Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie menyebut Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 dapat diuji materi ke Mahkamah Agung manakala ada permohonan dari masyarakat yang menilai peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang.
Jimly menjelaskan permohonan ke Mahkamah Agung merupakan satu dari tiga cara untuk membatalkan Perpol No. 10 Tahun 2025.
"Peraturan KPK, PP, permen itu harus dihormati sampai ada pejabat berwenang menyatakan tidak sah. Siapa pejabat berwenang, ada tiga, satu Polri sendiri, kan bisa Polri akan melihat, evaluasi, ya sudah, cabut. Misal itu, maka ada yang kedua, Mahkamah Agung. Mahkamah Agung itu punya kewenangan judicial review, menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dasar," kata Jimly saat diminta pendapatnya mengenai Perpol No. 10/2025 di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (17/12) sebagaimana dikutip dari siaran jumpa pers yang diterima Kamis.
Jimly melanjutkan seharusnya pada bagian "mengingat" dan "menimbang" mencantumkan undang-undang kepolisian yang telah diubah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
Baca juga: Presiden minta Komisi Reformasi Polri sampaikan laporan dalam tiga bulan
Kemudian selanjutnya yang dapat membatalkan peraturan tersebut ialah Presiden.
"Pejabat atasan (Kapolri, red.) punya kewenangan menerbitkan perpres atau PP, yang PP itu misalnya mengubah materi aturan yang ada di perpol. Itu boleh, nah itu lebih praktis," kata Jimly.
Isi Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 menjadi sorotan publik karena diyakini bertentangan dengan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Dalam Putusan MK, anggota Polri dilarang menduduki jabatan di luar struktur kepolisian, yang artinya jika ada polisi yang menempati jabatan di luar institusi Polri, maka mereka harus mengundurkan diri atau pensiun sebagai anggota Polri.
Baca juga: Komisi Reformasi Polri dijadwalkan terima audiensi dengan sejumlah eks-Kapolri Rabu
