Jakarta (ANTARA) - Lembaga keuangan dalam perekonomian dapat diibaratkan sebagai penyuntik darah yang mengalirkan energi kehidupan ke seluruh tubuh. Bertugas memastikan setiap sel mendapat nutrisi agar tetap sehat, tumbuh, dan berdaya.
Begitu pula likuiditas dalam bentuk kredit, pembiayaan, dan modal, yang menjadi aliran utama bagi kegiatan usaha di Indonesia. Tanpa aliran ini, ekonomi bisa melemah, bahkan terhenti.
Analogi inilah yang tampaknya menjadi inspirasi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ketika memutuskan untuk memanfaatkan dana Sisa Lebih Anggaran (SAL) yang selama ini mengendap di Bank Indonesia, dengan menempatkan Rp200 triliun ke bank-bank BUMN.
Harapannya sederhana tapi strategis: likuiditas bank bertambah, kredit ke sektor riil mengalir lebih deras, investasi meningkat, lapangan kerja tercipta, dan pertumbuhan ekonomi semakin cepat.
Secara konsep, kebijakan ini menunjukkan optimisme pemerintah untuk menjadikan SAL sebagai instrumen pemulihan ekonomi. Namun, agar benar-benar berdampak luas, pelaksanaannya perlu dirancang lebih inklusif.
Tantangan terbesar terletak pada kenyataan bahwa sektor riil di tanah air yang masih menghadapi permintaan yang terbatas.
Industri manufaktur, misalnya, belum sepenuhnya pulih, sehingga ekspansi usaha baru masih berjalan lambat.
Dalam kondisi ini, bank cenderung berhati-hati. Alih-alih menyalurkan kredit ke sektor riil, mereka lebih memilih menempatkan dana di instrumen keuangan yang lebih aman atau ke proyek-proyek besar milik korporasi mapan.
Risiko inilah yang bisa membuat manfaat penempatan SAL menjadi kurang optimal jika hanya berputar dalam lingkaran bisnis besar.
Padahal, potensi terbesar justru ada pada 64,5 juta pelaku usaha mikro dan kecil yang mewakili 99,6 persen pelaku usaha di Indonesia.
Jika mereka mendapatkan akses pembiayaan yang memadai, dampaknya tidak hanya meningkatkan skala usaha, tetapi juga membuka lapangan kerja baru dan memperkuat daya beli masyarakat.
Dengan demikian, kebijakan yang terlihat top-down ini bisa diimbangi dengan strategi yang menyentuh langsung ekonomi rakyat di akar rumput.
Alih-alih hanya memperbesar neraca bank, dana itu bisa menjadi penggerak ekonomi rakyat, mempersempit kesenjangan, dan menumbuhkan rasa percaya bahwa pertumbuhan bukan hanya milik segelintir orang, tetapi milik bersama.
Pertumbuhan sejati selalu berakar pada kekuatan rakyat. Ketika dana SAL diarahkan untuk memperkuat daya beli, mendukung UMKM, dan membangun ekosistem keuangan yang beragam, maka yang dihasilkan bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pertumbuhan sosial, keadilan, dan harapan.
Kebijakan seperti ini akan menjadi bukti bahwa pembangunan Indonesia tidak hanya bertujuan mengejar angka, tetapi benar-benar ingin menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh warganya.
*) Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR), Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang.
