Kota Bogor (ANTARA) - Pemerintah Kota Bogor terus melanjutkan berbagai program lintas sektor untuk menekan angka kemiskinan, setelah capaian positif penurunan tingkat kemiskinan dari 6,53 persen menjadi 5,89 persen pada 2025 atau setara dengan sekitar 60 ribu penduduk.
Wakil Wali Kota Bogor Jenal Mutaqin menyampaikan bahwa capaian tersebut tidak lepas dari kerja sama dan kolaborasi lintas sektor di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, termasuk upaya sinkronisasi data dengan kebijakan pemerintah pusat.
“Rapat koordinasi ini dilakukan untuk menyamakan persepsi dan asumsi. Yang paling penting adalah Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) harus sesuai dan kolaboratif dengan inpres, sehingga terjadi sinergitas antara pusat dan daerah dalam menanggulangi angka kemiskinan,” ujar Jenal usai membuka Rapat Koordinasi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Daerah Kota Bogor di Auditorium Bima Arya, Perpustakaan dan Galeri Kota Bogor, Jumat.
Baca juga: Pemkot Bogor kolaborasi entaskan kemiskinan ekstrem di Kelurahan Mulyaharja
Baca juga: Pemkot Bogor dapat insentif Rp5,9 miliar karena berhasil turunkan kemiskinan ektrem
Menurut Jenal, sinkronisasi data menjadi kunci efektivitas penanggulangan kemiskinan. Sebab, tidak semua warga miskin di lapangan tercatat dalam sistem DTSEN. Untuk itu, Pemkot Bogor menghadirkan narasumber dari Dinas Kominfo Provinsi Jawa Barat dan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) guna memastikan penyelarasan data sesuai kebutuhan daerah dan acuan pemerintah pusat.
“Tidak semua warga Bogor miskin yang kita data itu masuk dalam DTSEN. Oleh karena itu, kami menghadirkan narasumber dari Kominfo Provinsi Jawa Barat dan Pusdatin untuk memastikan sinkronisasi berjalan sesuai kebutuhan dan acuan pemerintah pusat,” jelasnya.
Ia menambahkan, berbagai program lintas sektor terus dijalankan untuk menekan angka kemiskinan, mulai dari sektor pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, hingga infrastruktur wilayah, dengan dukungan anggaran yang signifikan.
“Berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi beban pengeluaran masyarakat, antara lain lewat program pendidikan seperti Bantuan Siswa Miskin, tebus ijazah, dan beasiswa mahasiswa gratis. Di sektor kesehatan ada BPJS PBI, kemudian program guru ngaji, bedah rumah, dan padat karya,” ungkapnya.
Baca juga: Soroti data kemiskinan Kota Bogor, anggota Banggar akan jadikan bahan evaluasi APBD-Perubahan 2023
Selain itu, Jenal juga menyoroti perlunya penyeragaman data di sektor lain, termasuk dalam pendataan stunting, yang hingga kini masih ditemukan perbedaan antara hasil survei nasional dan data lapangan.
“Tadi saya sampaikan juga data stunting berbeda antara hasil survei SKI dengan bulan penimbangan balita. Kami ingin mendapat pencerahan dari pusat mana yang harus menjadi pedoman, agar data tercatat by name by address secara jelas,” ujarnya.
Lebih lanjut, Jenal menekankan bahwa ukuran keberhasilan program kemiskinan bukan hanya dari status kategori miskin ekstrem atau tidak, melainkan dari sejauh mana kebijakan dan anggaran publik memberi manfaat nyata bagi warga.
“Jadi kalau ditanya miskin ekstrem atau miskin biasa, bagi kami tidak menjadi ukuran. Yang penting adalah sejauh mana uang rakyat ini berintervensi untuk kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.
