Kupang (ANTARA) - Sebulan lalu, tepatnya 10 Januari 2024, pukul 00.30 WITA, halaman Pos Pengamatan Gunung Api Lewotobi Laki-laki di Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), dipenuhi banyak orang. Beberapa warga Kampung Sukutukang, Desa Pululera, berlarian ke halaman kantor itu, sebagian lain memegang telepon genggam dan menelpon dengan suara parau.
Adapun warga lainnya duduk di tangga teras kantor menatap ke arah gunung. Para wartawan juga sibuk; jari-jemari wartawan daring sibuk mengetik pada layar handphone masing-masing, sembari jurnalis televisi menyiapkan peralatan untuk merekam.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah menaikkan status Gunung Api Lewotobi Laki-laki dari Level III atau Siaga menjadi Level IV atau Awas pada 9 Januari 2024 pukul 23.00 WITA karena gempa tremor cenderung mengalami peningkatan amplitudo yang menunjukkan terjadinya peningkatan energi erupsi.
Status tertinggi gunung api itu mengindikasikan erupsi atau letusan dapat mengancam permukiman di sekitar gunung. Apalagi, terlihat sinar api dan lontaran material pijar di bagian puncak dan aliran lava telah mengarah ke sisi barat laut hingga utara puncak. Itulah yang menjadikan masyarakat sekitar gunung api tersebut panik.
“Aman, tenang,” kata Bobyson Lamanepa (36), pengamat Gunung Api Lewotobi Laki-laki, menjawab pertanyaan dari warga, Rabu (10/1) dini hari.
Sekilas, jawaban Boby, sapaan akrabnya, tak mampu meredam rasa ingin tahu warga yang sudah panik karena melihat dari jauh lontaran lava pijar dari gunung api itu. Namun, Boby masih melakukan hal yang sama; membalas pertanyaan warga yang meminta informasi tentang gunung api itu dengan tenang.
Garda terdepan
Pengamat gunung api merupakan garda terdepan penyebaran informasi terkini aktivitas vulkanik gunung. Mereka mengambil peran mitigasi yang tentu saja tidak mudah.
Secara umum, Boby dan seorang rekan lain bergantian memantau aktivitas gunung secara visual dan instrumentatif. Pengamatan visual dilakukan menggunakan mata telanjang dibantu teropong untuk melihat warna gas atau asap kawah atau semua perubahan yang tampak di sekitar kawah, sedangkan pengamatan instrumental dilakukan melalui peralatan atau teknologi untuk memantau aktivitas kegempaan.
Pengamat gunung api melaporkan hasil pengamatan setiap 24 jam. Mereka juga harus mengoperasikan semua peralatan dan melakukan pemeliharaan rutin. Namun, pola kerja itu terasa berbeda ketika status gunung mulai naik ke level yang lebih tinggi.
Melansir laman resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, ada empat tingkat status aktivitas gunung api berdasarkan hasil pemantauan. Pada status Level I atau Aktif Normal, gunung api memiliki aktivitas dengan fase normal baik visual maupun instrumental.
Namun, pada level II atau Waspada, mulai terpantau atau terekam perubahan aktivitas suatu gunung api dari data dasar aktif normal yang ada. Apabila gunung api naik level menjadi Level III atau Siaga, perubahan aktivitas gunung api cenderung berlanjut dan membesar. Dan terakhir, level tertinggi gunung api yakni Level IV atau Awas yang mengindikasikan terjadinya letusan dalam waktu dekat.
Jika status gunung berada pada Level III atau IV, laporan yang dibuat oleh pengamat gunung api bukan lagi 24 jam, melainkan per 6 jam. Hal itu yang dilakukan Boby dan rekannya yang juga mendapatkan bantuan tim dari pos pengamatan gunung api lain di NTT.
Tak hanya melakukan pemantauan dari pos pengamatan, mereka juga harus turun langsung ke lokasi yang dekat dengan gunung api untuk memasang alat tambahan dan memantau aktivitas gunung lebih dekat. Pada waktu bersamaan, edukasi harus tetap berjalan, informasi harus tetap disebarluaskan kepada masyarakat.
Selain itu koordinasi terus dilakukan dengan pemangku kepentingan kebencanaan. Sekali jalan, beberapa tugas mitigasi harus dilakukan dengan tepat dan penuh ketelitian.
Jika terjadi kerusakan pada alat pemantau aktivitas gunung baik yang berada di dekat puncak kawah maupun titik lain, pengamat gunung api harus melakukan perbaikan. Tentu saja hal itu berkaitan dengan suplai data yang harus diolah dan disampaikan kepada masyarakat. Tanpa data-data yang dikirimkan secara nirkabel dari alat-alat pemantauan itu, pengamat gunung api akan kesulitan mengolah data dengan tepat dan cepat.
Secara manusiawi, pengamat gunung api juga merasa takut karena risiko pekerjaan yang harus dihadapi ketika gunung mengalami “krisis”. Namun, pengamat gunung api tidak asal-asalan naik ke atas gunung, baik untuk melakukan pemantauan atau pemasangan alat.
Sebelum memutuskan untuk naik ke gunung, tim kerja terlebih dahulu melakukan briefing untuk memetakan potensi bahaya, arah lontaran, dan hal lain yang mendukung agar kerja-kerja pemantauan dapat berjalan aman tanpa ada hambatan. Mereka pun bekerja sesuai standar operasional yang telah ditetapkan.
Gunung Lewotobi Laki-laki
Gunung Lewotobi merupakan gunung api kembar yang terdiri atas dua puncak yakni Gunung Lewotobi Laki-laki dan Gunung Lewotobi Perempuan.
Gunung Lewotobi Laki-laki memiliki ketinggian 1.584 mdpl dan tercatat mengalami erupsi terakhir pada 12 Oktober 2002.
PVMBG menaikkan status gunung api itu dari Level I (Normal) menjadi Level II (Waspada) pada 17 Desember 2023. Gunung itu pun mengalami erupsi dengan ketinggian kolom abu mencapai 1.000 hingga 1.500 meter di atas puncak pada 23 Desember 2023 pukul 07.14 WITA.
Selanjutnya, PVMBG kembali menaikkan status gunung itu menjadi Level III (Siaga) pada 1 Januari 2024 pukul 04.00 WITA karena adanya peningkatan aktivitas visual dan kegempaan yang terekam.
Gunung Lewotobi Laki-laki kembali naik status menjadi level IV (Awas) pada 9 Januari 2024 pukul 23.00 WITA, lalu diturunkan menjadi Level III (Siaga) pada tanggal 29 Januari 2024 pukul 12.00 WITA.
Pos Pengamatan Gunung Api Lewotobi Laki-laki berada di Desa Pululera dan dilayani oleh dua pengamat gunung api. Namun, saat status gunung naik menjadi Siaga dan Awas, pos pengamatan itu mendapatkan bantuan tim gunung api dari PVMBG di Bandung, serta sesama pengamat dari beberapa gunung api di NTT.
Pemantauan utama yang dilakukan oleh pengamat Gunung Lewotobi Laki-laki adalah pemantauan seismik pada alat seismometer.
Alat itu berada pada tiga stasiun seismik yang mana masing-masing terletak pada ketinggian 1.000 mdpl (dekat puncak), 700 mdpl, dan 500 mdpl.
Selanjutnya pemantauan visual gunung dilakukan menggunakan teropong dari pos pengamatan. Mereka juga melihat visual gunung api dari CCTV yang terpasang di Desa Nurabelen, Kecamatan Ile Bura.
Dengan tingkat aktivitas Gunung Lewotobi Laki-laki yang kini berada pada Level III (Siaga), PVMBG telah merekomendasikan, agar masyarakat atau pengunjung dan wisatawan tidak melakukan aktivitas apa pun dalam radius 4 kilometer (km) dari pusat erupsi, lalu sektoral 5 km ke arah utara-timur laut, dan 6 km ke sektor timur laut.
PVMBG melalui Pos Pengamatan Gunung Api Lewotobi Laki-laki juga mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai potensi banjir lahar hujan pada sungai-sungai yang berhulu di puncak gunung apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi. Pengamat gunung api mencatat adanya rekaman getaran banjir lahar hujan pada tanggal 4 dan 7 Februari 2024.
Setelah melalui dinamika perkembangan Gunung Lewotobi Laki-laki saat ini, bagi Boby, menjadi pengamat gunung api bukan sekadar sebuah pekerjaan, melainkan pelayanan.
Sebagai garda terdepan informasi mitigasi bencana, pengamat gunung api harus berani mengambil risiko pekerjaan dan terbuka kepada masyarakat. Edukasi mitigasi bencana gunung api pun dilakukan setiap waktu, tidak terbatas saat jam kerja. Para pengamat gunung api pun harus terus menjalin koordinasi dengan pemangku kepentingan kebencanaan dan media massa.
Pastinya, penentuan perubahan status gunung api yang dilakukan oleh pejabat struktural merupakan hasil dari pemantauan para pengamat gunung api. Ketepatan pembacaan data dan pemberian informasi dari mereka sangat dibutuhkan agar adanya rekomendasi yang bisa disampaikan ke masyarakat, khususnya saat gunung berada pada Level III (Siaga) dan Level IV (Awas). Mereka dituntut menyampaikan informasi dengan cepat dan tepat yang juga menjadi rujukan bagi pengambilan kebijakan di daerah.
“Kita harus lebih tenang ketika mau menenangkan orang lain,” kata Boby. Itulah prinsip Boby, sehingga ia mampu dengan tenang menyampaikan kondisi gunung api kepada masyarakat yang panik. Ya, prinsip itu juga harusnya menjadi dasar bagi semua pihak yang terlibat dalam urusan kebencanaan.