Jakarta (ANTARA) - Matahari baru beranjak naik di langit Setu Babakan, Jakarta Selatan, Kamis (11/9) pagi. Namun halaman Gedung Serba Guna Kampung MH Thamrin tampak sudah riuh oleh langkah kaki dan suara anak-anak.
Mereka mengenakan seragam perguruan pencak silat berbagai warna, yakni biru, hitam, merah, kuning. Pesilat anak-anak itu terlihat akrab bercengkerama dengan teman maupun pelatih.
Di satu sudut, seorang guru silat merapikan sabuk muridnya. Di sudut lain, orang tua sibuk mengabadikan momen bersama anak-anak mereka.
Suasana itu terjadi pada pembukaan Kejuaraan Pencak Silat Tradisional “Maen Pukul Betawi 2025”.
Panitia mengemas ajang ini bukan sekadar kompetisi seni bela diri, tetapi juga sarana memperkenalkan nilai budaya Betawi kepada generasi muda sejak dini.
“Kami ingin anak-anak mengenal dan mencintai silat Betawi sebagai warisan leluhur,” kata Ketua Panitia Farah Aini.
Kejuaraan yang diikuti lebih dari 300 anak dari sekitar 40 perguruan itu berfokus pada koreografi dan kekayaan gerak, bukan duel fisik, sehingga ramah terhadap anak.
Di luar arena, deretan gerai kuliner khas lokal berjajar seperti selendang mayang, kerak telor, toge goreng, bakso, mie ayam, hingga gado-gado dan nasi uduk. Semua ramai disambangi peserta dan tamu undangan.
Aroma makanan bercampur riuh suara anak-anak, menciptakan suasana festival budaya yang hidup. Ajang perdana ini mampu menjadi ruang silaturahmi dan promosi ekonomi lokal.
Pelatih Perguruan Pencak Silat Cingkrik Betawi Rusunawa, Iwan (41) membawa sepuluh muridnya untuk ikut berkompetisi pada ajang “Maen Pukul Betawi 2025”.
Para pesilat biasa melakukan latihan rutin setiap pekan, dua hingga tiga kali. Anak-anak itu mengatur waktu antara sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler.
Silat bukan hanya latihan fisik, tapi juga pembiasaan. Dari silat, anak bisa belajar mengelola emosi, tidak cepat marah, dan memahami arti kerja sama.
Gerakan silat meliputi teknik dasar kuda-kuda, pola langkah, pukulan, tendangan, dan tangkisan yang mirip dengan tarian dipelajari dengan sungguh-sungguh sebelum tampil bersama teman seperguruannya.
Psikolog anak dan remaja Vera Itabiliana Hadiwidjojo menilai silat Betawi bukan hanya keterampilan fisik, tetapi juga pendidikan karakter.
Nilai-nilai tradisi silat mulai dari adab hormat kepada guru, keberanian tanpa arogansi, gotong royong, hingga kesederhanaan bisa dipraktikkan dan melekat langsung kepada anak-anak dari usia dini, bukan hanya sekedar teori yang dipelajari di sekolah.
“Melalui silat, anak belajar disiplin, kesabaran, menghargai orang lain, serta menjaga diri. Nilai-nilai ini penting untuk membentuk karakter anak sejak dini,” kata Vera.
Latihan silat juga membantu anak menyalurkan energi fisik berlebih, melatih rasa memiliki, serta memberi dukungan sosial dari teman sebaya dan guru. Semua ini berperan besar bagi kesehatan mental anak.
