Jakarta, (Antaranews Bogor) - Program kesejahteraan dan kontrol informasi diyakini dapat mencegah radikalisme, demikian kesimpulan yang disepakati dalam "International Forum on Current Dynamics of Radicalism in Southeast Asia" yang diselenggarakan Institute of Bangsamoro Studies (IBS) di Manila, Filipina.
Menurut keterangan tertulis dari Tenaga Ahli Menteri Sosial Sapto Waluyo, salah satu delegasi Indonesia yang ikut dalam pertemuan itu kepada Antara di Jakarta, Jumat malam, dengan simpulan tersebut, maka negara-negara anggota ASEAN harus berkolaborasi intensif untuk mencegah radikalisme baru di kawasan Asia Tenggara.
"Terutama dalam mengontrol informasi yang datang dari luar kawasan, seperti isu deklarasi ISIS (Islamic State in Iraq and Syria), dan menjalankan program kesejahteraan," katanya.
Ia menjelaskan Forum IBS yang telah dilaksanakan pada Kamis (2/10) itu dihadiri 200 akademisi, aktivis kemanusiaan, jurnalis, pejabat pemerintahan, diplomat dan aparat keamanan dari berbagai negara.
Dalam forum tersebut, Sapto Waluyo sebagai narasumber memaparkan bahwa Indonesia memiliki pengalaman panjang menangani isu radikalisme sebagai bibit terorisme mulai dari Aceh, Papua, Maluku hingga Poso.
"Kita harus menangani akar radikalisme, yakni deprivasi sosial-ekonomi dan ketidakadilan politik yang kemudian dijustifikasi klaim agama atau aspirasi etnik/kedaerahan," kata alumni Hubungan Internasional Fisip Universitas Airlangga (Unair), yang menamatkan S-2 dengan kajian terorisme di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Kampus Nanyang Technological University (NTU) Singapura itu.
Ia juga menyinggung pentingnya memantau media sosial dan "online" (dalam jaringan) yang menyebarkan informasi bebas.
"Perkembangan internet bisa berdampak positif atau negatif bagi masyarakat. Pemberitaan tragedi kemanusiaan dapat mengundang simpati atau sebaliknya memancing kekerasan. Tugas kita bersama
untuk memperkuat pemahaman moderat dan informasi sehat," kata Sapto, yang juga Pembantu Ketua IV Sekolah Tinggi Teknologi Terpadu Nurul Fikri (STT-NF).
Ia memberi contoh STT NF berperan mendidik sarjana teknologi informasi yang bertanggung-jawab atas kedamaian dan kemajuan bangsa, dengan pengembangan "open source".
Selain itu, STT NF juga melatih aparat keamanan yang menangani "cyber security".
Dalam forum tersebut Direktur Center for Intelligence and National Security Studies Rommel C. Banloi, menegaskan tidak semua gejala radikalisme mengarah terorisme.
"Di Filipina banyak gerakan radikal, tapi menempuh jalan damai untuk menyalurkan aspirasinya. Bangsamoro memiliki tuntutan radikal untuk eksistensi dan hak politiknya, tetapi meninggalkan perjuangan bersenjata dan mencapai kesepakatan komprehensif dengan pemerintah Filipina untuk membentuk daerah otonomi khusus," kata Banlaoi.
Ia mengatakan naskah perjanjian saat ini sedang dibahas parlemen untuk diratifikasi, dan hanya kelompok kecil yang menolak perdamaian dan menempuh jalan radikal.
"Mereka adalah pendukung Khilafah Islamiyah Mindanao. Sejak 2012 mereka sudah menggunakan bendera khilafah yang kini dipakai kelompok ISIS dan disebarkan melalui media internet. Simpatisan yang tertarik biasanya mengalami keterbatasan interaksi sosial dan sempitnya pemahaman agama," kata Banlaoi.
Presiden IBS Prof Abhoud Syed M. Lingga, selaku penyelenggara menyambut hangat masukan dari berbagai pihak.
Apalagi, kata dia, dalam forum itu hadir perwakilan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina dan Komisi Anti-Terorisme yang turut mendukung proses perdamaian.
Forum itu juga didukung delegasi Uni Eropa untuk Filipina dan "Center for Humanitarian Dialogue".
"Dialog antarpihak bersengketa akan mencapai titik kompromi, sementara program kesejahteraan dan pendidikan inklusif meredakan gejala radikalisme sejak dini," kata Lingga.
Program kesejahteraan dan kontrol informasi cegah radikalisme
Sabtu, 4 Oktober 2014 10:27 WIB