Jakarta (ANTARA) - Hakim seharusnya duduk di depan menghadap ke arah peserta dan pengunjung sidang, namun, tidak bagi trio hakim itu.
Tiga hakim nonaktif PN Surabaya tersebut; Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyosemua, baru-baru ini, justru duduk di tengah, di kursi terdakwa, menghadap hakim yang mengadili perkara. Mereka terjerat rasuah.
Trio hakim pembebas Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan di Surabaya, Jawa Timur, akhirnya divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo terbukti menerima suap untuk menjatuhkan vonis bebas.
Selain majelis hakim, mantan Ketua PN Surabaya Rudi Suparmono turut ditetapkan sebagai tersangka. Ia diduga terlibat dalam kongkalikong penyusunan majelis hakim yang akan mengadili perkara Ronald Tannur di pengadilan tingkat pertama.
Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar juga ikut dalam pusaran kasus tersebut. Zarof didakwa melakukan permufakatan jahat untuk mengurusi perkara Ronald Tannur di tingkat kasasi. Dalam hal ini, ia diduga mencoba menyuap hakim agung untuk mempengaruhi putusan kasasi.
Berkelindannya pihak-pihak dalam kasus ini mengindikasikan permasalahan sistemis di tubuh peradilan Indonesia. Oleh sebab itu, pembenahan yang juga bersifat sistemis mendesak untuk dilakukan.
MA, selaku rumah insan peradilan di Indonesia, sejatinya kini tengah merencanakan perluasan Smart Majelis, aplikasi robotik untuk penunjukan majelis hakim yang akan menangani suatu kasus.
Transformasi
Juru Bicara MA Yanto mengatakan pihaknya segera menerapkan Smart Majelis tidak hanya di tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK), tetapi juga di pengadilan tingkat pertama dan banding.
MA meyakini aplikasi itu dapat meminimalkan potensi korupsi peradilan. Dengan aplikasi ini, majelis hakim bakal disusun berdasarkan sistem robotik. Artinya, tidak ada lagi campur tangan manusia yang dalam hal ini ialah ketua kamar maupun ketua pengadilan dalam penyusunan majelis hakim.
Smart Majelis dikembangkan untuk mengatasi tantangan dalam penunjukan majelis secara konvensional oleh ketua kamar. MA menyadari, cara konvensional dinilai rentan terhadap intervensi subjektif, ketidakseimbangan beban kerja antarhakim, dan kurangnya transparansi dalam distribusi perkara.
Pada penerapannya di tingkat kasasi dan PK sejauh ini, penyusunan hakim agung yang akan mengadili perkara dimulai sejak perkara diregistrasi. Data perkara yang telah mendapatkan nomor registrasi di aplikasi Sistem Informasi Administrasi Perkara (SIAP) MA dikirimkan secara berkala ke aplikasi Smart Majelis.
Kemudian, sistem robotik yang ada pada aplikasi Smart Majelis akan memberikan saran majelis hakim pada tiap perkara untuk kemudian ditetapkan oleh Ketua MA. Setelah penetapan dilakukan, aplikasi itu akan mengirimkan kembali hasil penetapan tersebut ke aplikasi SIAP MA.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Sobandi menyebut penerapan Smart Majelis di tingkat kasasi dan PK dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akurasi penunjukan majelis hakim. Aplikasi itu dinilai membantu distribusi perkara menjadi lebih adil sekaligus mempercepat proses administrasi.
Melihat dampak positif tersebut, MA bakal memperluas penerapan Smart Majelis hingga pengadilan tingkat pertama dan banding. Sebagai langkah awal, MA tengah melakukan asesmen untuk pengembangan aplikasi Smart Majelis yang akan diterapkan pada seluruh pengadilan di Indonesia.
Asesmen dilakukan guna mengetahui dan memahami proses bisnis penetapan majelis hakim oleh ketua dan/atau wakil ketua pengadilan. Proses bisnis ini diperlukan sebagai pedoman pengembangan aplikasi. Uji coba Smart Majelis di seluruh pengadilan tingkat pertama yang meliputi peradilan umum, agama, tata usaha negara, dan militer ditargetkan selesai pada akhir tahun 2025.
Baca juga: Mahkamah Agung siapkan Smart Majelis di seluruh pengadilan
Baca juga: Dua hakim pemberi vonis bebas Ronald Tannur tidak ajukan banding hukuman 7 tahun