Depok (ANTARA) - Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Heri Hermansyah mengatakan Global South and Southeast Asia Forum 2025 merupakan wadah untuk mengembangkan kerja sama menguntungkan semua pihak dalam mengakselerasi (mempercepat) kemajuan bagi negara-negara Selatan.
Hal tersebut dikatakan Prof. Heri Hermansyah saat membuka kegiatan Global South and Southeast Asia Forum 2025 di Ruang Apung Perpustakaan UI, Kampus Depok, Rabu.
“Minggu lalu ada forum Rektor BRICS+ di Rio de Janeiro dan hari ini ada Global South and Southeast Asia di UI. Tentunya, ini adalah event yang sangat excellent. Namun, excellent saja tidak cukup. Harus ada impact dari kegiatan ini yang bisa membawa kemajuan bagi semua pihak,” ujar Heri.
Kegiatan kolaborasi antara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI dan Global South Network (GSN) ini bertujuan untuk membuka pengembangan kerja sama antar negara yang tergabung dalam Global South (dunia Selatan) dan Southeast Asia (Asia Tenggara).
Pada forum tersebut, 26 intelektual dari 10 negara membahas topik-topik krusial di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, keberlanjutan lingkungan, hingga energi terbarukan.
Mereka berasal dari Indonesia, Singapura, China, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Filipina, Thailand, Timor-Leste, dan Brunei Darussalam.
Rektor menambahkan bahwa Indonesia memiliki banyak potensi di bidang sosial, ekonomi, maupun biodiversity.
"Sayangnya, banyak potensi yang belum digali dan dimunculkan. Potensi-potensi tersebut dapat memicu kerja sama lebih lanjut bagi para pemimpin yang hadir dalam forum tersebut," katanya.
Penguatan kerja sama ini diharapkan dapat memberikan dampak yang mendatangkan keuntungan terutama bagi semua pihak di dunia selatan dan Asia Tenggara.
Sementara itu, inisiator GSN sekaligus Chairman of Beijing Longway Economic and Social Research Foundation, Yang Ping mengatakan GSN memiliki misi untuk membina model pembangunan dan sistem wacana pengetahuan yang berakar pada realitas sejarah, budaya, dan nasional masing-masing negara, wilayah, dan kelompok etnis, serta menggunakannya untuk memandu usaha pembangunan negara-negara Selatan.
Menurutnya, saat ini negara-negara Selatan tengah memasuki era kebangkitan intelektual. Di jalur modernisasi, negara-negara Selatan harus membangun kesadaran epidemi dan subyektivitas intelektual, serta melepaskan diri dari meniru dan bergantung pada pengetahuan Barat.
Asia Tenggara, sebagai tetangga dekat Tiongkok dan kekuatan penting di Global South, membutuhkan persatuan yang lebih besar. Untuk itu, komunitas intelektual di Tiongkok dan Asia Tenggara bertanggung jawab untuk mempromosikan persatuan Global South dan Southeast Asia.
“Saat dunia memasuki era ketidakstabilan dan kompleksitas, pergolakan di Amerika Serikat dan Barat mengarahkan umat manusia menuju masa depan yang tidak dapat diprediksi," ujarnya.
Oleh karena itu, Global South harus berperan aktif dan kaum intelektual di wilayah ini harus berpartisipasi dalam pembangunan. Kami percaya bahwa intelektual yang bijaksana pasti memiliki pengetahuan, tetapi akademisi yang berpengetahuan belum tentu bijaksana.