Jakarta (ANTARA) - Jesselyne Aurelia Santoso boleh saja masih berstatus sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan angkatan 2022, tapi semangat, ketekunan, dan pandangan jauh ke depan yang ia tunjukkan seolah menegaskan bahwa kontribusi di dunia medis tidak harus menunggu gelar resmi dokter.
Dari ruang belajar dan laboratorium kampus, hingga ke panggung ilmiah bergengsi, ia berhasil menorehkan prestasi yang bukan hanya mengangkat namanya, tetapi juga membawa pesan inspiratif bagi mahasiswa kedokteran lain di Indonesia.
Kajiannya tentang penggunaan obat golongan SGLT2 inhibitor bagi pasien gagal jantung dengan berbagai tingkat kerapuhan membawanya meraih Juara Pertama kategori Oral Presentation dalam ajang The 7th Jakarta Nephrology Meeting 2025, sebuah forum ilmiah yang diselenggarakan oleh Divisi Nefrologi dan Hipertensi FKUI dan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Latar belakang penelitian ini berangkat dari kegelisahan terhadap kondisi nyata. Menurut data Kementerian Kesehatan, gagal jantung kini menjadi salah satu penyebab utama angka kesakitan dan kematian, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia.
Penyakit ini secara signifikan menurunkan kualitas hidup, terutama pada kelompok usia lanjut yang lebih rentan. Di tengah tantangan tersebut, dibutuhkan terapi yang lebih efektif, dan SGLT2 inhibitor muncul sebagai salah satu terobosan yang menjanjikan.
Bagi Jesselyne, temuan ini lebih dari sekadar angka atau grafik. Ia melihat adanya potensi nyata untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, sebuah capaian yang jauh lebih berharga daripada sekadar trofi atau penghargaan.
Keberhasilan itu tidak lahir tanpa usaha keras. Jesselyne merajut proses panjang penuh ketekunan, ditempa oleh dorongan rasa ingin tahu ilmiah yang tinggi, serta ditopang bimbingan dari para dosen pembimbingnya, antara lain Dr. dr. Theo Audi Yanto, Sp.PD, FINASIM, AIFO-K; Dr. dr. Andree Kurniawan, Sp.PD-KHOM, FINASIM; dan dr. Jeremia Immanuel Siregar, BMedSc, Sp.PD.
Menurut Dr. Theo, dedikasi Jesselyne terlihat jelas sejak ia mengisi libur semester dengan magang preseptor setiap hari dan mengikuti beragam kegiatan ilmiah.
Bagi Jesselyne, kemenangan di Jakarta Nephrology Meeting 2025 hanyalah satu episode dari perjalanan panjang menuju panggilan sejati sebagai seorang dokter.
Ia menegaskan bahwa ilmu kedokteran bukan sekadar soal kompetensi medis, tetapi juga soal empati, ketulusan hati, dan komitmen untuk terus belajar demi orang lain.
Dengan nada penuh keyakinan, ia menyampaikan bahwa mahasiswa tidak perlu menunggu hingga resmi menjadi dokter untuk memberi dampak nyata. Rasa ingin tahu, ketekunan, dan kepedulian yang ditanam sejak dini bisa menjadi benih dari inovasi medis yang akan menolong banyak orang di masa depan.
Kehadiran mahasiswa seperti Jesselyne di forum sebesar ini memperlihatkan bahwa semangat penelitian tidak mengenal usia atau tingkat pendidikan.
Justru keterlibatan mahasiswa memberi warna baru, menyuntikkan energi segar, sekaligus menunjukkan bahwa generasi muda mampu bersaing dan memberikan kontribusi nyata dalam percakapan ilmiah global.
Cerita Jesselyne menjadi semacam cerminan dari kekuatan kombinasi antara semangat pribadi, dukungan akademik, dan lingkungan yang kondusif.
