Bogor (Antaranews Megapolitan) - "Aku termasuk orang yang beruntung, Allah masih menyayangiku di saat tujuh temenku hilang tertimbun reruntuhan gedung hotel itu," kata Hening Pradigma (32) ketika mengingat bencana alam dialaminya di Palu, belum lama ini.
Begitu Hening Paradigma mengingat kejadian gempa 7,4 Skala Richter (SR) disertai tsunami yang mengguncang Palu, Donggala, dan Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, Jumat (28/9) petang.
Kehilangan terbesar ia rasakan, ketika teman terbaiknya sesama atlet paralayang ikut menjadi korban dahsyatnya bencana alam itu.
"Ardi Kurniawan sosok teman yang sangat berjasa, karena dia memberikan informasi ke aku pada saat kritis sehingga kita bisa memperoleh medali di Asian Games," kenang Hening saat ditemui di Bogor, Kamis (4/10) malam.
Jenazah Ardi Kurniawan, atlet paralayang asal Malang, Jawa Timur, ditemukan di antara reruntuhan gedung Hotel Roa-Roa, Selasa (2/10), pukul 10.00 Wita.
Jenazah Ardi merupakan ketiga dari tujuh atlet paralayang yang dinyatakan hilang pascagempa dan tsunami Palu, ditemukan oleh tim evakuasi Badan SAR Nasional (Basarnas). Tim evakuasi melakukan pencarian menggunakan alat berat di puing-puing Hotel Roa-Roa.
Selain Ardi, ada Petra Mandagi, Glen Mononutu, Franky Kowas, Serda Fahmi, Dong Jin Lee juga ditemukan tidak bernyawa di antara puing-puing hotel pada hari berikutnya.
Duka Palu tidak hanya menghantam Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) karena kehilangan tujuh atlet terbaiknya, akan tetapi juga menjadi duka bangsa ini, bersama 1.424 warga yang tewas diguncang gempa dan digulung tsunami.
Dahsyatnya gempa
Hening mencoba mengingat betapa dahsyatnya gempa yang dirasakannya beberapa hari lalu, saat dirinya tengah berada di Palu untuk mengikuti kejuaraan paralayang lintas alam atau cross country (Xc) Festival Palu Nomoni yang diselenggarakan dalam rangka Hari Jadi Kota Palu pada 2018.
Ia sudah berada di Palu sejak 26 September. Sejatinya perlombaan yang diikiti sekitar 30 atlet dari Indonesia dan tiga negara lainnya, yakni Belgia, Singapura, dan Korea Selatan ini, berlangsung pada 25-30 September 2018.
Pada Jumat (28/9) itu, hari ketiganya berada di Palu, menyelesaikan babak kedua perlombaan dengan waktu yang cepat sebelum shalat Jumat. Ia mendarat di Pantai Taman Ria, Palu, lalu menyimpan parasutnya di sekretariat paralayang.
Jumlah atlet pun melaksanakan shalat Jumat, sebelum perlombaan ditutup, dan rencananya dilakukan esok harinya. Cuaca siang itu cukup panas, sesuai kondisi Kota Palu di wilayah pantai.
Panitia penyelenggara berencana mengajak para atlet menikmati panorama Kota Palu menuju Pantai Tanjung Karang. Sejumlah atlet setuju ikut. Berbeda dengan Hening yang memilih untuk "solo traveling" dengan rekreasi ke pusat kota.
"Saya sudah pernah ke Pantai Tanjung Karang, jadi saya memilih jalan-jalan ke kota, rencananya mau `refreshing` nonton di mal terdekat," kata pria asal Semarang ini.
Sebelumnya menuju mal, Hening kembali ke penginapan yang terletak tidak jauh dari pusat kota bernama Hotel Borneo dengan konsep resort. Ia tinggal bersama lima atlet lainnya dalam satu kamar. Total ada 15 atlet dan kru yang menginap di hotel yang sama.
Ia sempat berencana menginap di Hotel Roa-Roa karena biayanya lebih murah dibandingkan dengan Hotel Borneo. Tetapi niatnya itu urung, demi rasa setia kawan yang sudah mengajaknya menginap di Hotel Borneo.
"Akhirnya saya memutuskan menginap di Hotel Borneo, walau sebenarnya lebih memilih di Hotel Roa-Roa," katanya.
Sekitar pukul 14.00 WIB, gempa dengan skala kecil lebih dahulu mguncang Kota Palu. Meskipun dampak gempa itu tidak begitu signifikan, di percakapan grup media sosial atlet paralayang mengatakan bahwa gempa tersebut membuat dinding Hotel Roa-Roa retak.
Informasi ini disampaikan oleh Dong Jin Lee, atlet Korea Selatan melalui grup whatsapp atlet Paralayang Palu Nomoni 2018, siang itu.
Tidak ada firasat akan terjadi gempa lanjutan, para atlet melanjutkan aktivitas menghabiskan sore. Ada yang memilih istirahat di hotel, jalan-jalan mencari makan, dan rekreasi ke pusat perbelanjaan.
Dengan mengenakan sandal, Hening menuju Grand Mall Palu, pukul 15.00 Wita. Mal tersebut berada di samping Masjid Baitussalam Palu dengan kubah megah didominasi warna hijau.
Ia sempat menunaikan shalat r di tempat itu untuk kemudian masuk mal untuk nonton. Melihat jadwal film yang ada di antara waktu shalat maghrib dan isya, Hening mengurungkan niatnya dan memilih luntang-lantung menjelajah isi mal sambil membaca e-book dari telepon selulernya.
Pukul 17.00 WIB, getaran hebat terjadi. Seluruh bangunan berguncang, bahkan kaca-kaca ruangan di dalam pusat perbelanjaan berlantai lima itu pecah seketika. Guncangan yang cukup kuat terjadi tiba-tiba memorak-porandakan isi gedung.
Seketika listrik padam, bunyi bumi bergetar, suara gemuruh membahana, gedung bergoyang layaknya balerina, pengunjung mal sontak berteriak histeris. Ada yang berlutut ke lantai, ada yang berlarian kocar-kacir, dan mencari jalan menyelamatkan diri.
"Di saat itu saya berpikir satu hal, kematian sudah dekat," kata lulusan Teknik Industri Universitas Trisakti itu.
Di tengah kekalutan, kepanikan orang-orang dalam pusat perbelanjaan, pemegang rekor MURI penerbang terjauh sejauh 109 km pada 2012 ini, memilih antara mati tanpa berbuat apa-apa atau mati dalam keadaan berjuang untuk keluar dari bencana.
Ia lantas memutuskan untuk berjuang melawan gempa dengan menyusuri lantai mal yang berguncang, menuruni tangga eskalator yang sudah tidak bergerak lagi, dengan penerangan seadanya dari sinar matahari yang mulai meredup.
Selama menuruni tangga, ia tidak melihat adanya tangga darurat maupun petunjuk arah bagi situasi darurat seperti bencana. Ia memilih menuruni tangga demi tangga dari lantai lima menuju pintu utama.
Dalam upaya menyelamatkan diri, berlari di antara gempa, menggores luka di kakinya, Hening dan sejumlah warga akhirnya sampai di lantai dasar.
Sebagai pendatang ia tidak mengenal medan, mencoba bertanya kepada warga yang lalu lalang dengan muka penuh kepanikan. Tak ada jawaban ia temukan. Warga hanya berlalu panik, berupaya menyelamatkan diri masing-masing.
Di tengah kebingungan dan kepanikan, gelombang pengunjung mal terlihat berlari keluar melewati sebuah lorong. Hening ikut membaur bersama rombongan hingga akhirnya berhasil mencapai luar.
Kabut bertebaran di mana-mana, luluh lantak, ribuan warga berlarian, berteriak histeris, menjadi pemadangan pertama yang dilihatnya setelah terbebas dari maut dalam pusat perbelanjaan.
Masjid Baitusallam Palu berada persisi di samping mal yang tadi berdiri kokoh, berubah pemandangan. Kubahnya ambles, menaranya ambruk ke tanah. Hilang sudah kemegahannya. Rasa syukur menyelimuti hati Hening dan merasa Allah sangat menyayangi dirinya karena bisa selamat dari dasyatnya gempa.
"Saya lalu mengabadikan momen di depan Masjid Baitulssallam dengan `selfie` (swafoto), sebagai wujud rasa syukur saya masih diberi keselamatan di tengah gempa yang dasyat," katanya beralasan.
Sekitar dua menit berselang selamat dari maut, Hening tersadar mendengar teriakan warga yang berkata, "air-air", sambil menujuk ke arah pantai. Posisi mal memang berada di pinggir pantai, jaraknya sekitar 200 mter dari garis pantai Kota Palu.
Hening memutuskan ikut gelombang warga yang bergerak lari menuju arah tertinggi di kota itu. Beruntung di tengah jalan ada mobil bak terbuka yang bersedia menawarkan tumpangan.
Di dalam mobil sudah ada seorang nenek berusia sekitar 70 tahun, kepalanya banyak mengeluarkan darah, akibat luka robek setelah diterjang gempa. Tubuhnya kurus, ringkih, menahan sakit selama di perjalananya. Banyak warga mencoba menumpang mobil itu, hingga akhirnya penuh diisi sekitar 15 orang.
Wajah-wajah penumpang mobil bak terbuka berwarna putih itu, ada yang menangis, kebingungan, dan ketakutan. Sepanjang jalan menuju tempat pengungsian, banyak warga berupaya menumpang, akan tetapi mobil terus melaju menghindari terjangan tsunami.
"Yang kulihat suasana keos, lautan warga keluar berlarian, bergerak menuju arah perbukitan, rumah-rumah ambruk, jalanan retak, bahkan bergelombang," katanya.
Warga panik berlarian, cemas, ketakutan. Ada yang bertelanjang kaki, naik sepeda motor dan kendaraan lainnya. Kepanikan membuat warga tidak memedulikan kondisinya bahkan pakaiannya. Seorang anak kecil menangis menjerit bertelanjang dibawa lari ibunya menjauh dari rumahnya.
"Satu hal yang saya pelajari, begitu tidak mudahnya bagi warga menghadapi bencana. Mereka belum terlatih menghadapi situasi darurat sehingga lebih mengedepankan kepanikan dan menyampingkan rasionalitas," katanya.
Empat Jam
Bersama dengan warga, Hening berdiam diri selama beberapa saat di pengungsian, di dataran tertinggi Kota Palu. Kurang lebih empat jam lamanya ia mencoba membantu nenek tua yang kepalanya berdarah, menutup lukanya untuk menghentikan perdarahan.
Tidak ada peralatan kesehatan, tidak pula ada perlengkapan untuk bertahan hidup dari bencana. Warga juga sibuk mengurus diri masing-masing.
Selama di pengungsian, Hening sempat memberi kabar ke teman-teman atlet dan panitia melalui grup percakapan WA, lalu menghubungi kedua orang tuanya, meminta maaf dan minta untuk diikhlaskan kesalahannya.
"Bapak saya hanya bilang zikir," katanya.
Dengan kapasitas baterai telepon seluler yang tinggal 15 persen, Hening mencoba untuk mengumpulkan informasi, mengatur strategi untuk bisa bertahan sesuai arahan pantia lomba, agar para atlet berupaya menyelamatkan diri masing-masing.
Pukul 21.30 Wita, setelah yakin situasi aman, Hening mencoba turun dari pengungsian. Hal itu terpaksa dilakukan karena daya baterai teleponnya tinggal tiga persen, sementara tidak ada jaringan listrik yang mendukung. Ia memutuskan kembali ke penginapan.
Sebelum berangkat, dengan sisa baterai yang ada, Hening mencoba mengukur jarak tempuh dari lokasi pengungsian ke hotel yang hanya sekitar empat kilometer. Ia pun memilih turun berjalan kaki.
Selama di perjalanan kembali ke hotel, suasana mencekam, gelap, ketakutkan warga masih terasa, sibuk menyelamatkan diri, ada yang mencari anak dan istri, sanak hingga famili. Sepanjang perjalanan, hampir semuanya rumah luluh lantak, kerusakan di mana-mana.
Sekitar pukul 22.00 Wita, Hening berhasil sampai hotel yang tidak berpenghuni. Ia mencoba mengevakuasi barang bawaannya dari dalam kamar hotel, bahkan hampir membobol pintu kamar hotel karena tidak membawa kunci.
Beruntung ada petugas hotel membantu mencari kunci cadangan di loket penyimpanan, bersama dengan itu petugas menyalakan genset untuk penerangan hotel.
Hening mengumpulkan semua barang bawaan, yang utama adalah peralatan untuk bertahan dalam bencana, helm pelindung kepala, senter, alat komunikasi handy talky, dan mengganti sandal dengan sepatu boot yang dimilikinya. Ia juga mengambil perlengkapan P3K, lalu mengumpulkan obat-obatan yang ada di kamar hotel, termasuk milik temannya.
Malam itu, jaringan komunikasi sudah terputus, terutama pengguna Telkomsel. Beruntung satu provider telepon masih memiliki jaringan, Hening mencoba menghubungi tim dan orang tuanya menginformasikan kondisi dan lokasinya terakhir.
Sambil menunggu tim evakuasi dari panitia parlayang, Hening membantu pegawai hotel yang ingin menghubungi sanak saudaranya, meminjamkan telepon seluler bergiliran dipakai oleh lima orang.
Tak lama rselang, Asegaf selaku manajer perlombaan datang menjemputnya menuju posko kedua pengungsian pada atlet paralayang. Ada sekitar 20 atlet berkumpul di posko itu pada Jumat (28/9) malam.
Kelaparan mulai melanda, tidak ada pedagang, warung nasi yang buka, pemilik toko tidak berani menjual barang dagangannya. Dengan memelas dan terpaksa, akhirnya bersedia menjual barang dagangannya.
Setelah mengumpulkan bahan makanan, tim atlet paralayang mencari bahan bakar untuk transportasi menuju posko kedua. Pukul 23.00 WIB, sekitar 20 atlet telah tiba di posko kedua.
Sejak gempa dan tsunami berlalu, panitia kehilangan kontak tujuh atlet lainnya bersama tiga pendukung acara yang menginap di Hotel Roa-Roa.
Pagi berselang, Sabtu /9), panitia telah merencanakan kepulangan atlet paralayang yang berhasil selamat dari gempa menuju rumah masing-masing. Sembari menelusuri keberadaan tujuh atlet dan tiga kru yang tertimbun di Hotel Roa-Roa.
Para atlet pun dipulangkan menggunakan pesawat Hercules dari Bandara Mutiara Sis al Jufri, Kota Palu menuju Makassar, termasuk Hening di dalamnya.
Kehilangan terbesar
Ketua Paralayang Indonesia Wahyu Yudha mengatakan tujuh atlet paralayang yang menjadi korban gempa dan tsunami di Palu sebagai kehilangan terbesar bagi organisasi olahraga aero sport Indonesia.
"Mereka yang gugur bukan hanya atlet terbaik yang dimiliki Indonesia, tetapi pionir paralayang di daerahnya masing-masing, seperti Ardi Kurniawan dan Reza Kambey adalah andalan kita," katanya.
Ardi Kurniawan dan Reza Kambey adalah atlet Malang, Jawa Timur yang masuk dalam Pelatnas Asian Games 2018 sebagai tim pendukung tim nasional Indonesia.
Paralayang menjadi kejuaraan yang diadalkan untuk merebut emas Asian Games Indonesia. Cabang ini berhasil menyumbangkan dua emas, satu perak, dan dua perunggu.
Pada kejuaraan Palu Nomoni, Ardi Kurniawan berhasil menempati peringkat pertama selama perlombaan. Kejuaran nomor lintas alam ini termasuk jarang sekali diadakan di Indonesia sehingga penting bagi atlet untuk meningkatkan kemampuan terbangnya.
Kejadian ini, kata dia, menjadi pembelajaran bagi semua, tidak hanya paralayang, tetapi juga bangsa Indonesia. Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) mencatat total ada 1.424 orang meninggal dunia, 2.549 orang luka-luka, 133 orang hilang, 70.821 orang mengungsi.
"Ini jadi pembelajaran kepada kita supaya bisa melakukan mitigasi bencana lebih awal lagi, kalaupun terjadi bencana sedapat mungkin jangan sampai banyak jatuh korban," kata Yudha.
Dalam pengalaman menghadapi gempa dan tsunami di Palu, warga menyelamatkan diri dengan cara masing-masing, mandiri, tanpa standar operasional dipelajari.
Termasuk pengalaman Hening Paradigma yang mencoba menyelamatkan diri dari dalam pusat perbelanjaan dengan minim petunjuk arah untuk situasi darurat.
Keberuntungan Atlet Paralayang selamat dari gempa-tsunami Palu
Jumat, 5 Oktober 2018 14:45 WIB
Aku termasuk orang yang beruntung, Allah masih menyayangiku, di saat tujuh temenku hilang tertimbun reruntuhan gedung hotel itu.