"Kami punya sumber daya alam (SDA) yang cukup dan berlimpah, dari hutan dan sekitarnya. Jika dikelola dengan baik dan benar tentu akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di lingkup Komunitas Adat Baringin."
Harapan itu disampaikan Kepala Desa (Kades) Baringin, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan, Made Amin, saat berdiskusi dengan kalangan media massa di desa itu, yang berlangsung sejak bakda shalat Isya hingga tengah malam pada Sabtu (21/10) 2017.
Untuk sampai ke Desa Baringin, membutuhkan waktu lebih dari enam jam dengan jalur darat. Namun, karena sedang ada program pengecoran jalan desa, maka untuk menuju desa itu masih harus dilanjutkan dengan berjalan kaki dan sepeda motor sehingga cukup menguras energi.
Bersama unsur utama dalam sistem struktur kepemimpinan adat dan kelembagaan Masyarakat Adat Baringin yang disebut dengan istilah "Appa Allirinna Wanua" diskusi lepas berlangsung secara "sersan" (serius tapi santai) bersama parapihak lainnya.
Parapihak tersebut -- yang mendorong percepatan pengakuan pemerintah/negara pada komunitas Masyarakat Adat Baringin itu -- adalah organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), baik dari Pengurus Wilayah (PW) Sulawesi Selatan, Pengurus Daerah (PD) Kabupaten Enrekang, Sulawesi Community Foundation (SCF), dan Kemitraan (The Partnership for Governace Reform).
Made Amin menjelaskan dalam struktur kelembagaan adat, mengenai peran dan fungsi lembaga adat bersumber dari "Peppasang" (aturan adat).
Dalam susunan kelembagaan Masyarakat Adat Baringin, "To Matua" ditempatkan sebagai puncak pimpinan dalam adat, yang di bawahnya ada yang disebut "Dulung", "Sara'" dan "Sanro".
Masing-masing fungsinya, "To Matua" adalah pimpinan pemerintahan lembaga adat, kemudian "Dulung" adalah lembaga adat yang mengatur urusan pertanian, perkebunan, dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah Masyarakat Adat Baringin.
Sedangkan "Sara'", adalah lembaga adat yang berfungsi untuk mengatur urusan keagamaan /spiritual, dan "Sanro", yakni lembaga adat yang mengatur urusan kesehatan / pengobatan.
Untuk sistem pengambilan keputusan adat, di wilayah Masyarakat Adat Baringin dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat, yang dikenal dengan istilah "Sipulung Wanua", di mana pengambilan keputusan dalam hukum adat Kajang selalu harus mengacu pada aturan adat (peppasang).
Bagi Made Amin -- yang mengaku bahwa nama "Made" di depan namanya yang seperti nama di Bali, namun ia adalah putra asli Desa Baringin -- selama hampir 12 tahun ia memimpin desa itu, dirinya selalu menyelaraskan kelembagaan "modern" desa dengan budaya adat.
"Kombinasi antara bentuk desa dalam perspektif pemerintahan modern dengan aturan dan hukum adat menjadikan semua permasalahan yang ada di masyarakat dapat diselesaikan dengan baik," kata alumnus jurusan Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hassanudin (Unhas) Makassar itu.
Ia menyebut kombinasi "modern-adat" itu biasanya dilakukan pada peristiwa rumit, seperti soal sengketa pertanahan.
"Saya mengambil posisi untuk kasus-kasus tanah wajib dimintakan penyelesaian melalui 'To Matua' dulu, dan diharapkan tidak harus melalui aturan hukum formal yang lebih panjang prosesnya. Alhamdulillah selama ini mekanisme itu berhasil," katanya.
Kontribusi Bersama
Perjalanan panjang untuk pada akhirnya Masyarakat Adat Baringin mendapat pengakuan dari negara -- yang pada akhirnya bermuara pada pemberian pengakuan hutan adat -- mendekati cita-cita yang diinginkan parapihak untuk percepatan lahirnya pengakuan itu.
"Kita membutuhkan kontribusi bersama untuk percepatan pengakuan (Masyarakat Adat Baringin) dan penetapan (hutan adat) sehingga masyarakat Desa Baringin bisa lebih sejahtera," kata Ketua Pengurus Wilayah (PW) Aman Sulsel Sardi "Ian" Razak.
Ia menjelaskan bahwa itikad baik atas perjuangan pengakuan dan penetapan itu ditunjukkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Enrekang dalam bentuk lahirnya Peraturan Daerah (Perda) No 1 tahun 2016 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat tertanggal 31 Oktober 2016.
Kemudian, ditindaklanjuti dengan menerbitkan SK Bupati No. 470/Kep/X/2016 tentang Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat dan lahirnya Surat Edaran Bupati Enrekang Muslimin Bando No. 047/3566/SETDA tentang Identifikasi dan Verifikasi Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Enrekang.
Dalam prosesnya, menurut Ian -- panggilan karib Sardi Razak -- agenda memperjuangkan penetapan hutan adat dilakukan bersama parapihak dengan ketemu "To Matua" dan kades, melalukan verifikasi ulang, hingga akhirnya ditetapkan hutan adat seluas 444,9 hektare yang diusulkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Bila penetapan untuk hutan adat itu telah diputuskan oleh KLHK, maka statusnya nanti bukan lagi 'hutan negara' tetapi hutan hak, yang diberikan kepada Masyarakat Adat Baringin untuk bisa dikelola, dijaga dan dimanfaatkan, sehingga hutan tetap lestari dan masyarakat juga sejahtera, meski dalam faktualnya belum sejahtera," katanya.
"Dengan surat keputusan (SK) penetapan, nantinya tidak akan ada lagi kriminalisasi kepada masyarakat yang memanfaatkan hutan," ujarnya.
Terlebih, kata dia, juga sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan kembali bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat, dan bukan lagi sebagai hutan negara
Bagi Ketua Pengurus Daerah (PD) Aman Kabupaten Enrekang Paundanan Embongbulan, esensi yang utama untuk memperjuangkan hak-hak adat masyarakat adalah pada titik yang disebutnya "perjuangan pengakuan" (dari pemerintah) itu.
"Melalui pengakuan penetapan (hutan adat) dari KLHK itu, maka pemerintah daerah secara bertahap bisa menindaklanjuti untuk mengindentifikasi apa yang dibutuhkan untuk membantu program pemberdayaannya," katanya.
Dengan demikian, melalui program pemberdayaan dari pemerintah daerah maka kelembagaan adat di desa dapat lebih berdaya sebagaimana mestinya.
Isyarat untuk pemberdayaan masyarakat itu, telah diperlihatkan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Enrekang.
Melalui diskusi dengan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Enrekang Arifin Bando isyarat dimaksud diperkuat.
"Bupati merespons cepat, baik sejak pengusulan dan menjadi Perda berkoordinasi dengan DPRD, membentuk kepanitiaan bersama, sampai sosialisasi kepada masyarakat," katanya.
"Kata kuncinya, sebenarnya untuk komunitas Masyarakat Adat Baringin bukanlah perjuangan, hanya tinggal legalitas (pengakuan) saja yang memang membutuhkan persoalan administratif ketatanegaraan," katanya.
Sebagai wujud komitmen itu, pihaknya mengupayakan pada 2018 akan ada alokasi bagi program pemberdayaan bagi komunitas Masyarakat Adat Baringin, yang disebutnya "akan diseuaikan dengan kekuatan anggaran" dinas yang dipimpinnya itu.
Dorongan
Salah satu pihak yang ikut memberikan sumbangsih bagi perjuangan untuk mendapatkan hak adat di Desa Baringin, yakni Sulawesi Community Foundation (SCF) melihat bahwa kerja bersama yang dilakukan akan memberikan dorongan bagi upaya-upaya menuju kesejahteraan masyarakat melalui adanya pengakuan hutan adat itu.
SCF adalah sebuah organisasi nirlaba berbentuk yayasan yang didirikan oleh multi-stakeholder (Kelompok Masyarakat /Adat, LSM/Ornop, perguruan tinggi, Aliansi Jurnalis Lingkungan dan pemda/Dinas Kehutanan Propinsi) yang peduli terhadap kondisi Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) Sulawesi.
"Kami 'concern' pada upaya mendorong masyarakat dan petani di sekitar hutan untuk program perhutanan sosial," kata "Program Officer" SCF Sutrisno Absar.
Di dalam program perhutanan sosial, SCF menyebut bahwa isu kemiskinan di berbagai wilayah merupakan persoalan masa lampau, terutama kemiskinan di wilayah desa belum dapat teratasi dengan baik, padahal potensi sumber daya alam cukup melimpah yang dapat dikelola dengan baik.
Saat ini, kebijakan pemerintah melalui KLHK yang memberikan akses bagi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan melalui skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa maupun Hutan Kemitraan dan terakhir dengan pengakuan terhadap Hutan Adat, memberi peluang kepada masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan ataupun masyarakat adat untuk mendapatkan akses dan kepastian dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan.
Sementara itu, "Project Manager" Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Kemitraan Gladi "Yayan" Hardiyanto menjelaskan sejak 2009 pihaknya bekerja di daerah-daerah guna mendorong program perhutanan sosial.
Dorongan itu, khususnya untuk penetapan hutan adat, sangat dibutuhkan, terlebih bila merujuk pada komitmen Presiden Joko Widoso dalam menuntaskan target 12,7 juta hektare hutan untuk rakyat dalam program Nawacita-nya.
"Kita akan kejar agar (pengakuan dan penetapan) hutan adat bisa bertambah," kata Yayan, panggilan karib Gladi Hardiyanto.
Meski demikian, ia juga mengingatkan bahwa bila penetapan hutan adat sudah diperoleh masyarakat, yang notabene telah berubah statusnya menjadi hutan hak maka fungsi hutannya harus dipertahankan dan tidak berubah peruntukannya.
"Seperti berubah fungsi menjadi perkebunan atau pertambangan, sehingga hutan tetap dijaga, dan masyarakat bisa mengelolanya dengan prinsip-prinsip kelestarian," katanya.
Rotan, Durian Hingga Eboni
Kades Baringin Made Amin menegaskan bahwa potensi-potensi besar dari SDA yang ada di kawasan adat setempat, di antaranya mulai dari rotan yang disebutnya "melimpah", hingga buah durian lokal, sampai kayu eboni.
Menurut "Wikipedia", kayu hitam Sulawesi adalah sejenis pohon penghasil kayu mahal dari suku eboni-ebonian (Ebenaceae). Nama ilmiahnya adalah "Diospyros celebica", yakni diturunkan dari kata "celebes" (Sulawesi), dan merupakan tumbuhan endemik daerah itu.
Pohon ini menghasilkan kayu yang berkualitas sangat baik. Warna kayu coklat gelap, kehitaman, atau hitam berbelang-belang kemerahan. Dalam perdagangan internasional kayu hitam sulawesi ini dikenal sebagai "Macassar ebony", "Coromandel ebony", "streaked ebony" atau "juga black ebony".
Nama-nama lainnya di Indonesia di antaranya kayu itam, toetandu, sora, kayu lotong, dan kayu maitong. Kayu hitam itu berat jenisnya melebihi air, sehingga tidak dapat mengapung.
Kayu hitam sulawesi terutama digunakan untuk mebel mahal, ukir-ukiran dan patung, alat musik, misalnya gitar dan piano, tongkat, dan kotak perhiasan.
"Beberapa peneliti dari LIPI, Kebun Raya Bogor, dan beberapa lainnya sudah datang ke Baringin untuk melihat pohon eboni, yang merupakan 'kayu termahal' ini," katanya.
Khusus untuk durian, di Desa Baringin hampir di semua kawasan hutan maupun kebun masyarakat terdapat pohon durian, yang bisa berbuah sepanjang tahun.
Mimpi dari Made Amin -- setelah sempat melihat langsung pengelolaan agrowisata buah apel di Kota Batu, Jawa Timur -- adalah menjadikan durian untuk kepentingan pariwisata berbasis agro itu.
"Nantinya, siapapun yang datang, termasuk wisatawan, bisa memetik durian langsung dari pohonnya. Ini sangat potensial dikembangkan, dan nantinya akan bisa menjadi salah satu andalan untuk ekonomi warga," katanya.
Sedangkan untuk rotan, hampir di semua kawasan hutan terdapat sumber daya alam itu. Hanya saja, hingga kini pengelolaannya sebatas dalam bentuk bahan mentah, yang minim nilai tambah ekonomi.
"Di Cirebon, Jawa Barat saja, yang tidak mempunyai tumbuhan rotan ini, bisa mengambil nilai tambah tinggi pada industri kreatifnya. Tentu, sediaan rotan yang melimpah di Desa Baringin ini, semestinya bisa dikelola dengan lebih baik ," katanya.
Kerja dan proses panjang masyarakat Desa Baringin untuk mendapatkan pengakuan, hingga penetapan untuk hutan adat, secara kolaboratif telah diperjuangan masyarakat dan parapihak, baik pemerintah maupun non-pemerintah.
Pada akhirnya, jika pengakuan dan penetapan nantinya sudah diperoleh, maka tugas besar lainnya adalah bagaimana potensi SDA yang ada di Desa Baringin itu mampu dikelola bagi sebesar-besar manfaatnya untuk masyarakat dengan tetap pada komitmen terjaganya fungsi hutan dan lingkungan secara lestari.