Jakarta (ANTARA) - Pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tentang rencana pemberlakuan tarif tambahan sebesar 10 persen terhadap negara-negara anggota BRICS telah menciptakan gelombang kekhawatiran baru dalam hubungan perdagangan global.
Indonesia, yang baru resmi bergabung dengan BRICS pada awal 2025, tidak luput dari ancaman tersebut. Di saat yang bersamaan, Indonesia juga mencatatkan surplus dagang yang signifikan terhadap AS, menjadikan situasi ini semakin kompleks.
Kementerian Keuangan sudah merespons hal ini dengan pendekatan yang cermat, menekankan pentingnya jalur diplomatik dan penguatan kebijakan ekonomi domestik untuk menjaga stabilitas nasional. Ketegangan dagang ini, sekali lagi, menguji kemampuan Indonesia dalam memainkan peran strategis di tengah rivalitas global yang semakin memanas.
Sejak awal masa kepemimpinannya, Donald Trump telah menjadikan tarif sebagai instrumen utama dalam kebijakan luar negeri AS. Pada masa lalu, kita menyaksikan bagaimana perang dagang antara AS dan China memperlemah rantai pasok global dan menekan negara berkembang.
Kini, narasi proteksionisme kembali mencuat, kali ini dengan sasaran langsung kepada blok ekonomi baru yang dinilai mampu menyaingi dominasi Barat.
BRICS yang terdiri atas Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, serta kini ditambah dengan Indonesia, Mesir, dan negara berkembang lain dilihat sebagai kekuatan baru yang mampu mengubah lanskap ekonomi global.
Dalam konteks ini, tarif tambahan 10 persen tidak semata kebijakan ekonomi, melainkan ekspresi geopolitik. Indonesia sebagai anggota BRICS harus bersikap cermat: menjaga hubungan baik dengan AS, namun tetap berpegang pada prinsip diversifikasi kemitraan strategis global.
Dampak potensial bagi Indonesia
Indonesia bukan pemain kecil dalam perdagangan dengan AS. Dalam lima bulan pertama 2025, surplus perdagangan Indonesia terhadap AS mencapai 7,08 miliar dolar AS.
Sektor unggulan seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, furnitur, serta produk karet berkontribusi besar terhadap angka tersebut. Namun sektor-sektor ini pula yang paling rentan terhadap tambahan tarif.
Produk padat karya yang sensitif terhadap harga akan mengalami penurunan daya saing jika dikenai tarif tambahan. Dalam jangka pendek, hal ini dapat menyebabkan turunnya volume ekspor, penurunan utilisasi kapasitas produksi, hingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
Efek lanjutan juga akan terasa pada pendapatan rumah tangga, konsumsi masyarakat, dan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Maka tidak berlebihan jika pemerintah menaruh perhatian serius terhadap potensi dampak tarif ini, tidak hanya pada neraca perdagangan, tetapi juga terhadap kesejahteraan sosial dan stabilitas fiskal.
Diplomasi hingga reformasi struktural
Menghadapi tantangan ini, pemerintah Indonesia telah menyusun serangkaian langkah antisipatif.
Pertama adalah penguatan diplomasi ekonomi. Menko Perekonomian dijadwalkan akan melakukan kunjungan ke Washington guna membuka jalur komunikasi yang lebih intensif dan mencegah mispersepsi terhadap posisi Indonesia di BRICS. Langkah ini penting karena relasi bilateral sering kali menentukan arah kebijakan tarif AS.
Kedua, diversifikasi pasar menjadi agenda utama. Pemerintah mendorong percepatan penyelesaian perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa, Kanada, Eurasia, serta negara-negara di Afrika dan Timur Tengah.
Ketiga, pemerintah memperkuat program hilirisasi industri dan peningkatan nilai tambah ekspor. Program seperti peningkatan kandungan lokal (TKDN), penyederhanaan perizinan ekspor, dan dukungan pembiayaan ekspor melalui LPEI menjadi fokus utama.
Di sisi lain, pasar domestik juga diperkuat dengan penerapan trade remedies untuk melindungi produk dalam negeri dari banjir barang substitusi. Secara keseluruhan, pendekatan ini menunjukkan upaya serius pemerintah dalam membangun ketahanan ekonomi jangka panjang.
Ancaman tarif Trump turut mempengaruhi arah kebijakan fiskal nasional. Dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pemerintah telah memperhitungkan eskalasi proteksionisme global sebagai salah satu sumber risiko utama.
Fokus RAPBN diarahkan pada penguatan ekonomi domestik melalui peningkatan belanja produktif, efisiensi subsidi, dan optimalisasi penerimaan pajak.
Di sisi perpajakan, kebijakan fiskal diarahkan tidak hanya untuk menjaga stabilitas fiskal, tetapi juga mendorong aktivitas ekspor dan investasi. Insentif pajak untuk eksportir, pengurangan beban administrasi perpajakan bagi UMKM, serta dukungan terhadap sektor-sektor terdampak menjadi bagian dari skenario kebijakan fiskal adaptif.
Pemerintah juga menyiapkan dana kontingensi untuk merespons gejolak global yang bersifat mendadak, termasuk akibat kebijakan tarif dari negara mitra dagang.
Untuk itu Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memastikan bahwa arah kebijakan fiskal akan tetap diarahkan untuk menjaga daya tahan ekonomi nasional. Fokusnya antara lain pada peningkatan kualitas belanja negara, efisiensi subsidi, dan penguatan penerimaan negara non-pajak.
Dalam konteks ini, sektor perpajakan juga dituntut untuk semakin adaptif, misalnya dengan memberikan insentif bagi eksportir yang terdampak tarif dan memperluas basis pajak dari sektor domestik yang masih potensial.
Tidak kalah penting, pemerintah juga menempatkan agenda pembangunan industri hilir sebagai prioritas. Hilirisasi mineral dan pertanian, penguatan kawasan industri berbasis ekspor, dan peningkatan investasi di sektor digital menjadi bagian dari desain ekonomi jangka menengah.
Tujuannya adalah menjadikan ekonomi Indonesia lebih tahan terhadap guncangan eksternal dan memperbesar nilai tambah di dalam negeri.
Ketahanan melalui transformasi
Situasi yang dihadapi Indonesia saat ini bukan pertama kalinya. Namun konteks global telah berubah. Indonesia kini bukan hanya pasar, melainkan juga pemain dalam percaturan ekonomi dunia.
Dalam menghadapi ancaman tarif tambahan dari AS, Indonesia memiliki dua pilihan: bereaksi secara defensif atau menggunakan momentum ini untuk mempercepat transformasi struktural.
Pemerintah tampaknya memilih opsi kedua, dan ini merupakan langkah yang tepat. Dengan strategi yang terukur yakni menggabungkan diplomasi aktif, diversifikasi pasar, penguatan industri, dan kebijakan fiskal yang adaptif, menunjukkan Indonesia semakin matang dalam mengelola risiko global.
Langkah-langkah ini tidak hanya ditujukan untuk menghindari guncangan jangka pendek, tetapi juga untuk membangun fondasi ekonomi yang lebih tahan terhadap tekanan eksternal.
Indonesia sedang membuktikan bahwa di tengah arus proteksionisme dan fragmentasi global, negara ini mampu bertahan, bahkan berkembang, melalui kemandirian dan ketahanan ekonomi yang diperkuat.
Ancaman tarif tambahan dari AS tidak dapat dipandang sebelah mata. Namun, dengan kesiapan strategi yang matang, pemerintah Indonesia menunjukkan bahwa negara ini tidak lagi dalam posisi pasif dalam menghadapi dinamika global.
Langkah-langkah yang diambil sejauh ini menggambarkan keseriusan pemerintah untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh dalam lingkungan ekonomi dunia yang semakin kompleks.
Indonesia saat ini sedang membangun arsitektur ekonomi baru yang lebih tangguh berbasis diversifikasi pasar, industrialisasi bernilai tambah, dan diplomasi ekonomi yang aktif.
Tantangan dari luar negeri, termasuk dari mitra dagang utama seperti AS, harus dijadikan peluang untuk mempercepat reformasi di dalam negeri. Sehingga untuk itu pemerintah akan mengikuti dinamika global dengan cermat, namun tetap berpijak pada prinsip nasional: menjaga stabilitas ekonomi, melindungi rakyat, dan mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.
*) Dr M Lucky Akbar SSos MSi adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Kementerian Keuangan.
