Bogor,(Antara) - Perbincangan kita mengenai rekonsiliasi nasional -- seperti telah mulai dipaparkan dalam tulisan terdahulu (Rekonsiliasi Nasional: Suatu Kebutuhan) -- hendaknya tidak kita maknai secara sempit sebatas "cipika-cipiki" antara Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta di depan ribuan kamera media masa.
Tolong pula jangan kita batasi hanya untuk meredakan suhu politik pascapengumuman hasil Pilpres pada tanggal 22 Juli 2014 nanti.
Pemikiran rekonsiliasi nasional hanya sebatas hal tersebut di atas bukanlah hanya akan menggambarkan sangat rendahnya pemahaman kita tentang akar berbagai permasalahan beserta rentang "domino effect" yang telah terjadi selama ini, melainkan juga hanya akan menipu diri kita sendiri serta hanya akan menimbun dan
mengaktifasi semakin banyak "bom waktu" untuk anak cucu bangsa ini hingga tujuh keturunan nanti (150-200 tahun ke depan).
Perenungan tentang kebutuhan rekonsiliasi nasional setidaknya harus kita lakukan mencakup tiga ruang berfikir yang berbeda, yaitu pada ruang akar permasalahan di masa lalu, pada ruang dinamika realitas dewasa ini, serta yang terakhir pada ruang prediksi kondisi dan kebutuhan visi dan misi di masa depan.
Bencana Informasi-Komunikasi
Ketika menelusuri permasalahan masa lalu, banyak di antara kita yang malah terperangkap dalam "bencana informasi" yang terjadi sejak 15 tahun terakhir sesudah reformasi.
Sebagian di antara kita menjadi antipati terhadap "kekacauan informasi" dan sebagian lainnya malah ikut menjadi pelaku "kejahatan informasi".
Meskipun telah tersedia banyak metoda positifisme yang bisa kita pakai untuk menguji, memilah dan milih informasi, namun kemampuan kita dalam menemukan benang merah kebenaran dari informasi yang ada tersebut juga akan sangat ditentukan oleh kebenaran "fakta", kelengkapan dan validatas "data", kejujuran "informasi" serta kapasitas "ruang akal" dan "ruang ilmu" yang kita miliki. Itu pun dalam fase komunikasi kita semua masih harus berhadapan dengan permasalahan tujuh pola distorsi komunikasi.
Lebih dari itu, dalam mencari kebenaran informasi, perlu kita sadari bahwa kecepatan kita mengumpulkan informasi adalah akan selalu tertinggal setidak-tidaknya selama delapan jam/hari (yaitu selama kita melakukan berbagai "existence activities") dibandingkan dengan kecepatan timbul dan beredarnya informasi.
Atas hal itu, marilah kita bayangkan bencana apa yang akan kita dapatkan jika hanyut dalam "bencana informasi" yang sedang terjadi saat ini.
"Got Spot"
Untuk menghidari diri dari kesesatan yang ditimbulkan oleh bencana informasi tentang perjalanan sejarah politik bangsa kita di masa lalu, kiranya kita perlu melengkapi diri dengan penguasaan ruang ilmu "got-spot".
Metoda ini telah diteliti, dibahas dan dibuktikan secara ilmiah dan dinyatakan benar serta berguna sebagai kapasitas dasar manusia sejak puluhan tahun lalu, serta telah dicuatkan pula secara terbuka sejak 2-3 dekade lalu.
Sedangkan dalam bentuk "local wisdom", sesungguhnya ruang ilmu "got spot" telah tumbuh subur selama ribuan tahun pada bangsa kita, yang salah satunya masih dengan mudah bisa kita kenali melalui kompetensi ruang ilmu "alun ta kilek alah ta kalam" (belum terlihat sudah terbaca/dipahami) pada masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat.
Ketika "ilmu modern" yang didominasi oleh aliran positifisme kinerjanya berlandaskan pada besar/kecilnya kapasitas analisa dan sintesa dari "ruang akal", maka ilmu "got spot" kinerjanya adalah berlandaskan energi "ruang qalbi" yang pasti dimiliki oleh seorang anak kecil sekali pun.
Penguasaan ruang "got spot" (di samping penguasaan ruang "positifisme") adalah ibarat pemberdayaan serta pengintegrasian "ruang akal" dan "ruang qalbi" manusia secara optimal.
Ruang qalbi manusia akan menumbuhkan dan mengoptimasi kapasitas "ilmu", sedangkan ruang akalnya hanya akan banyak menata dan mengoptimasi kapasitas "pengetahuan"nya.
Di sisi lain, pada tingkat terendah kinerja "got spot" secara sederhana dapat diamati melalui dinamika intuisi manusia. Pada tingkat menengah dapat kita rasakan melalui berbagai keindahan "energi-nurani" yang diartkulasikan dalam bentuk ucapan serta tindakan yang bermanfaat, sedangkan pada tingkat tertinggi kinerjanya diindikasikan oleh berbagai "kekuatan got-spot" ("supra-capacity) yang mewujud di luar alam sadarnya dan/ataupun di bawah kendali alam sadarnya.
Berbagai studi "human psychology" modern telah menunjukan bahwa kualitas dan kuantitas kinerja "got-spot" adalah jauh lebih produktif dan akurat dari kinerja analisa dan sintesa alam akal manusia.
Khilaf Politik
Di antara sekian banyak catatan sejarah berpolitik, berbangsa dan bertanah air yang kita miliki sejak kemerdekaan hingga saat ini, maka barangkali setidaknya kita perlu merenungkan empat bentuk khilaf politik yang telah kita lakukan bersama, yaitu (1) pengkhianatan dan penghujatan, (2) Pengingkaran dan pembiaran, (3) Mendewakan bangsa lain, serta (4) pongah dan kepala Batu.
Jika kita renungkan secara mendalam, maka mudah-mudahan kita semua bisa sepakat bahwa keempat bentuk khilaf politik tersebut adalah bersumber dari hilangnya kekuatan "got-spot" dalam diri kita masing-masing.
Keberadaan "akal" (sebagai kelebihan manusia dari semua makhluk lain) memang masih kita miliki, namun keputusan sikap dan pola bertindak kita sudah melebihi kejamnya harimau yang tidak pernah memakan anaknya sendiri.
Pengkhianatan-Penghujatan kepada Pemimpin
Khilaf politik telah menjadikan kita mengkhianati proklamator dan banyak pemimpin-pemimpin bangsa kita. Terlepas dari adanya khilaf ataupun salah beliau semua sebagai manusia biasa atau pemimpin kita, maka selama ini kita telah beramai-ramai mengkhianati dan menghujat mereka semua di luar ruang perikemanusian dan keadilan sama sekali.
Bung Karno telah kita khianati dengan cara membiarkan adanya oknum dan bangsa asing yang terus merendahkan dan menghujat beliau hingga hari ini, entah melalui propganda politik yang dibungkus dengan berbagai judul studi-ilmiah maupun melalui propaganda strategis berbentuk produk dan misi kebudayaan serta seni.
Api dalam sekam pun masih terus disulutkan dan dihembus-hembuskan agar selalu tercipta "dendam" pribadi/kelompok antara Orde Lama dan Orde Baru.
Kita juga telah munafik dan berstandar ganda dalam banyak hal.
Pak Harto telah dikhianati, lalu kita hujat pula dengan tidak berperikemanusian dan berkeadilan sama sekali, sedangkan para "anak-emas"nya malah kita jadikan "The Lovely Mr. Clean".
KH Abdurrahman "Gus Dur" Wahid pun, sebagai Guru Bangsa, telah kita "perdaya dan paksa" untuk menerima jabatan "bola panas", tapi kemudian kita setujui pula nafsu oknum tertentu yang dengan licik telah memaksa Gus Dur untuk turun kembali.
Presiden SBY yang telah mengintroduksikan "politik santun" pun tak luput menjadi korban dinamika penghujatan akibat berbagai pengkhianatan yang dilakukan oleh banyak pihak, termasuk oleh "anak didik"nya sendiri.
Dalam aspek lain, dunia bukan hanya telah menyaksikan betapa bodohnya bangsa kita dalam membiarkan pelaksanaan referendum secara lokal di Timor Timur, tapi juga telah meludahi muka kita dengan mengatakan bahwa bangsa dan negara kita sebagai penjajah Timor Timur.
Tidak cukup sampai di situ, jaringan politik dunia pun telah berhasil menjadikan kita sangat bernafsu untuk menyerahkan para "panglima perang" penjaga garda bangsa kita untuk diadili oleh masyarakat internasional di pengadilan HAM.
Lebih jauh, kita tidak pernah mengeluarkan setetes air mata pun atas luka hati dan penderitaan ribuan janda dan yatim Seroja, tapi kita malah ikut menangis tersedu-sedan melihat film drama keluarga yang didramatisir untuk menjadi melankolis picisan melalui promosi besar-besaran.
Jika kita renungkan, nampaknya kita semua tidak saja telah terlalu bodoh untuk menyuburkan tumbuhnya "politik-khianat" dan "politik-penghujantan" bagi anak cucu kita, melainkan juga ibarat telah (maaf) mengencingi dan memancung kepala orang tua kandung kita sendiri dalam banyak hal.
Bukankah ketika anak ayam kehilangan induk maka musang dan elang akan berpesta pora?
*)Salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo), saat ini Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB
Rekonsiliasi Nasional: Khilaf politik yang harus diperbaiki (bagian satu)
Selasa, 22 Juli 2014 14:39 WIB