Jakarta (ANTARA) - Masjid sejak lama punya peran fungsi-fungsi non-ritual. Di banyak negara arab, masjid menjadi mimbar dan sumbu awal gerakan politik. Jauh kebelakang, masa pra kemerdekaan, ulama kita juga memanfaatkan masjid, surau, langar-langgar dijadikan tempat perencanaan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Di era Nabi Muhammad SAW, masjid menjadi arena mobilisasi yang efektif. Berbagai seruan beliau dari dalam masjid berhasil memobilisasi umat untuk ikut berbagai perang membela Islam. Saat Islam menguasai Cordoba dan Baghdad, berbagai ilmu diajarkan di masjid, seperti aljabar, biologi, fisika, filsafat, sejarah, hukum, bahkan ilmu politik.
Hal pembeda kini dan dulu adalah bila dulu masjid merupakan pusat pemikiran, pendidikan, strategi perang, dan juga pemerintahan bagi peradaban Islam secara keseluruhan. Kini suka tidak suka masjid adalah ajang medan dakwah, yang memperebutkan hegemoni ideologi, sikap politik, mazhab, dan aliran bagi kalangan sesama umat Islam sendiri. Masjid tak lagi memiliki peran yang strategis dalam menjalin komunitas di antara umat Islam. Masjid sudah tidak lagi menjadi arena menyatukan mereka di dalam ajaran tersebut seperti yang dulu-dulu. Masjid berubah menjadi arena konstestasi penguatan identitas kelompok-kelompok di umat Islam.
Sebut saja, persaingan antara ormas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam mencari jamaah. Konteksnya adalah mengembangkan pemikiran Islam moderat masing-masing. Namun pasca jatuhnya era orde baru, mulai terjadi penguasaan kelompok-kelompok baru yang orientasi pemikiran dan politiknya lebih keras. Masjid-masjid yang dulu dikuasai oleh NU atau Muhammadiyah kini diambil alih oleh kelompok-kelompok yang mengartikulasikan aspirasi politik dan ideologi keagamaan mereka dengan nada agresif, agitatif, dan demonstratif, bahkan berujung destruktif.
Kelompok-kelompok garis keras ini masuk ke dalam masjid-masjid di banyak komunitas lantas melakukan kaderisasi dan seruan kebencian untuk agenda kepentingan politik mereka. Mereka menjaring jamaah melalui simbol-simbol kemurnian Islam, dakwah kebangkitan Islam, narasi khilafah, jihad dan kafir. Seolah-olah mereka yang paling islami sehingga tak pelak menimbulkan benturan sentimen politik identitas. Tentu saja, Ideologi semacam itu bertentangan dengan arus utama Islam Indonesia yang selama ini toleran.
Masjid tak pernah netral, dan memang jangan sampai netral, menghadapi berbagai persoalan yang menimpa umat. Hanya saja, saat ini menjadi rumit karena persoalan umat lebih sering dibicarakan dalam kerangka politik identitas Islam dan ujaran kebencian, sekadar urusan politik praktis belaka seperti pilkada atau gulingkan pemerintahan. Inilah sebenarnya problem yang dikhawatirkan sekarang. Bukan soal politisasi masjid diperbolehkan atau tidak karena hal itu bukanlah tabu, karena dari sejarahnya, berbagai hal berbau politis sering berasal dari masjid. Akan tetapi, lebih ke urusan keterpihakan dalam gerakan politik saja.
Politik partisan dan primordial tampak jauh dari aktifitas gerakan Islam terdahulu yang lebih kerap mendahulukan keutuhan umat Islam ketimbang kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Ketika masjid digunakan untuk Gerakan semacam ini, maka masjid hanya akan menjadi arena memecah belah, karena bersifat destruktif. Akibatnya, masjid yang menjadi sumber peradaban justru menjadi sumber kerusakan dan konflik antarumat. Jika yang dituju adalah politisasi masjid untuk keutuhan umat Islam atau kemajuan perdaban Islam, maka sah-sah saja bahkan sangat dianjurkan karena akan bermanfaat pada kemajuan peradaban Islam.
Oleh karena itu penguasaan masjid oleh kelompok yang cenderung memanipulasi agama perlu di cegah bahkan harus dilarang. Bukan karena anti-politisasi masjid tetapi efek yang ditimbulkan cenderung merusak keutuhan umat dan bangsa. Setidaknya ada lima hal yang menjadi alasan mereka perlu dilarang;
Pertama, Sikap merasa paling benar sendiri, suka menuduh orang lain sebagai pelaku bidah, khurafat, syirik, dan kafir seringkali menjadi faktor penyebab perselisihan sampai perkelahian di kalangan umat Islam sendiri.
Kedua, Kerap kali dijadikan tempat pembibitan kelompok teroris dan pemikiran garis keras dampak dari pilihan gerakan politik mereka yang agresif,
Ketiga, jamaah masjid yang beragam, sehingga sulit diterima penyeragaman identitas,
Keempat, Menjaga kemurnian masjid sebagai tempat peribadatan dari kepentingan dunia yang sesaat
Sekali lagi, Masjid perlu dikelola oleh kalangan umat Islam yang toleran dan moderat. Perlu ada usaha pembekalan untuk mereka sehingga menjadi penggerak keumatan yang moderat dan nasionalis sehingga kedepannya melahirkan umat Islam yang damai dan toleran. Masyarakat juga mulai dilibatkan sebagai fungsi kontrol masjid sehingga mampu membatasi penyebaran kelompok-kelompok Islam yang destruktif. (66/*).
*) Penulis: Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gunadarma.
Masjid Tidak Pernah Netral
Minggu, 29 Desember 2019 10:29 WIB
Masjid perlu dikelola oleh kalangan umat Islam yang toleran dan moderat. Perlu ada usaha pembekalan untuk mereka sehingga menjadi penggerak keumatan yang moderat dan nasionalis sehingga kedepannya melahirkan umat Islam yang damai dan toleran.