Jakarta (ANTARA) - Dewan Perwakilan Rakyat merespons desakan publik melalui gerakan "Tuntutan 17+8", dengan menetapkan enam poin keputusan.
Di antara enam poin keputusan tersebut adalah penghentian tunjangan perumahan bagi anggota DPR mulai 31 Agustus 2025, serta moratorium kunjungan ke luar negeri, kecuali untuk urusan kenegaraan yang jelas dan terverifikasi.
Dua isu utama yang menjadi sorotan publik adalah fasilitas perumahan dan perjalanan luar negeri, yang selama ini dianggap sebagai simbol kemewahan. Keputusan penghentian ini menjadi sinyal bahwa DPR mulai menyadari adanya ketimpangan antara fasilitas yang dinikmati dan realitas kehidupan rakyat yang mereka wakili.
Meski demikian, demonstran tetap menuntut kejelasan terkait mekanisme pengawasan dan implementasi kebijakan tersebut. Mereka khawatir keputusan ini hanya akan menjadi janji di atas kertas, terutama terkait definisi dan batasan kunjungan "kenegaraan" yang masih kabur.
Selain itu, tunjangan dan fasilitas lain, seperti biaya listrik, telepon, komunikasi intensif, dan transportasi juga dipangkas karena dinilai tidak esensial.
Salah satu keputusan yang dianggap paling signifikan adalah penonaktifan anggota DPR oleh partainya. Langkah ini dipandang sebagai tonggak penting, sebuah benchmarking menuju tatanan baru yang lebih akuntabel dan berintegritas di tubuh DPR.
Salah satu komitmen yang dicatat untuk memperkuat transparansi dan partisipasi publik adalah pembukaan mekanisme konsultasi publik melalui platform digital.
Langkah ini diharapkan bukan sekadar jargon yang mudah terlupakan, melainkan menjadi bagian dari reformasi yang visioner, konstruktif, dan strategis.
Masyarakat tidak menuntut pengumuman megah atau daftar keputusan yang terdengar manis. Yang dibutuhkan adalah perubahan nyata: efisiensi anggaran, peningkatan kualitas legislasi, dan wakil rakyat yang benar-benar mencerminkan suara serta hati nurani konstituennya.
Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa telah mengandalkan ekosistem teknologi informasi untuk memperkuat demokrasi. Di bawah kerangka Dewan Perdagangan dan Teknologi (TTC), mereka mengembangkan koordinasi lintas sektor, memperkuat rantai pasok teknologi, serta membangun tata kelola data dan platform digital yang aman.
Belajar dari kompleksitas gerakan "Tuntutan 17+8", pemerintah perlu mengadopsi kerangka solusi yang melampaui sekadar konsesi politik. Yang dibutuhkan adalah reformasi struktural yang inklusif, berbasis teknologi informasi, dan mampu menghadirkan komunikasi politik yang sehat dalam ekosistem demokrasi modern.
Salah satu opsi strategis adalah pengembangan kanal digital "Suara Rakyat 2.0" melalui platform e-Government. Super-app ini dirancang untuk mengintegrasikan aspirasi publik, isu strategis, dan program prioritas pemerintah secara holistik.
Berbeda dengan sistem pengaduan yang sudah ada, seperti LAPOR! dan Qlue, platform ini akan memanfaatkan analitik kecerdasan buatan (AI) untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan isu berdasarkan voting publik dan sentimen digital.
Integrasi dengan sistem e-Government memungkinkan pelacakan status tuntutan secara real-time, dari pengajuan, hingga penyelesaian.
Untuk merespons tuntutan reformasi penegakan hukum dan investigasi atas kekerasan oleh aparat, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan berbasis teknologi yang komprehensif. Salah satu langkah strategis adalah penerapan sistem smart policing yang terintegrasi, termasuk implementasi body cameras pada aparat, sebagaimana telah direncanakan sejak 2022.
Pendekatan ini tidak hanya memperkuat akuntabilitas institusi penegak hukum, tetapi juga berpotensi memulihkan kepercayaan publik yang selama ini terkikis. Dengan sistem yang transparan dan tahan manipulasi, masyarakat dapat kembali melihat aparat sebagai pelindung hukum, bukan ancaman terhadap keadilan.
Tuntutan jangka panjang, seperti pengesahan UU Perampasan Aset tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah semata. Diperlukan pembentukan “Task Force 17+8” yang melibatkan unsur pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta.
Gerakan “Tuntutan 17+8” menyimpan pelajaran penting bagi demokrasi Indonesia.
*) Dr Eko Wahyuanto adalah dosen di Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Komdigi Yogyakarta
