Jakarta (ANTARA) - Seruan di media sosial untuk mengibarkan bendera bajak laut One Piece menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 kemerdekaan Indonesia memicu perdebatan. Ada yang menyebutnya protes simbolik, ada pula yang menganggapnya provokasi.
Simbol Jolly Roger Topi Jerami bukan sekadar lambang fiktif. Bagi jutaan penggemarnya di Indonesia, simbol ini mewakili perlawanan terhadap ketidakadilan, solidaritas, dan semangat kebebasan berekspresi.
Namun, di balik kontroversi ini, terselip potensi besar yang kerap diabaikan: kekuatan budaya populer sebagai motor ekonomi kreatif Indonesia.
Indonesia bukannya tidak memiliki produk budaya populer. Beberapa karya anak bangsa menunjukkan potensi model ekonomi kreatif seperti itu. Sebut saja Si Juki karya Faza Meonk, berkembang dari komik digital menjadi serial animasi, film layar lebar, dan produk merchandise.
Ada pula Nussa dan Rara karya The Little Giantz, sukses dari YouTube hingga layar lebar dengan ekosistem dakwah kreatif.
Tak kalah penting, BumiLangit Universe dengan karakter Gundala dan Sri Asih, membangun narasi lintas media layaknya Marvel Cinematic Universe.
Pemerintah sebenarnya menyadari potensi ini. Dalam Rapat Kerja DPR RI bersama Kementerian Ekonomi Kreatif pada Juli 2025, ekonomi kreatif dicanangkan sebagai mesin baru pertumbuhan ekonomi nasional.
Targetnya, kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 8,37 persen dan nilai ekspor 32,94 miliar dolar AS pada 2029. Sektor animasi, video, musik, aplikasi, dan gim menjadi ujung tombak.
Subsektor animasi Indonesia tercatat tumbuh 6,5 persen pada 2024 dengan nilai Rp10,78 triliun. Ekspor animasi dan video juga terus meningkat, meski dominasi Intellectual Property (IP) lokal di pasar global masih terbatas.
One Piece berkembang menjadi waralaba besar dengan pendapatan miliaran dolar dari merchandise, film, theme park, hingga kolaborasi brand ternama. Awalnya dirancang selesai dalam lima tahun, kini serial ini berjalan lebih dari dua dekade berkat narasi yang terus relevan.
Ekosistem ini menjadi contoh nyata bagaimana IP yang kuat mampu menciptakan rantai ekonomi dari kreasi, produksi, distribusi, konsumsi, hingga konservasi nilai budaya pop. Ini adalah model ekonomi kreatif berbasis IP yang layak ditiru.
Karya-karya anak bangsa tersebut sudah cukup membuktikan bahwa Indonesia sebenarnya mampu membangun IP lokal yang kuat, dengan fanbase solid dan potensi monetisasi besar.
Potensi ini seharusnya membuka gerbang bisnis beragam, dari penjualan merchandise dan adaptasi media hingga pariwisata, kuliner, bahkan teknologi.
Kekuatan utama budaya populer terletak pada kemampuannya menciptakan narasi kuat dan mengikat.
Jutaan penggemar global membentuk komunitas loyal yang tak hanya mengonsumsi, tapi juga aktif memproduksi konten turunan dan mempromosikan merek secara organik. Komunitas inilah pondasi utama pengembangan ekonomi kreatif.
Pemerintah dan industri wajib serius memanfaatkan potensi ini. Investasi pada talenta lokal—animator, komikus, desainer—sangat krusial.
Kolaborasi antara pemegang lisensi budaya populer dengan UMKM juga dapat membuka pasar baru dan mendorong inovasi produk.
*) Rioberto Sidauruk adalah Pemerhati Industri Ekraf saat ini bertugas sebagai Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI.
Baca juga: Soal bendera One Peace, Menbud minta hanya kibarkan merah putih
Baca juga: Menteri HAM nilai negara berhak larang pengibaran bendera fiksi dalam anime "One Piece"
