Bogor (Antaranews Megapolitan) - Pada Januari 2018 pemerintah Indonesia memberlakukan implementasi pelarangan penuh terhadap penggunaan Antibiotic Growth Promoter /AGP (antibiotik imbuhan pakan). Hal ini dilatarbelakangi adanya isu global terkait resistensi anti mikroba yang saat ini menjadi ancaman transnasional tanpa mengenal batas geografis dan berdampak pada kesehatan masyarakat, hewan dan lingkungan.
Dalam Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York pada 21 September 2016, para pemimpin dunia menyatakan deklarasi politik untuk mengendalikan resistensi anti mikroba.
“Saat ini tercatat setidaknya sekitar 50 ribu jiwa manusia setiap tahun menjadi korban resistensi terhadap anti mikroba di Eropa dan Amerika Serikat. Ini belum terhitung di luar Eropa dan Amerika Serikat,” ucap Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diwakili oleh Ni Made Ria Isriyanthi dalam Seminar Peran Dokter Hewan dalam Membangun Ketangguhan Industri Peternakan Modern, Rabu (12/12) di IPB International Convention Center.
Langkah-langkah upaya pengendalian terhadap bahaya resistensi anti mikroba dilakukan dengan pembatasan penggunaan antibiotik di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang No 18 Tahun 2009 Pasal 22 Ayat 4 bahwa setiap orang dilarang menggunakan pakan yang dicampur hormon tertentu dan atau antibiotik.
Sementara itu, Muhammad Munawaroh, MM, Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) menyampaikan bahwa ini merupakan tanggungjawab dokter hewan. Untuk itu dokter hewan harus mulai memfungsikan keprofesian ini di lapangan. Salah satu poin bahwa sebagai dokter hewan harus melaksanakan yang menyangkut technical service produk.
“Seorang dokter hewan terikat sumpah seharusnya memahami dan mengamalkannya. Dokter hewan harus berperan dalam pengawasan penggunaan obat hewan baik untuk pelaku usaha peternakan maupun masyarakat. Seringkali penggunaan obat-obatan dalam usaha peternakan hampir tidak dapat dihindarkan karena ternak harus dapat berproduksi secara optimal. Pada umumnya dokter hewan dapat memberikan pemahaman kepada pelaku usaha peternakan. Peranan dokter hewan sangat dibutuhkan dalam pengawasan penggunaan obat hewan juga pengawasan peredaran obat hewan ilegal. Belum lagi penggunaan obat hewan yang tidak terkontrol, juga risiko resistensi antibiotik pada hewan dan manusia,” jelas Muhammad.
Ketua Panitia, Dr.drh. Andriyanto MS, menyampaikan pertemuan kali ini dirintis oleh Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia (AFFAVETI). Ke depan AFFAVETI ini akan menjadi partner pemerintah, mitra dari bisnis swasta, mitra bagi peneliti bidang farmakologi farmasi veteriner.
Kita juga akan menjalin komunikasi ilmiah antara akademisi, bisnis dan goverment, supaya ke depan nilai bisnis ituberdasarkan kajian ilmiah. AFFAVETI akan menjadi bagian mencari solusi permasalahan bangsa. Pertemuan ini jadi titik awal untuk mencari berbagai macam solusi permasalahan bangsa di bidang obat hewan.
Dalam acara ini juga sekaligus dilantik Badan Pengurus AFFAVETI yang merupakan Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) yaitu Dr. Drh. Min Rahminiwati, MS (Ketua umum), Dr. drh. Agustin, MS (Ketua 2), Dr. drh. Andriyanto, MSi (Ketua 3) dan Drh. Huda S. Darusman, MSi, PhD (Sekretaris).
Acara merupakan hasil kerjasama AFFAVETI bekerjasama dengan Divisi Farmakologi dan Toksikologi FKH IPB, Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veterier Indonesia, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia, Divisi Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI. (dh/ris)
Dokter hewan siap awasi penggunaan obat hewan untuk pelaku usaha peternakan dan masyarakat
Jumat, 28 Desember 2018 10:14 WIB
Seorang dokter hewan terikat sumpah seharusnya memahami dan mengamalkannya.