Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia mengatakan isu gelombang kedua penyebaran COVID-19 di Tanah Air menjadi salah satu indikator yang membuat nilai tukar rupiah tertekan sejak tiga hari terakhir.
“Dua-tiga hari terakhir ini pada saat global relatif tenang, ternyata rupiah menjadi salah satu mata uang yang terpuruk di regional karena masalah domestik,” kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo dalam webinar di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, isu di dalam negeri lainnya yang membuat rupiah tertekan adalah terkait pembagian beban dalam penyelamatan ekonomi atau burden sharing.
“Ini berakibat kemudian rupiah sampai pagi ini tertekan,” imbuh Dody.
Dia menjelaskan menstabilkan nilai tukar rupiah bukanlah perkara mudah karena berhadapan dengan ekspektasi dan kepercayaan pasar.
Kondisi itu, lanjut dia, menuntut BI untuk merespons cepat agar stabilisasi nilai tukar rupiah dapat dilakukan dengan mulus.
Salah satunya dengan menjaga kepercayaan pasar atau para penanam modal asing yang sejak beberapa hari terakhir aliran modal asing masuk ke Indonesia melalui Surat Berharga Negara (SBN).
Baca juga: Harga emas berjangka naik 10,1 dolar AS meski lapangan kerja AS meningkat
Sejak 14 April 2020 hingga 25 Juni 2020, lanjut dia, aliran modal asing ke portofolio SBN mencapai Rp17 triliun.
Alhasil cadangan devisa melonjak dari 120 miliar dolar AS pada Maret 2020 menjadi 130,5 miliar dolar AS pada akhir Mei 2020.
Sementara itu pada Jumat (3/7) pagi nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta melemah 121 poin atau 0,84 persen dari Rp14.378 per dolar AS menjadi Rp14.499 per dolar AS.
Meski begitu, lanjut dia, nilai tukar tersebut masih lebih baik dibandingkan pada posisi 8 April 2020 yang sempat terjun Rp16.200 per dolar AS karena masa awal pandemi COVID-19 di Indonesia.