kaki gajah.
"Obat program ini disebut juga obat grand, karena obat ini dikhususkan bagi penderita TBC yang terjangkit penyakit menular lainnya yang proses penularan bisa secara langsung tanpa media perantara," kata Kepala Seksi Pencegahan Pemberantasan Penyakit Menular (P3M) Dinkes Siti Robiah di Bogor, Rabu.
Menurut dia, obat tersebut sulit ditemukan di apotik-apotik karena tergolong sebagai obat program yang dikhususkan bagi penderita TBC disertai penyakit penyerta lainnya. Obat tersebut terdiri dari empat jenis dan proses pengobatan menggunakan obat tersebut mendapatkan pengawasan mulai dari awal hingga akhir.
"Waktu pengobatan dijalankan minimal enam bulan. Selama kurun waktu tersebut, pasien akan diawasi secara intens, dicatat semua data yang terkait bagi perkembangan pengobatan pasien," katanya.
Ia mengatakan, strategi pengobatan tersebut dinamakan "Directly Observed Threatment Sorcourse" (DOTS), pengobatan jangka pendek yang diawasi secara langsung. Sehingga pasien TB yang mengalami batuk dua minggu atau lebih, diperiksa dahaknya, ditangani mulai dari gejalan hingga semua.
"Tujuan strategi ini untuk memutus rantai penularan dan menurunkan angka kematian akibat penularan TBC," katanya.
Menurut dia, dengan DOTS, pasien TBC tidak akan kesulitan menemukan obat yang akan dikonsumsinya. Karena, obat yang dikonsumsi terdiri dari empat macam dalam satu paketnya.
"Salah satu jenis obat yang sulit ditemukan di apotik adalah Rifampisin," ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, pasien TBC harus memiliki obat tersebut, dan petugas kesehatan harus memberikan edukasi serta penyuluhan efek samping yang ditimbulkannya. Jika pengobatan tidak dilakukan secara teratur mengakibatkan kuman TBC menjadi kebal.
"Pada tahap ini status pasien berubah menjadi TB multi drug resisten (TBMDR)," katanya.
Dalam kondisi ini lanjut dia, pasien harus menjalani pengobatan lebih lama lagi, dan mendapatkan pengobatan suntik selama enam bulan, serta meminum obat selama dua tahun dengan jumlah lebih dari delapan butir untuk sekali minum.
Siti menambahkan, kasus TBC di Kota Bogor ditemukan tahun 2013, dari 57 kasus, hanya lima pasien yang dapat sembuh. Enam pasien TBMDR meninggal dunia dan delapan pasien TBC putus pengobatannya.
"Pesien yang putus mengkonsumsi obat beresiko menularkan TBC kepada keluargannya dan masyarakat sekitar," katanya.
Pemerintah Kota Bogor berupaya untuk menekan jumlah pasien TBC dengan menyediakan fasilitas pengobatan. Saat ini sudah terdapat lima rumah sakit yang memiliki poli DOTS, yakni RS Hermina, RS Marzoeki Mahdi, RS Salak, RS Medica Dramaga, RS Melania dan Lapas Paledang.
Upaya lainnya memberikan pelatihan terkait sumber daya manusia untuk melatih tenaga DOTS dari sejumlah rumah sakit. Serta penandatangan MoU antara Dinkes dan sejumlah rumah sakit yang memiliki poli DOTS akan mendapatkan obat program TB berstandar WHO.
"Yang sangat penting dilakukan mengubah pola pikir masyarakat, obat gratis khasiatnya tidak sebagus obat dari dokter spesial. Obat Prona TBC yang kita miliki berstandar WHO dan memiliki khasiat yang bagus. Untuk mendapatkan obat ini, pasien hanya membayar biaya untuk dokter saja, sedangkan obatnya gratis," katanya.
Dinkes Kota Bogor Sosialisasikan Obat Program TBC
Kamis, 9 Juni 2016 5:16 WIB
Tujuan strategi ini untuk memutus rantai penularan dan menurunkan angka kematian akibat penularan TBC.