Jakarta (ANTARA) - Baru-baru ini, Haul Gus Dur kembali digelar. Acara ini bukan hanya mengenang sosok besar, tetapi juga menghidupkan lagi pesan penting tentang kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa.
Di tengah situasi ketika kekerasan, diskriminasi, dan ketimpangan masih sering terjadi, haul menjadi pengingat bahwa politik semestinya berangkat dari kepedulian pada manusia, terutama mereka yang paling sering dipinggirkan.
Kerinduan pada Gus Dur muncul bukan tanpa alasan; karena keteladanan yang terasa semakin langka.
Gus Dur dikenal sebagai “Bapak Kemanusiaan” karena keberpihakan tidak berhenti di kata-kata. Pembelaan terhadap kelompok lemah, kelompok minoritas, korban ketidakadilan, dan orang-orang yang distigma dilakukan dengan sikap tegas, sekaligus tetap menghormati perbedaan. Martabat manusia selalu ditempatkan sebagai dasar untuk menilai benar atau tidaknya sebuah kebijakan.
Nilai yang diwariskan Gus Dur yang juga tokoh Nahdlatu Ulama (NU) ini perlu diteruskan menjadi sikap dan tindakan. Politik harus kembali menjadi jalan untuk melindungi yang tertindas, membuka ruang bagi yang dibungkam, dan merawat persaudaraan, tanpa memaksa keseragaman.
Kemanusiaan
Kemanusiaan dalam politik ala Gus Dur terlihat dari tindakan yang bisa diraba, bukan sekadar pidato. Dalam Haul ke-16 Gus Dur di Ciganjur, Jakarta, misalnya, panitia membuka donasi kemanusiaan untuk warga terdampak bencana di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh.
Donasi itu diarahkan untuk kebutuhan paling mendasar, yakni logistik dan terutama air bersih, termasuk rencana dropping air, pengaktifan kembali sumur-sumur, lalu penyaluran lewat relawan GUSDURian di lapangan. Langkah seperti ini menunjukkan warisan yang terus dihidupkan: keberpihakan pada kaum lemah dimulai dari kebutuhan paling konkret, bukan dari slogan besar.
Teladan kemanusiaan pun tampak dalam kebijakan yang pernah diambil saat Gus Dur menjabat. Sejumlah kebijakan diskriminatif yang menekan warga Tionghoa dicabut, termasuk ruang perayaan Imlek yang kembali dibuka dan pengakuan terhadap Konghucu sebagai agama yang diakui negara.
Di sektor kebebasan sipil, pembubaran Departemen Penerangan pada 1999 sering disebut sebagai penanda penting pembukaan ruang pers dan ekspresi setelah era pembatasan panjang. Semua langkah itu berpijak pada satu ukuran sederhana: martabat manusia tidak boleh kalah oleh selera kekuasaan dan ketakutan politik.
Dalam isu Papua, contoh konkretnya. Bahkan lebih jelas karena berhadapan langsung dengan persoalan identitas, kekerasan, dan rasa dipinggirkan.
Pendekatan yang sering disebut “kewarganegaraan bineka” dijalankan melalui langkah-langkah yang berani: penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua, pembolehan pengibaran Bintang Kejora sebagai simbol kultural, dengan syarat berada di bawah Merah Putih, pembebasan tahanan politik melalui Keppres 173/1999 (termasuk abolisi bagi puluhan narapidana politik), hingga pembukaan ruang dialog melalui Kongres Rakyat Papua (KRP) II.
Di level pemerintahan, keterlibatan orang Papua juga didorong, tercermin dari masuknya tokoh Papua dalam kabinet pada masa itu, bersamaan dengan dorongan penyusunan rancangan Otonomi Khusus Papua sebagai jalur politik yang lebih bermartabat.
Contoh-contoh tersebut memperlihatkan satu benang merah: kemanusiaan, menurut Gus Dur, berarti keberanian membela yang tersisih, sekaligus kesediaan memberi ruang pada perbedaan, tanpa mengoyak persaudaraan. Warisan semacam ini relevan karena kekerasan, diskriminasi, dan ketimpangan masih nyata.
Kemanusiaan tidak cukup diperingati, tetapi perlu diterjemahkan menjadi langkah yang melindungi korban, memulihkan hak, dan menghentikan stigma, sebagaimana pernah dicontohkan, lalu terus dihidupkan dalam praktik solidaritas, seperti haul dan gerakan kemanusiaan.
Menjaga warisan
Menjaga warisan Gus Dur berarti merawat nilai, bukan mengultuskan sosok. Warisan itu hidup, ketika keberanian moral tetap dipelihara dalam menghadapi ketidakadilan, sekalipun tekanan datang dari arus mayoritas atau kekuasaan.
Gus Dur mewariskan sikap untuk tidak tunduk pada ketakutan politik dan tidak menukar kemanusiaan dengan rasa aman semu. Nilai inilah yang perlu terus dijaga agar ruang publik tidak kehilangan nurani.
Warisan tersebut pun menuntut konsistensi dalam memihak mereka yang dilemahkan oleh sistem. Kemanusiaan bukan agenda musiman, melainkan komitmen jangka panjang yang diuji dalam kebijakan, sikap, dan keberanian bersuara. Ketika diskriminasi dibiarkan, kekerasan dinormalisasi, atau kritik dibungkam, di situlah warisan Gus Dur sedang dipertaruhkan.
Menjaga warisan Gus Dur tetap hidup, berarti menjaga arah perjuangan bersama, pun harus berpihak kepada mereka yang lemah dan termarginalkan. Kemanusiaan harus tetap menjadi kompas dalam kehidupan berbangsa, bukan hanya jargon atau simbol peringatan tahunan.
Selama nilai itu terus diperjuangkan secara konsisten, warisan Gus Dur tidak akan pudar oleh waktu, melainkan tumbuh dalam praktik dan keberanian nyata.
Gus Dur tidak mewariskan rumus politik yang rumit, melainkan keberanian untuk tetap waras di tengah situasi yang sering kehilangan akal sehat. Warisan itu mengajarkan bahwa membela manusia adalah ibadah paling jujur, bahwa perbedaan tidak perlu ditakuti, dan bahwa kekuasaan, tanpa kemanusiaan, hanya akan melahirkan luka.
Selama keberanian untuk tertawa di tengah tekanan, bersikap tegas tanpa membenci, dan membela yang lemah tanpa pamrih masih dirawat, Gus Dur tidak pernah benar-benar pergi, persis seperti ucapannya yang sederhana, santai, tetapi menohok: "Gitu saja kok repot".
*) Raihan Muhamad merupakan pegiat hak asasi manusia, pemerhati politik dan hukum
