Pekanbaru (ANTARA) - Di banyak sudut desa di Riau, persoalan hukum sering kali hadir tanpa undangan, diam-diam, lalu meledak menjadi konflik berkepanjangan.
Tanah yang diwariskan turun-temurun tiba-tiba diperebutkan; Batas kebun sawit yang semula samar menjadi bara pertengkaran. Masyarakat menengah ke bawah, yang sehari-hari sibuk mencari nafkah, seringkali tersandung di jalan hukum yang rumit dan berliku.
Kata-kata seperti “gugatan”, “akta”, atau “sengketa” terdengar asing, menakutkan, bahkan mahal. Di sinilah keresahan itu lahir: ketidaktahuan akan prosedur hukum membuat masyarakat miskin kerap kalah bahkan sebelum masuk arena.
Namun, kini di desa-desa, sebuah jalan baru mulai ditapaki. Pos Bantuan Hukum (Posbakum) hadir sebagai jendela terang, membuka akses keadilan yang selama ini hanya terasa jauh di gedung-gedung kota.
Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Riau menggagas pembentukan 1.800 Posbakum di seluruh desa/kelurahan dalam Provinsi Riau, dengan sebanyak 3.600 paralegal yang ditunjuk kepala desa untuk mendampingi warganya tersebar di pelosok desa. Mereka bukan pengacara dengan jas hitam dan gelar panjang, melainkan warga desa sendiri yang diberi pengetahuan hukum, menjadi mata dan telinga hukum di kampung halaman.
“Posbakum desa/kelurahan adalah wadah penting yang menjamin akses keadilan merata,” ujar Ariston Hotman Turnip, Penyuluh Hukum Kanwil Kemenkum Riau, dalam sebuah sosialisasi. Ia menekankan bahwa instrumen ini bukan sekadar formalitas, melainkan jembatan nyata bagi masyarakat miskin yang selama ini bingung mencari tempat bertanya.
Di Riau, mayoritas persoalan hukum berkutat pada sengketa lahan. Seorang petani di Kampar bisa kehilangan tidurnya karena sepetak tanah warisan tiba-tiba diklaim orang lain.
“Kalau dulu, masyarakat bingung harus mengadu ke mana. Kini cukup datang ke kantor desa, ada paralegal yang bisa mendengarkan,” kata Bupati Kampar, H. Ahmad Yuzar.
Dengan bangga ia menyebut Kampar sebagai kabupaten pertama di Riau yang berhasil 100 persen membentuk Posbakum di 250 desa dan kelurahannya.
“Masyarakat tidak perlu lagi jauh-jauh ke kota. Permasalahan bisa diselesaikan secara musyawarah, damai, bahkan sebelum sampai ke pengadilan,” tambahnya.
Paralegal di desa ibarat konsultan hukum bagi orang kecil. Mereka menampung keluh kesah, memberikan nasihat dasar, hingga menunjukkan jalur yang harus ditempuh.
Berbeda dengan pengacara yang beracara di pengadilan, paralegal bekerja di ranah konsultasi awal dengan memberikan pemahaman sebelum langkah hukum diambil. Meski sederhana, perannya vital, mengurangi jarak antara hukum yang kaku dengan denyut nadi masyarakat desa.
Senada dengan arah penegakan hukum, Kepala Kanwil Kemenkum Riau Rudy Hendra Pakpahan menjelaskan bahwa setiap masyarakat berhak atas edukasi persoalan hukum, yang mampu memberikan keadilan merata bagi semua pihak. Dimulai dari edukasi paralegal yang telah ditunjuk dan diberi bekal ilmu hukum.
“Paralegal ini bukan pengacara. Mereka tidak beracara di pengadilan, tetapi mendampingi masyarakat untuk memahami hak dan kewajibannya. Itu yang sering luput,” jelas Kepala Kanwil Kemenkum Riau, Rudy Hendra Pakpahan.
Ia menegaskan, tanpa pendampingan awal ini, banyak masyarakat yang terjerumus ke jalur yang salah, atau bahkan dimanfaatkan pihak tertentu.
Bayangkan sebuah sore di sebuah desa di Kampar. Seorang bapak paruh baya datang dengan wajah gusar, menggenggam peta tanah yang kusut. Di meja kayu kantor desa, seorang paralegal duduk, mendengarkan dengan sabar. Mereka berbicara tentang garis batas, tentang dokumen yang belum lengkap. Tidak ada toga, tidak ada gedung megah, hanya ruang sederhana dan secangkir teh. Namun di sanalah hukum menemukan wajahnya yang paling manusiawi: mendengar, menjelaskan, dan menenangkan.
Peran paralegal bukan hanya menyelesaikan sengketa. Mereka juga berfungsi sebagai guru hukum bagi warganya. Posbakum menjadi ruang edukasi: mengajarkan hak dan kewajiban warga negara, pentingnya dokumen kepemilikan yang sah, hingga cara menyelesaikan masalah secara non-litigasi. Dengan adanya Posbakum, diharapkan masyarakat semakin sadar hukum, lebih adil, dan sejahtera.
Di balik itu semua, tantangan tentu ada. Besaran upah paralegal, misalnya, masih menjadi perbincangan. Tidak semua desa memiliki kemampuan anggaran yang sama. Namun bagi banyak paralegal, penghargaan bukan semata soal uang. Ada kebanggaan menjadi penjaga kecil di gerbang keadilan, memastikan tetangganya tidak tersesat dalam hukum yang asing.
Pembentukan Posbakum ini bukanlah akhir, melainkan awal perjalanan panjang. Kanwil Kemenkum Riau berharap langkah Kampar menjadi teladan bagi kabupaten lain. Rudy Hendra Pakpahan bahkan menyiapkan piagam penghargaan sebagai bentuk apresiasi.
“Kementerian Hukum tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan kerja sama lintas lembaga, pemerintah daerah, hingga organisasi advokat. Hanya dengan kolaborasi, akses keadilan bisa benar-benar hadir di setiap desa,” katanya.
Di jalan sunyi menuju keadilan ini, paralegal menjadi lentera. Mereka tidak menjanjikan kemenangan di pengadilan, tetapi menghadirkan pemahaman, menenangkan keresahan, dan memberi arah.
Bagi masyarakat miskin di Riau, Posbakum adalah ruang di mana hukum tak lagi terasa dingin dan jauh, melainkan hangat dan dekat. Sebuah langkah kecil, tapi berarti, untuk memastikan hukum benar-benar milik semua orang. Mungkin, dari meja kayu di sebuah kantor desa, keadilan akhirnya bisa berakar.
Catatan Paralegal Desa
Paralegal desa bukan sekadar “penasehat hukum kampung” yang duduk mendengar keluhan. Mereka memiliki hak sekaligus kewajiban yang menyatu dalam satu panggilan: mendampingi sesama warganya memahami hukum.
Hak mereka antara lain adalah mendapatkan pelatihan dasar hukum dari pemerintah atau lembaga mitra, memperoleh akses informasi hukum yang memadai, serta mendapatkan apresiasi atau upah yang disesuaikan dengan kemampuan desa. Hak ini penting, karena tanpa dukungan dan penghargaan, paralegal akan sulit menjalankan tugasnya dengan konsisten.
Namun, hak itu datang bersama kewajiban yang tak ringan. Paralegal wajib menjaga kerahasiaan setiap cerita yang dititipkan warga, memberikan informasi hukum secara jujur dan sederhana, serta mendampingi masyarakat dalam menyusun dokumen atau pengaduan sebelum melangkah ke ranah hukum formal.
Mereka juga berkewajiban menjadi jembatan musyawarah, mengupayakan penyelesaian damai sebelum konflik masuk ke meja pengadilan. Di pundak paralegal, ada amanat untuk tidak berpihak, meski seringkali yang datang adalah tetangga sendiri, atau bahkan kerabat dekat.
Sementara itu, tujuan dari Pos Bantuan Hukum sendiri bukan hanya memberi ruang konsultasi gratis bagi masyarakat miskin. Lebih jauh dari itu, Posbakum adalah simbol hadirnya negara di tengah rakyat kecil. Ia menjadi pintu pertama akses keadilan, memastikan setiap warga, kaya maupun miskin, berhak memperoleh perlindungan hukum.
Posbakum juga lahir untuk mengurangi jarak antara desa dan kota. Jika sebelumnya masyarakat harus menempuh perjalanan berjam-jam ke pengadilan atau LBH di kota besar, kini mereka cukup duduk di kantor desa, ditemani paralegal yang mengenal wajah dan cerita mereka. Tujuannya jelas: menciptakan masyarakat yang lebih sadar hukum, meminimalisir konflik sosial, serta membangun budaya penyelesaian masalah secara damai.
Dengan kata lain, Posbakum bukan sekadar ruang konsultasi hukum, melainkan sekolah kehidupan tempat hukum dipelajari bukan lewat pasal-pasal yang kaku, tetapi lewat dialog sederhana, musyawarah, dan rasa kebersamaan.
