Jakarta (ANTARA) - Pada 11 Maret 2025 ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Rodrigo Duterte, Mantan Presiden Filipina, atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh mantan presiden tersebut selama perang narkoba yang telah menelan banyak korban.
Setelah ditahan oleh ICC, Duterte diterbangkan dengan penerbangan carteran ke Den Haag.
Dengan alasan perlunya menyelamatkan warga Filipina dari bahaya narkoba, pemimpin tersebut ketika masih berkuasa dengan gencar melakukan kampanye anti-narkoba secara besar-besaran yang menyebabkan ribuan orang dibunuh tanpa melalui proses hukum.
Para aktivis hak-hak asasi manusia memperkirakan jumlah korban tewas antara 12.000 dan 30.000 yang sebagian besar diduga terkait dengan kejahatan narkoba.
Kejadian ini adalah yang pertama kalinya seorang kepala negara Filipina atau Asia Tenggara ditangkap oleh pengadilan internasional ICC.
ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma untuk mengadili para individu atas pelanggaran berat hukum pidana internasional (gross violation of human rights) seperti kejahatan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan agresi.
Investigasi ICC yang dimulai pada Maret 2018 mencakup dugaan kejahatan yang dilakukan dari tahun 2011-2019, meliputi masa jabatan Duterte sebagai wali kota Davao City dan kemudian sebagai presiden.
Surat perintah penangkapan merinci peranan sentral Duterte dalam melakukan dugaan kejahatan, khususnya kebijakan untuk memberantas narkoba tanpa melalui proses hukum atau extra-judicial killings.
Surat perintah penangkapan dikeluarkan karena terdapat adanya "dugaan yang kuat bahwa Duterte telah melakukan kejahatan kemanusiaan berat dan berada dalam yurisdiksi ICC dan perlu dilakukan penangkapan”.
Di lain pihak Duterte telah lama mempertanyakan yurisdiksi dan legitimasi ICC. Dalam pandangannya ICC adalah penghalang dalam menjamin keamanan dan ketertiban di negaranya dari ancaman dan bahaya narkoba.
Dia juga secara konsisten memandang ICC mempunyai sikap bias yang dilakukan oleh negara-negara Barat untuk merusak kedaulatan negaranya.
Setelah tidak menjabat tahun 2022, Duterte merasa yakin bahwa dia akan terus berada di luar jangkauan ICC. Bahkan setelah memenangkan pemilihan umum Presiden Ferdinand "Bongbong" Marcos pernah berjanji bahwa mantan presiden itu tidak akan tersentuh oleh ICC mengingat bahwa pengadilan tersebut tidak memiliki yurisdiksi terhadap Filipina.
Namun demikian dengan retaknya hubungan aliansi dinasti Marcos-Duterte, maka kemudian pada bulan Januari 2025, Marcos Jr. mengubah pendiriannya dan mengatakan dia akan "merespons secara positif" perintah penangkapan oleh ICC dan akan bekerja sama dengan Organisasi Polisi Kriminal Internasional (Interpol).
Pemerintahan Marcos Jr. pada akhirnya telah memobilisasi 7.000 personel kepolisian untuk melaksanakan surat perintah tersebut. Presiden saat ini menegaskan bahwa penangkapan dilakukan karena Filipina sebagai anggota dari badan polisi dunia Interpol wajib mematuhi permintaan kepada ICC.
Interpol untuk menangkap dan menyerahkan Duterte Dengan penangkapan tersebut dipastikan Duterte akan membela diri dengan mempermasalahkan yurisdiksi ICC mengingat bahwa Fipilina telah menarik diri dari Statuta Roma tahun 2019 serta menentang kewenangan ICC dengan mengatakan pengadilan tersebut tidak dapat memeriksanya berdasarkan prinsip komplementaritas—suatu postulatbahwa ICC hanya bisa menangani suatu perkara ketika lembaga-lembagapenegak hukum di Filipina tidak mau atau tidak mampu (unwilling and unable) menyelidiki dan menuntut Duterte atas tindakan yang sama.
Dapat dikatakan bahwa penangkapan Duterte merupakan momen penting dan telah lama ditunggu-tunggu untuk keadilan bagi ribuan korban dan penyintas dari 'perang melawan narkoba' di Filipina sewaktu dirinya masih berkuasa.
Yang bersangkutan bahkan pernah mengatakanbahwa 'pekerjaan saya adalah membunuh' serta ikut mengawasi eksekusi hukuman mati para korban – termasuk anak-anak – sebagai bagian dari kampanye pembunuhan yang disetujui negara sertadilakukan secara luas dan terorganisir dengan baik.
Penangkapan Duterte berdasarkan surat perintah ICC dapat memberikan harapan bagi para korban di Filipina. Selain daripada itu penangkapan tersebut juga dapat dijadikan sebagai pengingat bagi para pemimpin dunia lainnya, bahwa para terduga pelaku tindak pidana internasional dapat ditangkap dan diadili di mana pun mereka berada.
Penangkapan Duterte adalah momen besar dan penting dalam penegakkan hukum internasional.Pelajaran yang dapat diambil dari kasus Duterte adalah bahwa yurisdiksi ICC bisa diberlakukan terhadap mantan kepala negara dan tidak berlaku terhadap kepala negara yang masih aktif. Penangkapan tersebut dilakukan karena ICC menilai bahwa Pemerintah Filipina tidak mempunyai niat atau tidak mampu mengadili perkara kejahatan kemanusiaan yang berat dalam pengadilan nasionalnya, yaitu belum ada upaya exhaustive dalam di dalam negerinya sehingga ICC menerapkan yurisdiksinya terhadap mantan kepala negara Duterte.
Ada pertanyaan terkait aspek hukum bagaimana ICC bisa menjangkau Duterte pada saat yang bersangkutan tidak menjabat lagi sebagai kepala negara dan Filipina sudah tidak menjadi pihak pada Statuta Roma.
ICC menerapkan prinsip retroaktif dengan memberlakukan Statuta Roma selama periode tahun 2011-2019 pada waktu Filipina masih menjadi pihak pada statuta tersebut. Prinsip ini merupakan teori hukum internasional baru yang mengandalkan prinsip retroaktif.
Filipina telah menjadi anggota ICC sejak 1 November 2011 tetapi kemudian pada tahun 2018 pada saat Duterte berkuasa negara tersebut menarik diri dari Statuta Roma yang mulai berlaku pada 17 Maret 2019. Meskipun demikian, ICC tetap bersikukuh dan berpandangan bahwa ICC memiliki yurisdiksi terhadap Filipina saat negara itu masih menjadi negara pihak dari November 2011 hingga Maret 2019 dan kasus yang didakwakan kepada Duterte adalah pada periode pada saat Filipina masih menjadi pihak pada Statuta Roma.
Dalam kasus Duterte sesuai prinsip universal dalam hukum, yang bersangkutan tetap perlu mendapatkan hak untuk membela diri serta didampingi penasehat hukum dan diproses sesuai dengan due process of law.
Namun terdapat hal yang lebih penting lagi dan merupakantantangan berat bagi ICC, yaitu apakah kasus yang terjadi pada Duterte dapat secara adil dan fair bisa juga diterapkan terhadap pemimpin dunia lain yang diduga juga telah melakukan pelanggaran pidana internasional seperti pemimpin Israel Benyamin Netanyahu dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Pelajaran bagi negara lain, termasuk Indonesia, adalah bahwa RI sejak awal telah mempertimbangkan secara bijak terkait dengan politik hukum Indonesia bahwa RI tidak akan mengakui yurisdiksi ICC karena dalam sistem hukum nasional sudah memiliki Pengadilan HAM Adhocuntuk mengadili kejahatan HAM berat di Indonesia.
Dengan demikian Pemerintah Indonesia telah melaksanakan kewenangan hukum/yurisdiksi nasional, yaitu National Exhaustive Legal Proceedingtersebut.
Prof. Eddy Pratomo S.H., M.A. (Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila/Guru Besar Hukum Internasional UNDIP).