Jakarta (ANTARA) - Komite Olimpiade Internasional (IOC) telah mengkonfirmasi bahwa seluruh atlet dilarang untuk menggelar aksi protes terkait kematian George Floyd pada saat pelaksanaan Olimpiade, demikian dikutip dari Reuters, Rabu.
Dalam peraturan nomor 50 Piagam Olimpiade disebutkan bahwa “tidak ada satu pun aksi demonstrasi terkait isu politik, isu agama atau isu rasial yang diizinkan di seluruh tempat atau area penyelenggaraan Olimpiade.”
Atlet-atlet yang melanggar peraturan tersebut akan dikenai sanksi disiplin berdasarkan kasus per kasus. Pada Januari 2020, IOC juga telah mengeluarkan pedoman yang melarang aksi protes yang disampaikan melalui gestur tubuh, termasuk berlutut atau gerakan lainnya.
Menurut IOC, pedoman tersebut masih berlaku sampai dengan saat ini.
Pada 25 Mei 2020, seorang pria Afrika-Amerika berusia 46 tahun bernama George Floyd tewas setelah seorang polisi menekankan lututnya ke leher Floyd selama hampir sembilan menit di Minneapolis, Amerika Serikat (AS).
Baca juga: Panitia meniadakan acara hitung mundur Olimpiade Tokyo Jepang
Kematiannya pun lantas memicu aksi gelombang protes di seluruh dunia terkait masalah ketidakadilan rasial. Bahkan, sejumlah pesepakbola di Bundesliga Jerman turut menyampaikan pesan dukungan mereka selama pertandingan.
Sementara itu, FIFA yang sebelumnya sama sekali tidak memberikan toleransi terhadap para pemain yang menyampaikan aspirasi mereka di lapangan, akhirnya meminta penyelenggara liga-liga sepak bola untuk lebih menggunakan "akal sehat" terkait aksi protes kematian Floyd.
Di sisi lain, Komisaris NFL Roger Goodell mengakui NFL telah membuat kesalahan karena tidak mendengarkan suara para pemain. Goodell pernah dikritik dalam menangani aksi protes sambil berlutut yang dilakukan oleh Colin Kaepernick pada 2016 lalu.
Baca juga: IOC mendukung Queensland tunda pencalonan Olimpiade 2032 demi COVID-19
Sejak saat itu, pihaknya terus mendorong para pemain untuk menyampaikan aspirasi mereka dan melakukan “protes dengan damai.”
Gerakan-gerakan anti-rasisme rencananya akan dibahas dalam rapat dewan eksekutif IOC pada Rabu (10/6).
Aksi protes yang dilakukan atlet saat Olimpiade memang jarang terjadi. Namun pada Olimpiade 1968 di Kota Meksiko, sprinter kulit hitam asal Amerika Serikat Tommie Smith dan John Carlos menundukkan kepala mereka sambil mengangkat tinju bersarung hitam di podium untuk memprotes ketidakadilan rasial.
Kemudian pada Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, pelari maraton asal Ethiopia Feyisa Lilesa mengangkat dan menyilangkan kedua tangannya ketika melewati garis finis sebagai bentuk dukungan terhadap aksi protes yang dilakukan oleh suku Oromo kepada pemerintah yang berencana untuk merelokasi lahan pertanian mereka.