Jakarta (ANTARA) - Ketika gempa bermagnitudo 5,9 dengan kedalaman pusat gempa 12,5 km mengguncang Yogyakarta pada 27 Mei 2006, total korban jiwa yang direnggut gempa ini mencapai 5.778 jiwa.
Gempa Yogya itu masih terbilang "lebih ringan" dibandingkan dengan gempa yang mengguncang Myanmar pada 28 Maret 2025.
Direktur Palang Merah Internasional untuk regional Asia Pasifik Alexander Matheou bahkan menyebut Gempa Myanmar memiliki tingkat kehancuran terparah di Asia dalam 100 tahun terakhir.
Sama-sama gempa dangkal yang dampak kehancurannya lebih membinasakan ketimbang gempa dalam, Gempa Myanmar memiliki magnitudo 7,7 dan kedalaman pusat gempa hanya 10 km.
Selama sepekan terakhir, gempa ini diikuti 288 gempa susulan yang salah satunya bermagnitudo 6,7 atau lebih besar dari kekuatan Gempa Yogyakarta.
Dengan kedalaman pusat gempa yang lebih dangkal dan magnitudo yang lebih kuat, Gempa Myanmar pasti jauh lebih mengerikan.
Junta Myanmar menyebutkan sampai 3 April sudah 3.085 orang tewas akibat gempa ini. Namun, Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) memperkirakan korban tewas bisa lebih dari 10.000 orang.
Jumlah itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah korban tewas akibat badai Siklon Nargis pada 2008 yang menewaskan sekitar 130.000 warga Myanmar.
Uniknya, saat itu junta menolak bantuan internasional. Tetapi kini, mereka melanggar tabu itu dengan meminta bantuan internasional.
Ini melukiskan tantangan besar yang dihadapi junta yang mungkin mereka sadari sebagai mustahil bisa mereka atasi sendiri.
Apalagi dibandingkan dengan 17 tahun lalu, mereka menghadapi situasi kritis akibat perang saudara melawan pasukan koalisi anti-junta yang disebut-sebut telah menguasai 80 persen wilayah Myanmar.
Junta menghadapi situasi yang jauh lebih pelik dan berbahaya akibat gempa 28 Maret.
Kebanyakan rakyat Myanmar, yang umumnya meyakini pertanda alam, mitos dan bahkan tahayul, menganggap gempa 28 Maret adalah isyarat dari alam bahwa nasib junta pimpinan Min Aung Hlaing tinggal menghitung hari.
Min Aung Hlaing berkuasa sejak 2021 setelah melancarkan kudeta terhadap pemerintahan yang terpilih secara demokratis pimpinan Aung Sang Suu Kyi.
Dia menindas para pendukung Suu Kyi dan melancarkan perang kotor terhadap kelompok-kelompok etnis dan oposisi yang bernaung dalam Pemerintah Persatuan Nasional (NUG).
Min Aung Hlaing juga diburu oleh jaksa Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) atas dugaan kejahatan kemanusiaan terhadap Rohingya pada 2017.
Tapi sejauh ini tak ada yang bisa menjatuhkannya, atau bahkan sekadar menyentuh sang jenderal. Pun tak ada yang bisa menyeretnya ke pengadilan karena korupsi yang dia lakukan bersama kroninya.
Namun, dalam empat tahun terakhir pasukan koalisi anti-junta membuat pasukan junta terpojok sampai cuma bisa menguasai 20 persen wilayah Myanmar.
Kini, tanda alam yang dibawa gempa 28 Maret mendorong sejumlah kalangan di Myanmar merasakan hari-hari terakhir sang jenderal sudah dekat.
"Gempa bumi ini adalah peringatan bahwa hukuman untuk Min Aung Hlaing bakal segera tiba," kata U Sein Lwin, seorang pensiunan petugas imigrasi kepada Aljazeera.
Bagi orang-orang seperti U Sein Lwin, manakala kekejaman orang sudah melampaui batas kemampuan manusia dan saat bersamaan tak ada yang bisa mengadilinya, maka alam yang bakal menghukum mereka.
Gempa bumi pekan lalu itu memang kian menyulitkan posisi Min Aung Hlaing, yang dikenal sebagian orang di negerinya sebagai pemimpin yang mempercayai hal-hal mistis dan tahayul.
Tidak seperti saat Siklon Nargis pada 2008, gempa 28 Maret menerjang jantung kekuasaan junta di Naypyidaw, yang berada di bawah kewenangan langsung Min Aung Hlaing.
Jumat pekan ini atau tepat sepekan gempa bumi 28 Maret mengguncang Myanmar, junta mengungkapkan Naypyitaw menjadi situs bencana terparah kedua setelah kota Mandalay, dengan jumlah korban tewas 511 orang. Mandalay sejauh ini sudah kehilangan 2.053 warganya akibat gempa.
Yang juga daerah-daerah terdampak sangat parah adalah Sagaing, Magway, Bago dan Shan.
Tetapi kerusakan hebat di Naypyidaw yang menjadi pusat pemerintahan Myanmar adalah mungkin yang paling menarik perhatian banyak kalangan di Myanmar.
Menurut kesaksian para warga di sana seperti diberitakan laman The Irrawaddy, gedung-gedung pemerintahan, jalan, jembatan, perumahan pegawai negeri, rumah sakit, hotel, bendungan, apartemen, dan fasilitas-fasilitas publik lain di ibu kota Myanmar itu rusak parah.
Bahkan gedung kementerian luar negeri dan badan penanggulangan bencana alam rusak parah tak bisa dioperasikan lagi, sementara kompleks elite yang dihuni para pemimpin serta mantan pemimpin Myanmar juga rusak parah.
Giliran alam yang menghukum
Awal dari sebuah akhir?
Fakta Naypyidaw turut dihancurkan bencana alam yang tak pernah terjadi pada bencana-bencana sebelumnya, termasuk Siklon Nargis pada 2008, menguatkan pandangan awam seperti dirangkum U Sein Lwin bahwa gempa 28 Maret adalah "pertanda buruk" untuk rezim Min Aung Hlaing.
Warga Myanamr juga melihat "kebetulan alam" tak bisa mereka kesampingkan, yakni gempa itu terjadi sehari setelah Min Aung Hlaing memimpin parade militer untuk memperingati Hari Angkatan Bersenjata Myanmar pada 27 Maret. Ini adalah "pesan alam" lainnya bahwa semesta sudah tak bersama junta.
Min Aung Hlaing terlihat panik menghadapi gempa ini.
Dia meminta bantuan internasional, tapi membatasi akses tim penyelamat karena tak ingin bantuan itu mencapai daerah-daerah yang dikuasai oposisi.
Junta memfokuskan bantuan ke Naypyidaw, Mandalay serta daerah-daerah terdampak gempa yang masih dalam kekuasaannya. Sebaliknya, daerah-daerah yang penduduknya bersimpati kepada oposisi atau dikuasai oposisi seperti Sagaing, tak mereka sentuh.
Junta memiliki misi lain di balik usaha mereka menghalangi bantuan internasional untuk daerah-daerah yang dikuasai pemberontak, yakni memperlemah perlawanan terhadap rezim.
Padahal bantuan internasional ditujukan untuk semua korban dan tempat terdampak gempa, tak peduli itu daerah junta atau daerah pemberontak.
Gempa bumi juga menguak fakta mengenai ketidaksiapan junta dalam mengatasi dampak bencana, sampai-sampai banyak korban tak tertolong, sementara berbagai rumah sakit kewalahan menampung korban, termasuk pemulasaran jenazah.
Hal itu diperburuk oleh jaringan komunikasi dan transportasi yang sudah buruk akibat perang dan langkah junta yang memutus akses informasi guna menutupi keadaan sebenarnya di Myanmar sehingga dunia tak tahu pasti apa yang sebenarnya di sana.
Dan itu adalah kelemahan junta yang bisa saja dikapitalisasi oleh lawan-lawannya untuk mempercepat transformasi politik di Myanmar.
Hal itu bahkan bisa menjadi pembuka untuk akhir kekuasaan tiran di Myanmar, apalagi masyarakat awam Myanmar kerap melihat bencana sebagai hukuman kosmik atau semesta terhadap penguasa zalim nan tidak adil.
Perang saudara
Sementara itu, alih-alih gempa dahsyat dapat menyatukan bangsa Myanmar, yang terjadi justru perang saudara Myanmar tak juga berhenti lewat sepekan setelah gempa besar 7,7 magnitudo yang mengguncang Myanmar akhir Maret lalu, demikian menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Jumat (4/4).
"Salah satu alasan utama dari terputusnya komunikasi yaitu adalah karena gempa dan karena pihak militer memutus komunikasi," ucap pejabat Kantor HAM PBB di Myanmar James Rodehaver dalam konferensi pers.
Tanpa merinci pelaku serangan, ia menyebut sudah terjadi 61 serangan sejak gempa terjadi pada 28 Maret.
Pejabat PBB tersebut menyoroti penggunaan pesawat layang (glider) oleh pihak militer "tampak disengaja" untuk mengakibatkan kepanikan dan mengusir warga.
Dari puluhan serangan tersebut, 16 serangan terjadi setelah junta Myanmar menyatakan gencatan senjata pada 2 April, kata Ravina Shamdasani, pejabat dari Kantor HAM PBB.
Sementara itu, Babar Baloch, pejabat Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), mengatakan bahwa 19 juta orang di Myanmar saat ini membutuhkan bantuan mendesak.
Komite Palang Merah Internasional (ICRC) juga menyerukan semua pihak di Myanmar untuk menghentikan permusuhannya dan mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke wilayah terdampak.
"Gempa bumi yang merusak serta mendesaknya kebutuhan bantuan yang ditimbulkan semestinya mendorong semua pihak untuk menyepakati upaya mendatangkan pertolongan yang penting ke komunitas yang sangat diperlemah konflik dan kekerasan bertahun-tahun," kata Regis Savioz, Direktur Wilayah Asia Pasifik ICRC.
"Penghentian singkat permusuhan yang diumumkan merupakan langkah yang tepat, namun hal itu harus diperpanjang," kata Savioz.
Junta militer Myanmar baru mengumumkan gencatan senjata selama tiga pekan pada 2 April setelah gempa bumi 28 Maret menewaskan lebih dari 3.100 orang dan melukai ribuan lainnya.
Menurut Savioz, sebelum gempa besar itu saja, hampir 20 juta warga Myanmar menggantungkan hidup pada bantuan kemanusiaan akibat konflik yang berlangsung.
"Ketika operasi pencarian dan penyelamatan berakhir dan harapan menemui korban selamat di bawah reruntuhan memudar, respons kemanusiaan untuk memenuhi semakin bertambahnya kebutuhan semua komunitas yang terdampak harus ditingkatkan secara signifikan," ucap dia.
Pejabat ICRC itu mengatakan, sebagian besar masyarakat di wilayah Mandalay dan Sagaing masih belum bisa pulang ke rumahnya masing-masing dan masih harus tidur di tempat terbuka.
Hampir 100 rumah sakit dan fasilitas kesehatan rusak parah dan tak lagi aman digunakan, kata Savioz, menambahkan.
Sementara itu, data terbaru umlah korban meninggal akibat gempa bumi dahsyat yang mengguncang Myanmar pekan lalu sudah mencapai 3.301 orang, dengan 4.792 lainnya terluka dan 221 lainnya masih hilang, lapor China Central Television (CCTV) pada Jumat.
Laporan sebelumnya menyebutkan bahwa 3.145 orang tewas, 4.589 lainnya terluka dan 221 orang hilang akibat bencana tersebut.
Gempa bumi 7,7 magnitudo mengguncang Myanmar pada Jumat (28/3) dan getarannya dapat dirasakan hingga ke Bangladesh, India, Laos, China dan Thailand.
Gempa dangkal itu merusak jaringan pipa minyak bawah tanah dan memutus jaringan listrik, kata otoritas setempat, menambahkan tanker-tanker minyak untuk mengatasi kelangkaan bahan bakar telah tiba di negara tersebut.
Sejumlah negara, termasuk Rusia dan Belarus, telah mengirim bantuan ke Myanmar, termasuk menerjunkan tim penyelamat.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada Kamis (3/4) menyerukan lebih banyak dana internasional serta akses kemanusiaan yang cepat dan tanpa hambatan ke Myanmar, saat negara tersebut melanjutkan upaya penyelamatan dan rekonstruksi pascagempa bumi dahsyat yang menimbulkan banyak korban jiwa dan kehancuran yang meluas.
"Myanmar saat ini adalah tempat yang benar-benar hancur dan penuh keputusasaan. Bencana ini menunjukkan kerentanan lebih dalam yang dihadapi masyarakat di seluruh negara itu," kata Guterres dalam sebuah konferensi pers.
Bahkan sebelum gempa, Myanmar sudah dilanda krisis politik dan kemanusiaan, ujarnya, seraya menambahkan gempa itu menambah penderitaan rakyat, dengan musim hujan monsun yang akan segera tiba.
Guterres mengimbau masyarakat internasional untuk segera meningkatkan pendanaan yang sangat dibutuhkan agar sesuai dengan skala krisis. Ia juga menyerukan akses kemanusiaan yang cepat, aman, berkelanjutan, dan tanpa hambatan guna menjangkau mereka yang paling membutuhkan di seluruh negara tersebut.
Ia juga menyambut baik pengumuman gencatan senjata sementara dari pihak berwenang Myanmar dan menyebut langkah itu sangat penting untuk membantu aliran bantuan dan memungkinkan tim penyelamat melakukan pekerjaannya.
Guterres mengatakan bahwa dia mengirimkan Koordinator Bantuan Darurat Tom Fletcher ke Myanmar. Sementara itu, Julie Bishop, utusan khusus Sekjen PBB untuk Myanmar akan mengunjungi negara tersebut dalam beberapa hari ke depan untuk memperkuat upaya-upaya perdamaian dan dialog.
"PBB akan terus mendorong perdamaian dan dukungan penyelamatan nyawa bagi rakyat Myanmar pada saat mereka sangat membutuhkan," katanya.
Hingga Kamis (3/4), jumlah korban tewas akibat gempa bermagnitudo 7,9 pada pekan lalu di Myanmar bertambah menjadi 3.145 jiwa, dengan 4.589 orang terluka, dan 221 lainnya masih hilang, seperti dilaporkan Myanmar Radio and Television.
Baca juga: Indonesia serahkan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Myanmar terdampak gempa