Jakarta (ANTARA) - "Kota-kota sedang tenggelam, hutan terbakar, Iklim sedang berubah… Apa yang kita lakukan?"
Sepenggal lirik lagu Today for Tomorrow yang dipopulerkan grup musik The Rain itu menggambarkan kondisi alam saat ini.
Lagu itu menjadi pengingat tentang krisis iklim yang bukan lagi mengancam generasi anak cucu di masa depan, tetapi sudah dirasakan oleh generasi saat ini.
Salah satunya adalah bencana alam yang sedang terjadi, yaitu kebakaran hutan dan gambut di beberapa wilayah di Indonesia khususnya di Sumatera dan Kalimantan.
Industri fast fashion atau istilah bagi industri tekstil dengan berbagai model fesyen yang selalu berganti dalam waktu singkat dan tidak tahan lama, turut bertanggung jawab terhadap sekitar 10 persen dari total emisi karbon di dunia. Bahkan, diperkirakan akan mengalami peningkatan sampai 50 persen di tahun 2030.
Selain emisi, dilansir dari laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN) 2017, diperkirakan 35 persen mikroplastik di lautan berasal dari proses pencucian serat sintetis termasuk poliester yang dapat menyusup ke dalam rantai makanan sehingga berbahaya bagi kesehatan.
Sebagai salah satu upaya untuk mencegah dampak perubahan iklim semakin parah adalah dengan mempopulerkan dan mengenakan busana berkonsep eco-fashion atau fesyen ramah lingkungan dalam kegiatan sehari-hari.
Getah gambir pewarna alami
Kabupaten Musi Banyu Asin merupakan wilayah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Setiap jengkal tanah di Bumi Serasan Sekate itu mengandung kekayaan alam berupa migas, perkebunan, area stok karbon, hingga kawasan konservasi.
Di sektor perkebunan dan kehutanan, Kabupaten Musi Banyu Asin masyhur sebagai penghasil getah karet nomor wahid dan menjadi sumber penggerak perekonomian daerah. Namun, saat ini potensi ekonomi lain telah hadir melalui tanaman gambir yang tumbuh subur dan mulai diberdayakan masyarakatnya.
Gambir merupakan tanaman semak yang memiliki batang, bunga, dan buah. Buah dari tanaman gambir secara turun temurun digunakan oleh masyarakat daerah sebagai pelengkap budaya menginang dan menyirih. Selama 6 tahun terakhir tanaman gambir telah dikonversi menjadi pewarna alami untuk kain bernilai ekonomi tinggi yang dinamai kain gambo muba.
Kain gambo muba adalah kain tradisional yang dibuat dengan metode jumputan khas Sumatera Selatan. Metode jumputan sendiri mengandung makna yang sangat mendalam bagi masyarakat setempat yakni gotong royong yang dipresentasikan melalui motif dan corak dominan kotak serta melingkar.
Proses pewarnaan kain gambo dilakukan dengan cara dicelup ke getah gambir hingga menghasilkan warna natural dan memukau seperti cokelat, hitam, hijau, oranye, dan kuning.
Ekonomi fesyen ramah lingkungan
Potensi ekonomi dari fesyen ramah lingkungan juga tak kalah menggiurkan. Produk turunan dari fesyen yang berasal dari hutan Indonesia mendatangkan pundi-pundi rupiah yang tidak sedikit.
Sebagai gambaran untuk selembar produk Kain gambo muba, para pengrajin bisa mendapatkan harga jual sebesar Rp200 ribu hingga Rp700 ribu rupiah. Angka itu melonjak berpuluh kali lipat dibandingkan hanya menjual buah gambir mentah yang dihargai Rp5.000-Rp20.000 per kilogram.
Belum lagi nilai tambah dari produk turunannya. Selembar kain gambo muba bisa dibuat menjadi 10 dompet yang harga satuannya mencapai Rp120 ribu.
Dengan potensi ekonomi dan dampak positif dari fesyen ramah lingkungan, saat ini kawasan Toman di Kabupaten Musi Banyu Asin telah menjadi sentra produksi kain gambo muba karena telah terdapat 108 pengrajin dari sebelumnya 4 orang pengrajin.
Bergaya sembari merawat dan melestarikan lingkungan
Sabtu, 14 Oktober 2023 17:31 WIB