Jakarta, (Antaranews Bogor) - Direktur Program Tata Kepemerintahan Pembangunan Berkelanjutan Kemitraan Sita Supomo menyatakan penundaan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) pada 1 Januari 2015 dapat berdampak pada kredibilitas pemerintah Indonesia.
"Kewajiban industri kehutanan untuk mendapatkan sertifikat SVLK per tanggal 1 Januari 2015 selayaknya diteruskan, dan tidak mengalami penundaan lagi," katanya di Jakarta, Selasa.
Untuk itu, katanya, Kemitraan sangat mendukung rencana pemerintah untuk mewajibkan semua ekspor produk kayu dan industri kehutanan menjalankan SVLK per tanggal 1 Januari 2015.
Ia mengatakan penundaan juga dapat merusak eksistensi dan dan akuntabilitas SVLK serta Pemerintah Indonesia.
"Baik di mata pelaku usaha, maupun negara-negara `buyer` (pembeli) yang telah berkomitmen menerima SVLK," ucapnya.
Ia menegaskan bahwa penundaan lebih banyak akan menciptakan keraguan pelaku usaha atas pemberlakuan sebuah peraturan, dan akhirnya sistem ini akan lebih sulit diterapkan di masa yang akan datang.
Menurut dia, perbaikan atas berbagai hal yang masih kurang dan dianggap masih menjadi kendala dalam pemenuhan SVLK bisa dilakukan sejalan dan paralel dengan pemberlakuan wajib ekspor tersebut.
Beberapa waktu yang lalu Kementerian Perindustrian memberikan pernyataan bahwa industri kecil belum diwajibkan untuk mengikuti penilaian SVLK.
Pernyataan ini menanggapi permintaan asosiasi industri yang menyatakan bahwa industri kayu skala kecil belum siap untuk mengikuti penilaian verifikasi legalitas kayu.
Ketidaksiapan tersebut di antaranya disebabkan mahalnya biaya penilaian dan sulitnya memenuhi beberapa persyaratan SVLK.
"Project Manager Forest Law Enforcement Governance and Trade" (FLEGT) Kemitraan Fazrin Rahmadani mempertanyakan benarkah pelaku industri kehutanan belum siap mengikuti penilaian verifikasi legalitas kayu itu
Pengalaman Kemitraan dan beberapa pihak lain dalam mendampingi kelompok industri kecil di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta menemukan fakta sebaliknya.
Pihaknya mendampingi dan memfasilitasi kelompok usaha kecil di Kabupaten Klaten (Jateng) dan Jombang (Jatim) untuk dapat mengikuti penilaian SVLK.
Pada dasarnya, kata dia, kelompok industri tersebut siap untuk mengikuti penilaian SVLK.
Apalagi dengan dukungan yang kuat dari pemerintah daerah, misalnya, melalui penerbitan kebijakan daerah tentang percepatan pelaksanaan SVLK dan kegiatan peningkatan kapasitas menjadikan industri tersebut siap untuk mengikuti penilaian SVLK.
Ia merujuk pernyataan seorang pemilik usaha mebel di Klaten yang mengatakan SVLK tidak sulit bagi yang sudah memiliki izin usaha dan tertib melakukan pencatatan.
Dengan pencatatan yang baik, pelaku usaha justru mengetahui apa yang terjadi dalam manajemennya, yakni efisien atau tidak.
Hal ini juga baik untuk penentuan harga yang kompetitif, dan itu yang dirasakan setelah mengikuti program pendampingan pemenuhan SVLK.
Sedangkan Jajag Suryo dari PT Jawa Furni Lestari Yogyakarta juga mengatakan hal yang sama.
Menurut dia industri-industri kehutanan kecil dan menengah di Yogyakarta sebetulnya sudah siap untuk mengikuti penilaian verifikasi legalitas kayu.
"Tidak ada masalah dengan sistemnya, dengan SVLK justru ada dukungan dari pemerintah daerah untuk lebih membenahi persyaratan legalitas usaha industri, yang menjadi titik lemah dalam pemenuhan verifikasi legalitas kayu," tuturnya.
Dengan kondisi tersebut Program Manager Sustainable Environment Governance Kemitraan Hasbi Berliani mengatakan bahwa siap atau tidak siap maka pelaku usaha perkayuan harus siap untuk mengikuti penilaian SVLK.
"Itu sebagai salah satu upaya pembenahan tata kelola yang lebih baik di sektor kehutanan," tukasnya.
Kemitraan: Penundaan SVLK berdampak pada kredibilitas Indonesia
Selasa, 23 Desember 2014 11:19 WIB