Jakarta (ANTARA) - Tergambar jelas dalam ingatan seorang Ai Yuliansah, ketika ia menyaksikan masjid yang sedang dalam pembangunan tiba-tiba digeruduk massa hingga dipasangi garis polisi.
Peristiwa itu terjadi 2021 silam, semasa pandemi getol mengadang kegiatan sosial. Sungguh disayangkan, konflik intoleransi terhadap kelompok Ahmadiyah di Garut itu justru tak henti terjadi.
Sebagai Ketua Lajnah Imaillah Kabupaten Garut, Ai mengamati betapa para anggota komunitas perempuan Ahmadiyah yang dipimpinnya itu merasakan ketidaknyamanan, kesedihan, kekecewaan, dan ketakutan sekaligus.
“Saya melihat para ibu mendekap anaknya. Mereka menangis, mereka bingung, mereka bertanya-tanya ada apa dan mengapa,” tutur Ai.
Menurut penuturan korban dalam penghentian paksa pembangunan masjid Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu tersebut, massa berasal dari kampung yang jauh, tak dikenali warga sekitar.
Kata Ai, peristiwa intoleransi semacam ini menghilangkan rasa aman bagi para korban. Trauma psikis mesti ditanggung, karena keseharian mereka diliputi waswas terutama jika ada kerumunan.
Kelompok Ahmadiyah juga tidak merasa nyaman ketika keberadaan mereka dianggap ancaman. Mereka jadi merasa selalu diawasi dan dicurigai. Bagi korban, hal ini terjadi secara halus, tapi menyakitkan.
“Padahal kami lahir dan besar di lingkungan itu, berinteraksi seperti warga lainnya,” kata Ai.
“Situasi seperti ini membuat perempuan Ahmadiyah sering merasa harus ‘menyembunyikan diri’, menahan diri untuk tidak terlalu banyak bersuara agar tidak semakin memancing perhatian,” dia menambahkan.
Namun, ketakutan itu tidak serta-merta menjadikan Ai dan komunitasnya menutup diri. Toleransi atas perbedaan harus dipupuk dan dirawat. Mereka teguh untuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Lajnah Imaillah tidak ingin berkutat dalam label “kelompok minoritas”. Mereka mengubah mindset karena yang diperlukan bukan memberi garis batas pada identitas, melainkan kemauan untuk hadir dan bersedia membuka pintu bagi orang lain.
Wujudnya bisa beragam, semisal keterlibatan aktif dalam kegiatan kemanusiaan seperti donor darah, kerja bakti, dan posyandu tanpa pandang beda agama. Aksi tersebut lama-lama menciptakan kedekatan emosional yang mampu mengikis stigma.
Kisah A’ryani
Masih di Garut, tidak hanya di dunia nyata, peristiwa intoleransi juga terjadi di ruang digital. Misalnya dalam sebuah grup Whatsapp, A’ryani Santoso mendapati pesan yang memojokkan agamanya.
Ada pesan stiker dengan gambar Yesus yang dibuat tak pantas, ada juga stiker bertuliskan kata “kafir”. Melihat itu, A’ryani tegas membalas, menegur si pengirim --dua orang berbeda yang menyebut hal itu sebatas candaan.
Baginya, toleransi adalah alat untuk saling mendukung dan mengisi. Simbol agama manapun harus dihormati. Ia tidak ingin ada olok-olok sekecil apapun yang dibungkus sebagai guyonan. A’ryani tahu ketika dirinya tidak boleh tinggal diam.
“Perempuan kan tidak refleks untuk melawan, tapi kalau dilatih ya pasti bisa melawan,” tutur A’ryani.
Beruntung, ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga lintas agama. Ayahnya seorang Muslim, ibunya seorang Katolik. Sejak kecil, keluarga ini menanamkan nilai cinta kasih di tengah perbedaan iman.
“Karena di rumah, kami tidak pernah ribut soal agama. Justru saling bertanya tentang pemahaman agama Islam dan Katolik, saling bertukar ilmu di sini,” kata dia.
Berangkat dari keyakinan bahwa keragaman indah bila dirayakan, A’ryani merasa ia harus bersuara. Ia begitu risih atas tudingan tak benar tentang agama yang dianutnya, yang bersumber dari dugaan keliru semata.
Lebih lantang lagi, ia ingin mengedukasi orang-orang yang enggan mengerti bahwa perbedaan agama hadir untuk dihormati. Untuk itulah A’ryani mengikuti Youth Interfaith Camp, pertemuan pemuda-pemudi lintas agama, sejak 2023 ketika usianya 15 tahun.
Ia pilih bergabung dalam kegiatan lintas iman untuk mengenal dunia heterogen yang lebih besar lagi. Ia ingin memperluas jejaring supaya bisa berbagi dengan kawan-kawan dari beragam latar belakang dan keyakinan.
Hapus prasangka
Konflik atas kebebasan beragama dan berkeyakinan hadir sebagai akibat intoleransi. Intoleransi muncul dari prasangka. Prasangka terbentuk karena ketidaktahuan.
Dalam berbagai kasus kekerasan atas nama agama di Jawa Barat, banyak faktor membuatnya terus terjadi berulang. Sebut saja kondisi ekonomi dan pendidikan yang masih senjang, hingga usaha memecah belah kerukunan demi kepentingan politik.
SETARA Institute melaporkan provinsi Jawa Barat memegang catatan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terbanyak sepanjang 2024, dengan 38 peristiwa. Posisi ini bahkan tidak berubah dari tahun sebelumnya.
Bagi Fatayat NU Jawa Barat, isu intoleransi yang mengancam perdamaian mulai menjadi perhatian serius. Itulah salah satu alasan kelompok perempuan Nahdlatul Ulama ini bergabung dalam JISRA (Joint Initiative for Strategic Religious Action), gerakan aksi perdamaian lintas iman, sejak lima tahun silam.
“Sebetulnya, masyarakat Jawa Barat yang lebih toleran banyak, tapi terkadang jadi semacam silent majority karena terlalu nyaman dengan kondisinya,” ucap Neneng Yanti Khozanatu Lahpan, Manajer Program JISRA Fatayat NU Jawa Barat.
Lewat inisiatif ini, dialog lintas iman digelar, perempuan giat terlibat, ruang aman pun diciptakan. Karena Neneng percaya, pemahaman terhadap orang lain yang berbeda bisa didapatkan dari saling bercerita secara terbuka.
JISRA Fatayat NU merangkul para tokoh agama, utamanya di Garut dan Tasikmalaya, dengan harapan agar mereka bisa memberikan pengaruh soal toleransi di komunitas masing-masing.
Di awal, upaya ini terasa sulit. Mereka menerima cibiran tapi juga sanjungan karena kelompok perempuan dianggap tak biasa menyasar “isu berat” di ranah kebangsaan.
Faktanya, perempuan layak dan perlu bergerak. Selain karena terdampak langsung, perempuan juga memiliki ketahanan dalam mengupayakan perdamaian sekalipun jalannya terjal. Itu karena sudah terbiasa menghadapi tantangan dalam hidup keseharian.
Hal lain yang juga menyulitkan, sempat ada penolakan dari kelompok yang biasanya menjadi korban. Wajar saja karena mereka punya pengalaman buruk disertai kekhawatiran.
“Tapi seiring berjalannya waktu, minoritas memiliki kepercayaan diri dan merasa diterima. Dengan sering bertemu dan ngobrol, kita jadi lebih kenal. Kalau sudah lebih kenal, prasangka semakin hilang,” kata Neneng.
Ruang dialog lintas agama itu pula yang dimanfaatkan oleh Ai dan komunitasnya. Dalam ruang perjumpaan lintas agama Kabupaten Garut, ia bisa memperkenalkan diri dan turut berkontribusi.
Ia menyuarakan narasi perdamaian dengan pendekatan khas perempuan: lembut dan penuh empati.
Menurutnya, inilah nilai tambah perempuan dalam meredam konflik intoleransi. Dengan dasar mengayomi, komunikasi antarkelompok jadi inklusif dan efektif dilakukan. Perempuan menenangkan situasi, perempuan menurunkan eskalasi.
Peran negara
Betapapun besar peranan kelompok masyarakat perempuan dalam upaya perdamaian dan resolusi konflik intoleransi keagamaan, negara tetap wajib ambil bagian dalam bentuk regulasi dan kebijakan.
Secara spesifik, Indonesia sudah mempunyai Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS), produk ejawantah Agenda Women, Peace and Security (WPS).
Jawa Barat, sejauh ini, menggunakan landasan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pemberdayaan dan Pelindungan Perempuan. Dalam konteks intoleransi, regulasi itu fokus pada tiga hal: pencegahan, penanganan, pemberdayaan secara kolaboratif.
“Pemprov Jabar berupaya memberdayakan perempuan, tidak hanya sebagai korban yang perlu dipulihkan, tetapi juga sebagai agen perdamaian yang aktif,” ujar Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Jawa Barat, Siska Gerfianti.
Pelibatan perempuan diyakini mampu menyentuh akar masalah intoleransi, mulai dari pendidikan, ekonomi, sampai advokasi untuk membangun kembali struktur sosial-budaya yang rusak akibat konflik intoleransi.
Harapannya, kerja kolaborasi semacam ini tak hanya menyelesaikan kasus intoleransi, tapi juga membangun ketahanan supaya konflik serupa tidak terulang lagi.
