Jakarta (ANTARA) - Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2025, penting bagi kita untuk merefleksikan tantangan terbesar yang sedang dihadapi dunia, yakni krisis iklim dan kerusakan lingkungan.
Pemanasan global kini bukan lagi ancaman yang jauh, melainkan kenyataan yang mencengkeram berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Intergovernmental Panel on Climate Change (2023) mencatat bahwa suhu Bumi telah naik 1,1 derajat celsius dari masa pra-industri. Jika tidak ada upaya signifikan, suhu ini bisa melonjak hingga 2,8 derajat celsius pada akhir abad ini, angka yang jauh melebihi ambang aman 1,5 derajat sesuai Perjanjian Paris.
Dampaknya nyata, yaitu gelombang panas mematikan, banjir besar, kekeringan parah, dan badai tropis semakin ekstrem.
Indonesia, sebagai negara kepulauan tropis, berada di garis depan ancaman iklim ini. BNPB mencatat bahwa 90 persen dari 5.032 bencana yang terjadi sepanjang 2023 adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir dan puting beliung.
Menurut laporan Asian Development Bank (ADB) kerugian ekonomi di Indonesia akibat bencana iklim diperkirakan melebihi Rp110 triliun per tahun. Selain itu, Kementerian Keuangan juga memperkirakan bahwa kerugian ekonomi akibat krisis iklim dapat mencapai Rp112,2 triliun atau 0,5 persen dari PDB pada tahun 2024.
Angka ini mencerminkan urgensi untuk meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim guna mengurangi dampak ekonomi yang ditimbulkan. Kehilangan hutan dan keanekaragaman hayati juga menjadi isu mendesak.
Sekitar sepertiga hutan dunia telah hilang. Pertanaman monokultur menyebabkan kehilangan biodiversitas dan degradasi lahan. Konflik agraria pun muncul akibat perebutan lahan antara masyarakat lokal dan korporasi.
Namun, peluang untuk memperbaikinya masih terbuka lebar. Indonesia memiliki 14 juta hektare
lahan terdegradasi yang dapat direstorasi dan dikelola kembali. Pasar global juga semakin menuntut produksi yang bertanggung jawab. Artinya, masa depan dan keberlanjutan sektor pertanian ini bergantung pada kemampuannya mentransformasi diri dari berbagai masalah menjadi bagian solusi.
Agroforestri dan solusi berbasis alam
Agroforestri dan solusi berbasis alam (Nature-Based Solutions/NBS) menjadi pendekatan yang semakin mendesak di tengah krisis iklim.
Agroforestri adalah sistem pertanian terpadu yang menggabungkan tanaman komoditas dengan pohon peneduh atau vegetasi lain yang memperkuat fungsi ekologis dan produktivitas lahan. Sistem ini menciptakan lanskap pertanian yang lebih resilien terhadap perubahan iklim, banjir, dan kekeringan, sekaligus menjadi habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna.
Manfaat agroforestri terbukti bersifat multidimensi. Secara ekologis, keberadaan pohon dalam sistem ini membantu penyerapan karbon, mengurangi emisi gas rumah kaca, menstabilkan tanah, dan mengelola tata air dengan lebih baik.
Dari sisi ekonomi, petani memperoleh diversifikasi pendapatan, misalnya dari hasil panen buah, madu, kayu, atau tanaman rempah yang tumbuh di sela-sela pohon komoditas utama. Nilai tambah ini menjadi bantalan pendapatan ketika harga komoditas global sedang lesu.
Contoh sukses agroforestri dapat ditemukan di Desa Kayupuring, Petungkriyono, Jawa Tengah. Di sana, sekitar 800 mantan penebang liar bertransformasi menjadi petani kopi agroforestri. Mereka menanam kopi di bawah naungan pohon hutan asli seperti kruing, meranti, dan jati.
Dampaknya sangat positif, yaitu hutan tetap lestari, satwa endemik seperti owa jawa terlindungi, dan ekonomi masyarakat meningkat berkat penjualan kopi premium dengan merek lokal "Owa Coffee."
Selain agroforestri, pendekatan NBS juga mencakup restorasi ekosistem seperti rehabilitasi gambut dan penanaman mangrove.
Indonesia memiliki sekitar 17,2 juta hektare lahan gambut dan lebih dari 3 juta hektare mangrove yang berfungsi sebagai penyerap karbon alami dan pelindung pesisir dari abrasi serta bencana laut. Restorasi dua ekosistem ini terbukti mampu menurunkan emisi secara signifikan dan meningkatkan mata pencaharian masyarakat pesisir serta petani gambut.
Jika diterapkan secara luas dan didukung kebijakan lintas sektor, pendekatan berbasis alam ini berpotensi menjadi pilar utama transisi Indonesia menuju pembangunan rendah karbon.
Agroforestri dan NBS tidak hanya menjadi strategi adaptasi dan mitigasi iklim, tetapi juga jalan menuju keadilan sosial dan ketahanan ekonomi pedesaan. Dengan dukungan teknologi, riset, dan kelembagaan yang kuat, pendekatan ini dapat menjawab tantangan pangan, energi, dan lingkungan secara bersamaan.
Penguatan tata kelola
Salah satu terobosan penting yang patut dicatat adalah program tumpang sari yang kini dikembangkan oleh Kementerian Pertanian dalam rangka memperluas areal tanam padi dan jagung secara berkelanjutan. Program ini mengintegrasikan tanaman pangan dengan pohon kehutanan dan komoditas perkebunan dalam satu hamparan lahan.
Di lapangan, jagung ditanam di sela-sela sawit muda yang belum menghasilkan, atau padi gogo ditanam bersamaan dengan tanaman kayu pada areal perhutanan sosial dan perkebunan.
Tumpang sari tidak hanya menjadi solusi efisien pemanfaatan lahan, tetapi juga strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dan upaya mengurangi pembukaan hutan baru. Sistem ini membantu petani menjaga produktivitas lahan, memperkuat ketahanan pangan lokal, dan menambah diversifikasi pendapatan. Dalam konteks krisis pangan dan degradasi lahan, pendekatan ini menjadi pilihan rasional dan strategis.
Di beberapa wilayah seperti Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Papua, program tumpang sari telah diterapkan dengan hasil yang menggembirakan. Di Sulawesi Utara, sudah jamak petani menanam padi dan jagung di bawah tegakan pohon kelapa. Di Kalimantan Timur dan Papua misalnya, petani mengelola kebun jagung di bawah tegakan hutan rakyat, menghasilkan produktivitas tinggi sekaligus tetap menjaga tutupan lahan hijau.
Pendekatan ini mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk dinas pertanian daerah, perusahaan pemegang konsesi, dan organisasi masyarakat sipil.
Keberhasilan program ini bergantung pada dukungan multipihak, mulai dari penyediaan benih unggul, penyuluhan, hingga kemudahan akses ke pembiayaan. Penting pula memastikan pelatihan intensif kepada petani tentang teknik tumpang sari modern, rotasi tanaman, dan konservasi air dan tanah. Model ini bisa menjadi jawaban atas persoalan kedaulatan pangan dan degradasi lingkungan sekaligus.
Dengan menyinergikan sektor pangan, kehutanan, dan perkebunan dalam satu lanskap, program tumpang sari membuka jalan baru menuju pembangunan berkelanjutan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa produktivitas dan konservasi bukanlah dua kutub yang saling meniadakan, melainkan bisa saling menguatkan jika dirancang dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial.
Momentum perayaan Hari Lingkungan Hidup Sedunia adalah panggilan untuk bertindak. Pemerintah harus memperkuat regulasi dan insentif. Dunia usaha wajib menginternalisasi keberlanjutan dalam model bisnisnya. Akademisi harus terus berinovasi. Petani perlu didukung untuk beralih ke praktik hijau.
Di sisi lain, masyarakat luas memiliki peran penting melalui konsumsi bertanggung jawab. Dengan tata kelola yang baik, sektor ini bisa menjadi mitra utama dalam memulihkan lingkungan dan menjaga masa depan.
Pertanian berkelanjutan bukan sekadar wacana, melainkan jalan strategis menuju keadilan sosial, ketahanan pangan, dan kelestarian lingkungan. Mari jadikan momentum ini sebagai titik tolak untuk menyelaraskan ekonomi dan ekologi dalam satu tarikan napas pembangunan yang berkelanjutan.
*) Kuntoro Boga Andri, adalah Kepala Pusat Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP), Perkebunan, Kementerian Pertanian