Jakarta (ANTARA) - Kantor akuntan publik dan konsultan, RSM Indonesia memaparkan tren perpajakan dan ekonomi ke depan di tengah lanskap perpajakan yang sedang menuju lebih dinamis dan penuh tantangan.
Managing Partner Tax RSM Indonesia Ichwan Sukardi dalam keterangannya, Selasa, menjelaskan, tahun 2025 diperkirakan akan menjadi tahun yang penting bagi pemerintah dan wajib pajak dalam menyesuaikan diri dengan berbagai kebijakan dan tren baru di bidang perpajakan.
Ia juga menerangkan hal itu dalam webinar bertajuk 2025 Indonesian Economy and Taxation Outlook yang diadakan oleh RSM Indonesia, bahwa terdapat beberapa tren terkini dalam perpajakan Indonesia.
“Terkait tren pajak terkini, mungkin saya akan bagi menjadi 3, dari sisi Tax Administration, Tax Policy, Tax Audit & Dispute. Ketiga aspek ini akan berdampak besar pada wajib pajak, baik individu maupun korporasi, yang perlu mempersiapkan diri untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan tersebut,” tuturnya.
Dalam administrasi pajak, Pemerintah akan memperkenalkan Core Tax Administration System (CTAS) yang diharapkan akan secara resmi diluncurkan pada Desember 2024 untuk mendukung pengelolaan pajak yang lebih modern dan efisien, serta memperkuat transparansi melalui penerapan mekanisme Common Reporting Standards (CRS) yang mewajibkan institusi keuangan mematuhi standar pelaporan internasional.
Selain itu, sistem Daftar Sasaran Prioritas Pengamanan Penerimaan Pajak (DSP4) akan mengelompokkan wajib pajak berdasarkan tingkat risiko ketidakpatuhan, dengan fokus pada Wajib Pajak memiliki risiko tinggi, termasuk juga wajib pajak orang pribadi berpenghasilan tinggi (High Wealth Individuals).
Dari sisi kebijakan, fokus kebijakan pajak pada 2025 adalah perbaikan proses bisnis dengan pemantauan yang lebih intensif terhadap wajib pajak strategis. Pemerintah juga akan mengimplementasikan pajak minimum global (global minimum tax) yang mencakup ketentuan seperti STTR, QDMTT, dan IIR. Di sisi lain, insentif fiskal akan diberikan secara lebih terukur untuk memastikan manfaat yang optimal bagi perekonomian.
Kemudian dari segi audit dan sengketa pajak, optimalisasi audit bersama, penguatan pengawasan, dan investigasi lintas institusi akan menjadi prioritas dalam mengelola sengketa pajak. Selain itu, teknologi forensik digital akan dimanfaatkan untuk meningkatkan transparansi dan memastikan keadilan dalam proses audit dan penegakan hukum perpajakan.
“Dalam menghadapi tren ini, ada key takeaways yang perlu dicermati oleh wajib pajak dan investor, mulai dari dokumen pendukung atas transaksi, payment harus dimonitoring, jika ada tax incentive kita perlu perhatikan bagaimana perolehan dan entitlement-nya beserta apa manfaat dan apa dampaknya, kemudian mungkin kalau perlu structuring dan optimization dari current structure bisa dipertimbangkan, lalu kalau perlu dilakukan jika ada grey area perlu dipertimbangkan juga untuk diskusi atau berkonsultasi dengan eksternal,” jelas Ichwan.
“Jika kita bisa memonitor beberapa hal ini, maka tax risk nya bisa kita manage untuk bisa survive di 2025,” lanjutnya.
Strategi Indonesia di Tengah Tantangan Global
Dalam webinar yang sama, juga hadir Senior Economist Fithra Faisal dari PT Samuel Sekuritas Indonesia. Fithra memaparkan tantangan global dan strategi yang perlu diterapkan oleh Indonesia. Fithra menyoroti upaya diplomasi ekonomi yang dilakukan Indonesia di awal pemerintahan baru, termasuk kunjungan bilateral ke berbagai negara, sebagai langkah strategis untuk menjaga keseimbangan hubungan dengan dua kubu ekpnomi dunia yaitu Amerika Serikat dan Cina.
“Kita melihat ini sebagai bagian dari upaya Indonesia untuk memainkan peran yang bersifat balancing antara dua kekuatan besar dunia, yaitu Cina dan Amerika Serikat. Sebagaimana kita ketahui bersama, Indonesia ingin mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen jadi ini butuh investasi yang lumayan besar. Berdasarkan hitung-hitungan saya, for the next five year, itu butuh 49 ribu triliun rupiah untuk dapat pertumbuhan ekonomi 8 persen,” jelasnya.
“Langkah balancing act yang tengah dilakukan Indonesia ini harus dilakukan dengan baik, jangan sampai satu lebih banyak dibanding yang lain,” ujar Fithra.
Fithra juga menjelaskan implikasi berbagai kebijakan Donald Trump sebagai Presiden Terpilih Amerika Serikat yang dapat memengaruhi ekonomi global, termasuk Indonesia di antaranya terkait implikasi penurunan pajak korporasi menjadi 15 persen dari sebelumnya 21 persen. Fithra menjelaskan bahwa kebijakan ini berpotensi mendorong pasar saham dalam jangka pendek, tetapi dapat memicu inflasi dalam jangka panjang.
Kemudian dari segi perdagangan, perlu juga diperhatikan kebijakan Trump terkait tarif tinggi pada impor, termasuk tarif 60 persen untuk produk dari China dan 10 persen untuk negara lain. Tarif pada kendaraan listrik buatan Cina juga akan dinaikkan hingga 200 persen. Menurut Fithra, Sektor dengan ketergantungan tinggi pada Cina, seperti teknologi dan otomotif, akan terkena dampak signifikan.
Lalu dari sisi energi, kebijakan Trump berupa dukungan penuh terhadap produksi minyak domestik di Amerika Serikat perlu diperhatikan. Implikasinya adalah kebijakan ini akan menguntungkan sektor energi tradisional seperti minyak bumi dan gas, tetapi dapat mempersulit transisi energi bersih.
RSM Indonesia paparkan tren perpajakan dan ekonomi ke depan
Selasa, 17 Desember 2024 19:44 WIB