Jakarta (ANTARA) - Sore itu menunjukkan pukul 17.30 WITA saat ANTARA berkesempatan menyambangi kediaman seorang remaja perempuan disabilitas bernama Sofia (17).
Rumah kontrakan sederhana yang ia tinggali bersama orang tua dan kakeknya berada tak jauh dari sebuah pasar di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Ayahnya bekerja sebagai tukang ojek pangkalan, sekaligus penjual arang.
Sedangkan ibunda Sofia hanya bisa terbaring lemah di kasurnya karena mengalami disabilitas.
Sofia menjadi anak dampingan organisasi kemanusiaan Wahana Visi Indonesia (WVI) sejak ia kelas 3 sekolah dasar.
Sebenarnya pemenuhan hak pendidikan Sofia berjalan lancar hingga suatu hari takdir berkata lain.
Anak bungsu dari dua bersaudara ini mengalami disabilitas pada punggungnya sejak ia duduk di bangku SMP, yang diduga karena pengaruh genetik.
Seiring waktu kondisinya semakin memburuk hingga membuat Sofia sulit berjalan.
Akhirnya ia memutuskan berhenti sekolah pada kelas 11 SMA.
"Enggak ada teman yang bully (merundung), cuma malu saja fisikku begini," kata Sofia lirih.
Sekira dua tahun kemudian, WVI menawarkan Sofia untuk mengikuti Kejar Paket C. Namun ia menolak.
Kesempatan lain datang ketika WVI menawarinya kursus tata rias. Tawaran itu langsung disambut hangat oleh Sofia.
Ia mengaku terinspirasi dari berbagai video tutorial rias yang ia lihat di media sosial.
Kini, Sofia sudah mengikuti tiga dari 10 pertemuan kursus privat dengan guru tata rias.
Demi mengakomodasi keterbatasannya, sang ayah selalu menemani, sementara mobil WVI menjemputnya menuju lokasi kursus.
Sofia bercita-cita kelak bisa membuka salon rias. Harapannya, keterampilan ini dapat membuatnya berdaya dan mandiri di masa depan.
WVI mencatat per April - Juli 2025, ada 212 anak putus sekolah di tiga kabupaten/kota di Sulteng dengan rincian 68 anak di Sigi, 117 anak di Palu, dan 27 anak di Donggala. Dari jumlah itu, sebanyak 115 anak laki-laki dan 97 anak perempuan.
Dalam mengentaskan anak putus sekolah, WVI menggunakan pendekatan berlapis, dengan membujuk anak dan keluarga, konseling, berkolaborasi dengan pemerintah, serta mendampingi persiapan sekolah.
"Kita intervensi sesuai dengan kebutuhan. Kita kasih pilihan, kembali ke sekolah formal, atau ambil paket, atau peningkatan kapasitas. Tetapi mendorong mereka kembali ke sekolah formal paling diprioritaskan," kata Agustinus.
Tahun 2025 menjadi periode terakhir WVI melakukan intervensi di empat wilayah di Sulawesi Tengah dengan kegiatan yang berfokus pada advokasi perlindungan anak.
Meski demikian, perjuangan untuk menekan angka anak putus sekolah harus terus berlanjut melalui komitmen para relawan, pemerintah, dan sektor swasta.
Kisah Sofia dan Zaldin menjadi bukti nyata bahwa kepedulian bersama mampu membuka jalan bagi anak-anak di Sulawesi Tengah untuk meraih masa depan lebih baik melalui pendidikan formal maupun keterampilan hidup yang memberdayakan.
