Bangkok (ANTARA) - SEA Games 2025 Thailand meninggalkan banyak cerita tentang emas, podium tertinggi, dan lagu kebangsaan yang berkumandang.
Kamera merekam selebrasi, air mata bahagia, serta kisah perjuangan atlet peraih medali. Namun di balik sorotan itu, ada cerita lain yang jarang mendapat ruang.
Kisah mereka yang kalah, mereka yang pulang tanpa emas, bahkan tanpa medali.
Tulisan ini bukan tentang ofisial tim yang bekerja di balik layar, juga bukan tentang strategi atau rapat evaluasi. Mereka juga berjuang dan tak banyak mendapat ruang bidikkan.
Namun ini adalah cerita tentang atlet-atlet Indonesia yang pada SEA Games 2025 tak tersorot kamera. Bukan karena mereka gagal berjuang, melainkan karena hasil belum berpihak.
Dalam olahraga, kalah adalah keniscayaan. Namun menerima kekalahan tidak selalu mudah. Terutama bagi mereka yang telah mengorbankan waktu, tenaga, bahkan masa muda untuk satu momen bernama pertandingan.
Kalah bukan sekadar soal skor, tetapi juga soal harapan yang runtuh, target yang meleset, dan rasa sesak yang tak selalu bisa diucapkan.
Indonesia mengirim lebih dari seribu atlet ke Thailand. Raihan 91 emas (hingga tulisan ini terbit) patut disyukuri, tetapi angka itu juga menyiratkan fakta lain yakni jauh lebih banyak atlet yang belum mampu mencapai podium. Di situlah keheningan kerap hadir.
Tangis yang tertahan, tatapan kosong, hingga diam panjang di sudut arena, semua menjadi pemandangan yang jarang tersiar.
Kamis (18/12) sore itu, di Hua Mark Velodrome, Bang Kapi, Bangkok, sunyi terasa begitu tebal.
Harapan tim balap sepeda Indonesia untuk merebut emas nomor men’s team pursuit kandas bukan karena kalah adu tenaga, melainkan akibat kendala teknis di detik-detik awal lomba.
Indonesia yang menurunkan Terry Yudha Kusuma, Juilan Abimanyu, Yosandy Darmawan Oetomo, Muhammad Andy Royan, dan Bernard Benjamin van Aert dinyatakan tidak finis setelah dua pembalap mengalami masalah klip pedal.
Akibatnya, tim didiskualifikasi.
Kesalahan kecil, tetapi fatal. Klip pedal yang terlepas seketika menghapus rencana yang disusun bertahun-tahun.
Paddock Kontingen Merah Putih mendadak hening.
Wajah-wajah yang sebelumnya penuh percaya diri berubah muram. Salah satu yang paling jelas menampakkan kekecewaan adalah atlet muda Juilan Abimanyu, yang digadang-gadang menjadi masa depan balap sepeda Indonesia. Terlebih ini merupakan debutnya di SEA Games dan nomor satu-satunya yang ia ikuti di Thailand.
Padahal keyakinan itu bukan tanpa dasar. Sebagai cabang olahraga terukur, catatan waktu Indonesia di atas kertas menjadi salah satu yang terbaik di Asia Tenggara.
Bahkan beberapa jam sebelum lomba, para pembalap terlihat bersemangat, mengayuh sepeda di tengah padatnya jalanan Bangkok menuju stadion.
Mereka menyapa dengan gairah, dengan keyakinan bahwa hari itu akan menjadi milik mereka.
Namun olahraga tak selalu berjalan sesuai rencana.
Dewi fortuna tak berpihak.
Kesalahan kecil membuat latihan bertahun-tahun terasa sia-sia, setidaknya pada hari itu.
Cerita serupa datang dari cabang lain. Kekecewaan juga dirasakan atlet kickboxing Indonesia Andi Mesyara Jerni Maswara yang sempat meluapkan emosinya di media sosial karena merasa dicurangi, sebelum akhirnya memberikan klarifikasi.
Emosi itu manusiawi.
Namun pada akhirnya, olahraga menuntut sportivitas untuk menerima hasil, seberat apa pun rasanya.
Di cabang balap sepeda, Ayustina Delia Priatna memahami betul rasa kehilangan yang dirasakan rekan-rekannya. Ayustina pun tak mampu menahan haru ketika hanya meraih medali perunggu pada nomor trek scratch putri.
Ia finis di posisi ketiga, di bawah pembalap Malaysia Zubir Nur Aisyah Mohamad dan Valencia Tan asal Singapura.
Padahal sebelumnya, Ayustina sudah menyumbang emas dari nomor individual time trial (ITT) road race putri dengan catatan waktu 59 menit 18 detik, mengalahkan dua pembalap tuan rumah Thailand. Emas itu mengulang keberhasilannya pada SEA Games Vietnam 2021, setelah nomor tersebut absen di Kamboja 2023.
Selain itu, ia juga meraih perunggu dari nomor individual road race putri dengan waktu identik 3 jam 56 menit 20 detik.
Tangis Ayustina bukan semata karena perunggu, melainkan karena empati.
Ia tahu betul bagaimana rasanya berjuang keras namun hasil tak sepenuhnya sesuai harapan. Kepada rekan-rekannya, Ayustina memberi semangat. Dia mengatakan kegagalan adalah bagian dari proses, dan proses itulah yang membentuk seorang juara.
Dari ring tinju, raut kekecewaan juga tampak jelas di wajah Maikhel Roberrd Muskita. Ia tertunduk lesu saat pengalungan medali perak setelah takluk dari petinju Filipina Eumir Felix Marcial dengan skor 1-4 pada final kelas 80 kilogram putra.
Kepada ANTARA, Maikhel mengaku kecewa karena selama ini banyak hal yang ia korbankan. Padahal hanya selangkah lagi ia bisa meraih medali emas.
Namun ia berjanji bangkit, menatap Asian Games 2026 dan Olimpiade Los Angeles 2028 sebagai tujuan berikutnya.
Banyak atlet lainnya yang merasakan hal serupa. Mereka inilah yang jarang disorot kamera. Tidak berisik ketika kalah, tidak mencari kambing hitam, tidak pula menyalahkan wasit atau keadaan.
Mereka menerima dengan lapang dada, meski luka masih terasa. Dalam diam, mereka menata ulang mimpi.
Olahraga bukan hanya tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Namun tentang keberanian untuk bangkit setelah jatuh.
Abimanyu masih muda, begitu pula dan pejuang-pejuang lain yang pulang tanpa emas. Kesempatan masih terbuka, jalan masih panjang.
Di balik podium dan sorotan kamera, ada kesatria-kesatria olahraga yang tetap berdiri tegak meski kalah.
Mereka mungkin tak mendapat tepuk tangan meriah hari ini, tetapi dari merekalah lahir pelajaran paling penting dalam olahraga yakni keteguhan, kerendahan hati, dan keyakinan bahwa suatu hari, kerja keras akan menemukan jalannya sendiri.
Terima kasih untuk semua yang telah berjuang!
