Yangon/Naypyitaw, Myanmar (Antara/Reuters/Antara Megapolitan) - Para pendukung Aung San Suu Kyi menggelar perayaan meriah pada Minggu setelah Myanmar mengadakan pemilu bebas yang pertama dalam 25 tahun dan merupakan langkah terbesar dalam perjalanan mencapai demokrasi di negara tersebut.
Meskipun hasil pemungutan suara belum bisa dipastikan setidaknya dalam 36 jam, kerumunan orang yang bersorak-sorak dan mengibarkan bendera merah memblokir jalanan padat di samping markas Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi di Yangon.
NLD diperkirakan memenangi bagian terbanyak suara yang diambil oleh sekitar 30 juta warga Myanmar, yang akan terpilih dari ribuan calon anggota parlemen dan majelis regional.
Namun, warisan pemerintahan junta militer membuat Suu Kyi, yang memimpin kampanye demokrasi, tidak bisa menjabat sebagai presiden. Apapun hasilnya, Myanmar menghadapi ketidakpastian tentang bagaimana Suu Kyi dan partai lainnya bernegosiasi tentang pembagian kekuasaan yang hingga kini masih didominasi militer.
Sebagai negara yang sebagian besar dihuni oleh warga paria (kelas rendah), Myanmar memiliki sedikit pengalaman terkait pelaksanaan pemilu. Sekitar 10 ribu pengamat didaftar untuk meneliti pemilu tersebut.
Indikasi awal pengamatan menunjukkan bahwa pemungutan suara itu bebas masalah dan hanya ditemukan penyimpangan kecil.
"Dari puluhan orang yang kami ajak bicara sejak pukul 6 pagi tadi, semua merasa aman dan nyaman dalam memilih siapapun yang mereka jagokan," kata Durudee Sirichanya, salah satu pengamat internasional.
Di Kota Mandalay, sekitar 100 orang dilarang mengambil suara setelah pihak berwenang mengetahui mereka adalah orang asing yang secara misterius terdaftar dan diantarkan ke lokasi pemungutan suara.
Referendum Reformasi
Keadilan menjadi perhatian utama bagi banyak kalangan sebelum pemilu dilaksanakan. Para aktivis memperkirakan sekitar empat juta orang, sebagian besar merupakan penduduk Myanmar yang bekerja di negara lain, tidak bisa memilih.
Ketegangan agama yang dihembuskan oleh kelompok nasionalis Buddhis yang tindakannya telah mengintimidasi kalangan minoritas Muslim Myanmar, juga mewarnai kampanye pemilu.
Diantara mereka yang dikecualikan dalam pemilu yakni satu juta Muslim Rohingnya yang tidak berkewarganegaraan di tanah mereka sendiri.
Tetap saja ada kegembiraan diantara para pemilih tentang pemilu pertama sejak pemerintah quasi-sipil mengganti kekuasaan militer pada 2011, yang dipandang luas sebagai referendum terhadap goyahnya proses reformasi di negara tersebut.
"Saya mengambil sedikit bagian dalam perubahan untuk munculnya demokrasi," kata Daw Myint (55), mantan guru yang memberikan suaranya untuk NLD di Yangon.
Mobil Suu Kyi beringsut melewati sekumpulan fotografer berita di luar lokasi pemungutan suara di Yangon, dimana perempuan 70 tahun pemenang Nobel Perdamaian itu datang untuk memilih.
Wajah Suu Kyi tampak dingin ketika para pengawalnya menyerukan pada orang-orang di sekelilingnya untuk membuka jalan. Sorakan "Kemenangan! Kemenangan!" dari kerumunan simpatisan mengiringi masuknya Suu Kyi ke dalam bilik suara.
Banyak pemilih ragu bahwa militer akan menerima hasil pemilu jika NLD menang.
Namun di ibu kota Naypyitaw, Panglima Militer Min Aung Hlaing mengatakan tidak akan ada pengulangan peristiwa dimana para tentara mengabaikan hasil pemilu bebas terakhir pada 1990 yang memunculkan Suu Kyi sebagai pemenang.
Suu Kyi menghabiskan hampir 20 tahun hidupnya sebagai tahanan rumah sebelum dibebaskan pada 2010.
"Jika orang-orang memilih NLD, tidak ada alasan kami tidak menerimanya," kata Jenderal Aung Hlaing kepada wartawan.
Konstitusi Sangat Konyol
Hasil keseluruhan pemilu Myanmar diperkirakan baru akan keluar pada Selasa (10/11) pagi.
Suu Kyi dilarang menjabat sebagai presiden dengan ketentuan konstitusi yang ditulis oleh junta demi melanggenggkan kekuasaan mereka.
Namun, jika ia memenangi mayoritas suara dan mampu membentuk pemerintah demokratis pertama Myanmar sejak 1960-an, Suu Kyi menyatakan akan menjadi kekuatan di balik presiden baru terlepas dari konstitusi yang disebutnya sangat konyol itu.
Suu Kyi memulai persaingan dengan rintangan besar: bahkan jika pemilu berjalan bebas dan adil, seperempat kursi parlemen tetap akan diduduki oleh anggota militer yang tidak terpilih.
Untuk membentuk pemerintah dan memilih presidennya sendiri, NLD sendiri atau bersama koalisinya harus memenangi lebih dari dua pertiga kursi parlemen yang diperebutkan.
Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang saat ini memerintah, hanya memerlukan sedikit kursi jika mereka memperoleh dukungan penuh dari blok militer di parlemen.
Namun, banyak pemilih diperkirakan mendepak USDP yang dibentuk oleh mantan junta dan dipimpin mantan petugas militer, karena partai tersebut terkait dengan kediktatoran brutal yang menempatkan pemerintahan sipil Presiden Thein Sein pada 2011.
Hasil sementara menunjukkan 91 partai bersaing dalam pemilu termasuk banyak diantaranya mewakili segudang etnis minoritas Myanmar.
Bahkan jika NLD berjaya, militer akan tetap mempertahankan kekuatan secara signifikan.
Mereka akan menjamin posisi menteri-menteri penting, konstitusi juga memberi mereka hak untuk mengambil alih pemerintahan dalam keadaan tertentu, dan mereka juga memiliki cengkeraman ekonomi melalui perusahaan-perusahaan induk.
Penerjemah: Difa/M. Dian A.
Pendukung Aung San Suu Kyi Yakin Menangi Pemilu Myanmar
Senin, 9 November 2015 15:17 WIB
Sebagai negara yang sebagian besar dihuni oleh warga paria (kelas rendah), Myanmar memiliki sedikit pengalaman terkait pelaksanaan pemilu. Sekitar 10 ribu pengamat didaftar untuk meneliti pemilu tersebut.