Polandia (ANTARA) - "Karantau madang di hulu, di rumah paguno balun," adalah pepatah Minangkabau yang bermakna jika seseorang belum mampu memberikan manfaat di kampung halamannya, sebaiknya pergi merantau untuk belajar dan mencari pengalaman.
Pepatah tersebut relevan jika disandingkan dengan sejumlah perantau Indonesia yang kini sedang mengadu nasib di banyak negara di dunia. Faktor tuntutan ekonomi, sosial, kebudayaan hingga alasan agama kerap menjadi alasan kuat bagi seseorang untuk menyeberang ke tanah yang sama sekali belum pernah ia injak.
Syaf Ruddin (63) merupakan orang Indonesia yang sudah menetap dan mengadu nasib di Polandia selama 37 tahun. Bapak dua orang anak itu bekerja sebagai staf di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Polandia.
Cerita perjuangan Syaf Ruddin puluhan tahun di jatung Eropa ia ungkapkan di sela-sela peresmian Bali Indah Cultural Park yang merupakan sebuah pusat kebudayaan Bali terbesar di Eropa tepatnya di Strzelinko, Kota Slupsk, Polandia oleh Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon.
Pusat kebudayaan Bali terbesar di Eropa tersebut memiliki luas tiga hektare dan mulai dibangun pada 2023. Peresmian Bali Indah Cultural Park sekaligus menandai hubungan diplomatik antara kedua negara yang sudah terjalin harmonis sejak 70 tahun.
Syaf Ruddin bercerita bagaimana awalnya ia bisa sampai ke negara yang berada di Eropa Tengah tersebut. Peraduan nasib yang tak menentu di Provinsi Sumatera Barat tepatnya Kota Padang, memaksa ia harus rela meninggalkan tanah nenek moyangnya.
Lelaki yang lahir di Desa Batu Manjulur, Kecamatan Kupitan, Kabupaten Sijunjung ini tak pernah berpikir apalagi sampai bercita-cita merantau ke Eropa. Pada Desember 1987, ketika ia sedang bekerja di salah satu perusahaan di kawasan Teluk Bayur, Syaf Ruddin diperintahkan majikannya untuk menjemput seseorang ke bandara.
Sebagai supir, Syaf Ruddin tentu dengan sigap mengiyakan perintah sang atasan. Namun, pikirannya mulai berkecamuk ketika ia menyadari sosok yang bakal dijemput bukanlah orang biasa, melainkan diplomat yang pernah bertugas sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Maroko dan Duta Besar Indonesia untuk Tunisia.
"Setelah mengetahui yang saya jemput Bapak Ambiar Tamala, saya cukup stres," kata Syaf Ruddin menyelami kenangan puluhan tahun silam.
Bukan tanpa alasan, ia begitu gelisah sebab kala itu tidak mampu berbahasa Inggris apalagi bahasa Arab. Dalam pikirannya, Ambiar Tamala yang dulunya bertugas di Maroko dan Tunisia itu akan berkomunikasi menggunakan salah satu dari kedua bahasa tersebut.
Dengan perasaan cemas dan khawatir yang saling berkecamuk di pikirannya, Syaf Ruddin akhirnya memberanikan diri untuk menjemput Ambiar Tamala ke bandara di Kota Padang. Namun saat bertemu, ia malah dikejutkan dengan ucapan sang diplomat.
"Wa'ang ruponyo yang manjampuik Ambo?" jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, "Kamu yang menjemput saya rupanya?"
Sontak ucapan itu dalam sekejap menghapus segala kekhawatiran yang lalu lalang dalam benak Syaf Ruddin. Ia tidak menyangka sosok yang dijemput ternyata merupakan orang Minangkabau tulen. Ialah Ambiar Tamala, merupakan seorang diplomat kelahiran Talu sebuah desa di Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat.
Ambiar Tamala adalah diplomat Indonesia yang menjabat sebagai sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Maroko dan Duta Besar Indonesia untuk Tunisia. Ia juga tercatat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Polandia yang kesembilan masa bakti 31 Agustus 1987 hingga 1991.
Dari pertemuan yang sangat berkesan itulah cerita Syaf Ruddin dimulai hingga kini ia telah berada 37 tahun di Polandia sebagai staf di KBRI untuk Polandia. Pertemuan singkat itu mengubah segalanya termasuk kehidupan Syaf Ruddin.
Terpaut hati
Syaf Ruddin pertama kali menginjakkan kaki di Polandia pada 12 Desember 1987. Keputusan besar itu ia ambil setelah menerima ajakan dari Ambiar Tamala untuk bekerja bersamanya di Polandia yang masa itu masih kuat dengan pengaruh komunis.
Di awal-awal, ia disodorkan kontrak kerja oleh Kementerian Luar Negeri per tiga tahun dan kembali diperbaharui jika berkinerja baik. Usai menyelesaikan tiga tahun pertama, Syaf Ruddin kembali menandatangani kerjasamanya.
Kali ini, perpanjangan kontrak kerja tidak hanya semata-mata tentang pekerjaan. Melainkan terdapat alasan kuat lain yang membuatnya memutuskan kembali bertahan di Polandia.
Rupanya, hati Syaf Ruddin terpaut dengan seorang perempuan Polandia bernama Katarzyna Machowiak yang kini menjadi istrinya. Pertemuan keduanya berawal saat Syaf Ruddin tampil bersama staf KBRI lainnya di Polandia.
Ketika itu, Syaf Ruddin menampilkan tari piring dan pencak silat. Hal itu sontak membuat Katarzyna terkagum akan kelihaian Syaf Ruddin. Di hari berikutnya, kedua sejoli itu kembali bertemu dan saling bertanya kabar.
"Dengan bahasa Polandia yang terbata-bata, saya memberanikan diri berbicara dengannya," kata dia mengenang.
Sejak pertemuan itu, keduanya saling jatuh cinta dan mulai membangun komitmen untuk berumah tangga. Setelah menikahi Katarzyna, Syaf Ruddin mengganti nama istrinya menjadi Katarzyna Ruddin dengan nama islamnya Fatimah Ruddin. Meskipun berada di lingkungan barat, Syaf Ruddin tidak melupakan asal usulnya.
Sebab, di hari pernikahannya Syaf Ruddin bersama sang istrinya kompak menggunakan pakaian adat Minangkabau. Ini menjadi sebuah tanda bahwa meskipun raga berada di negeri orang, namun kecintaan terhadap jati diri tidak akan dilupakan.
Syafruddin jadi Syaf Ruddin
Perjalanan hidup Syaf Ruddin tidak melulu tentang kebahagian, cinta dan kasih sayang. Ia sering mengalami pertikaian bahkan kerap dicap sebagai orang yang tidak memiliki bapak ketika masa-masa awal ia berada di Polandia.
Ia bercerita saat itu ia sering ditugasi untuk belanja ke Berlin, Jerman. Bahkan setidaknya kebiasaan itu berlangsung tiga kali dalam sebulan. Namun persoalan mulai muncul ketika ia menunjukkan identitas kepada petugas atau tentara perbatasan.
"Tentara perbatasan itu berkata kalau saya ini anak yang tidak punya bapak karena tidak ada nama keluarga di identitas saya selain Syafruddin," ujarnya.
Ucapan itu ia terima bukan sekali atau dua kali. Ia hampir terlibat adu fisik beberapa kali dengan orang yang menyebutnya anak yang tidak memiliki bapak karena namanya hanya satu suku kata yakni Syafruddin.
Bosan dengan pertikaian yang selalu ia temui terutama saat di perbatasan, Syaf Ruddin akhirnya kembali membuat keputusan besar. Ia mengubah namanya dari Syafruddin menjadi Syaf Ruddin saat memperpanjang paspor.
"Sekarang saya satu-satunya di Polandia yang menggunakan klan Ruddin," ucap dia.
Ketika ditanya kerinduannya terhadap Tanah Air, Syaf Ruddin tidak menampik akan hal itu. Hanya saja, untuk saat ini ia masih memilih untuk menetap di Polandia.
"Kalau rindu Indonesia tentu saja, tapi yang paling saya rindukan itu jengkol," ujarnya sembari tertawa.
Kisah perjuangan WNI di jantung Eropa tidak hanya tentang Syaf Ruddin. Ada juga Sri Intan, seorang perempuan asal Bali yang kini bekerja di sebuah sanggraloka di Strzelinko, Kota Slupsk, Polandia.
Sri Intan (31) mengatakan pandemi COVID-19 yang melanda dunia berujung pada perjuangannya ke Polandia. Pada 2020, ia terpaksa berhenti bekerja sebagai terapis karena pada saat itu penularan virus sangat masif.
Di saat bersamaan, ia harus menjadi tulang punggung keluarga termasuk membiayai sekolah adik-adiknya. Ia berinisiatif berselancar di dunia maya mencari lowongan kerja. Usahanya berbuah manis dan menemukan ada permintaan tenaga terapis di Polandia.
Intan menghubungi pihak agen serta mengajukan lamaran. Setelah melalui proses yang cukup lama terutama pengurusan visa, ia akhirnya diterima bekerja dan berangkat ke Polandia seorang diri tanpa didampingi seorang pun sanak keluarga.
Di masa awal kedatangannya di Polandia, Intan mengaku cukup sulit beradaptasi terhadap iklim terutama saat musim salju. Sebab, meskipun sudah bekerja di Malaysia, Sri Langka dan Maldive, ia belum pernah mendapati musim salju.
"Saya pernah merasakan minus sampai 12 dan itu sangat berat sekali," ujarnya.

Ketika itu, ia langsung jatuh sakit saat pertama kali menghadapi musim salju. Biasanya, ketika ia sakit atau kurang sehat, Intan memilih meracik obat-obatan khas Bali. Namun hal itu kini tidak bisa ia lakukan karena ketiadaan stok bahan herbal di negara itu.
Sebagai perantau, Intan mengaku nyaman bekerja di Polandia. Sebab, ia merasa masyarakat Polandia sangat ramah dan peduli terhadap orang yang sedang kesusahan.
Ia bercerita pernah suatu waktu dirinya membawa beban berat namun tiba-tiba dihampiri oleh seseorang yang tidak dikenal dan menawarkan untuk membantu membawa barang-barangnya.
Menurutnya, orang-orang di Polandia sangat menghargai kinerja seseorang. Keramahtamahan dan sikap menghargai atau mengapresiasi tersebutlah yang membuat Intan nyaman bekerja selama tiga setengah tahun di Polandia.
Sebagai perempuan Bali, Intan mengaku tetap menjaga dan memelihara tradisi masyarakat Bali di Eropa. Misalnya, mulai dari penggunaan pakaian khas Bali, makanan hingga secara rutin menjalankan rutinitas keagamaan.
"Di ini sudah ada pura yang baru selesai dibangun di Bali Indah Cultural Park tapi belum bisa digunakan. Untuk sementara, saya beribadah di kamar saja," ujarnya.
Tulang punggung
Sebagai anak sulung, Intan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya. Gaji atau pendapatan yang ia terima setiap bulan bisa dikatakan seluruhnya ia kirim ke keluarganya di Bali. Sementara untuk biaya hidup sehari-hari, ia menggunakan pemberian tip dari tamu.
Dalam sebulan, gaji pokok yang diterima Intan berkisar Rp8 hingga Rp9 juta. Namun, ia bisa mendapatkan lebih jika ditambahkan dengan tip dari tamu.
"Biasanya semua gaji yang saya terima itu saya kirim ke keluarga karena adik saya masih ada yang sekolah juga," ujarnya.
Selain berhasil membantu perekonomian keluarga, Intan juga berhasil mencarikan pekerjaan bagi adik perempuannya di Polandia. Ia berharap hal-hal yang telah dilakukan selama tiga tahun terakhir mampu memperbaiki ekonomi keluarga.
Menurutnya, keluarga terutama paman merupakan bagian terpenting selama ia mengadu nasib di perantauan. Di saat masih ada stigma kurang baik yang dilontarkan orang di kampung halaman tentang pekerjaannya, ia berusaha tegar dan ingin membuktikan anggapan itu salah.
"Beban kita itu hilang ketika keluarga mendukung kita," tuturnya.
Perjalanan hidup Syaf Ruddin dan Intan mengajarkan kita bersama bahwa sesuatu yang dicita-citakan harus terus diperjuangkan meskipun banyak terpaan badai yang silih berganti menerjang.
Tidak hanya itu, keduanya juga mengajari tentang cinta pada Tanah Air yang tiada batas di mana kecintaan itu tidak akan pernah hilang sedikitpun meski raga berada di negeri seberang.
Tidak hanya itu, dalam momentum 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia dengan Polandia yang terjalin harmonis, keberadaan WNI di Polandia maupun warga Polandia di Indonesia semakin menegaskan bahwa keduanya memiliki keterikatan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan ini bukan sekadar tentang kepentingan politik, ekonomi atau kebudayaan tetapi juga mengandung nilai-nilai kebaikan.