Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis anak dan konsultan respirology anak RSAB Harapan Kita dr. Dimas Dwi Saputro Sp.A mengatakan anak atau remaja tetap bisa memiliki risiko kesehatan yang buruk terhadap paparan asap rokok elektrik atau yang disebut second hand vaping.
“Ada bukti tahun 2022 diperiksa pada 2.097 anak-anak usia 17 tahun diikuti dari 2014 sampai 2019. Ternyata, kejadian mengi atau wheezing itu meningkat sekitar 15 persen, kemudian kejadian bronchitis meningkat sampai 26 persen dan sesak napas meningkat sampai 18 persen,” katanya dalam diskusi daring “Hari Tanpa Tembakau Sedunia” yang diikuti di Jakarta, Sabtu.
Risiko anak mengalami bronchitis akan naik 1,4 kali lebih banyak dan 1,5 kali risiko sesak nafas pada kalangan dewasa muda maupun remaja yang seharusnya bisa tumbuh dengan sempurna.
Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) ini menjelaskan, rokok elektrik awalnya untuk mengurangi bahaya atau harm reduction dari rokok tembakau konvensional yang memiliki banyak bahaya dengan 7 ribu lebih zat-zat beracun di dalamnya. Maka diatur sedemikian rupa untuk dikurangi risikonya dengan diciptakan vape atau rokok elektrik yang secara umum dikatakan sebagai Electronic Nicotin Delivery System atau INDS.
Cara kerja rokok elektrik menghasilkan aerosol, dengan pemanasan cairan yang biasanya diteteskan mengandung nikotin dan zat adiktif lainnya, lalu dicampur dengan bahan kimia sehingga makin mudah untuk membuat kepulan aerosol.
Meskipun aerosol rokok elektrik terbilang sedikit kandungan zat karsinogeniknya, Dimas mengatakan aerosol rokok elektrik masih mengandung zat-zat yang berpotensi bahaya jika digunakan terus-menerus.