Jakarta (ANTARA) - Di tengah tantangan ekonomi global dan ketimpangan pembangunan antara kota dan desa, Presiden Prabowo Subianto meluncurkan program Koperasi Desa Merah Putih untuk membentuk koperasi di 70.000 hingga 80.000 desa di seluruh wilayah Indonesia, dengan alokasi dana sebesar Rp3 M-Rp5 M untuk setiap koperasi.
Program ini bukan hanya sekadar kebijakan ekonomi, tetapi juga wujud nyata dari semangat gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Dengan memanfaatkan kekuatan kolektif masyarakat desa, koperasi ini bertujuan menciptakan kemandirian ekonomi yang berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan terhadap pihak luar.
Di satu sisi, kebijakan ini membuka peluang besar bagi masyarakat desa untuk lepas dari jerat kemiskinan dan ketergantungan pada pihak luar.
Namun, di sisi lain, muncul berbagai pertanyaan politik mengenai bagaimana koperasi ini akan dikelola, siapa yang akan mendapat manfaat terbesar, dan bagaimana dampaknya terhadap struktur kekuasaan di tingkat lokal.
Bagaimanapun, dengan kolaborasi yang baik antara pemerintah, kepala desa, dan masyarakat, koperasi ini dapat menjadi alat transformasi sosial-ekonomi yang membawa desa menuju masa depan yang lebih sejahtera dan mandiri.
Tantangan atau peluang?
Salah satu perdebatan utama mengenai koperasi ini adalah apakah kebijakan tersebut memperkuat otonomi desa atau justru memperbesar kontrol pemerintah pusat. Dengan adanya dana desa yang dialihkan ke koperasi nasional, beberapa pihak khawatir bahwa desa akan kehilangan kendali atas kebijakan ekonomi mereka sendiri.
Namun, jika dikelola dengan transparansi, koperasi ini justru bisa menjadi alat pemberdayaan yang memperkuat posisi desa dalam menentukan arah pembangunan mereka. Kuncinya adalah memastikan bahwa koperasi ini tetap berakar pada kebutuhan lokal, bukan sekadar program top-down dari pemerintah pusat.
Dengan adanya koperasi di setiap desa, kepala desa memiliki peran strategis dalam mengawal implementasi kebijakan ini. Beberapa pihak mungkin melihatnya sebagai alat mobilisasi politik menjelang pemilu, di mana kepala desa yang mendukung program ini akan lebih diuntungkan dibandingkan yang menolak.
Apabila dijalankan dengan adil, koperasi ini bisa menjadi wadah kolaborasi antara pemerintah pusat dan desa, di mana desa memiliki kesempatan lebih besar untuk mengelola dana sendiri dan membangun kemandirian ekonomi tanpa intervensi politik yang berlebihan.
Seperti halnya program berbasis anggaran negara lainnya, selalu ada risiko bahwa dana koperasi bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu. Namun, dengan sistem pengawasan yang baik, misalnya melalui partisipasi aktif masyarakat dan digitalisasi laporan keuangan, koperasi ini justru bisa menjadi model baru bagi transparansi pengelolaan dana desa di Indonesia.
Perlu sosialisasi
Peneliti senior dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli mengatakan bahwa pembentukan Koperasi Desa Merah Putih perlu sosialisasi yang sifatnya harus berdasarkan aspirasi dari bawah sehingga tidak ada resistensi dari para kepala desa.
“Sesuai dengan hakekat dari koperasi itu sendiri yang bersifat sukarela dan gotong royong,” kata Lili.
Selain itu, pembentukan koperasi tersebut juga harus diselaraskan dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang merupakan amanah dari UU Desa.
Menurutnya, keberadaan Koperasi Merah Putih juga bisa menjadi bagian dari BUMDes, di mana di dalam koperasi tersebut ada dana dari BUMDes sebagai dana kepesertaan.
Kolaborasi dan manfaat
Terlepas dari berbagai tantangan politik yang menyertainya, Koperasi Desa Merah Putih menawarkan manfaat nyata bagi masyarakat.
Pertama, meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Dengan akses modal yang lebih mudah, masyarakat desa bisa mengembangkan usaha pertanian, peternakan, dan industri kecil tanpa harus bergantung pada pinjaman berbunga tinggi.
Kedua, memperkuat ketahanan ekonomi desa. Koperasi ini bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi ketimpangan ekonomi antara desa dan kota, serta menciptakan sistem ekonomi yang lebih berkelanjutan dan berbasis komunitas.
Ketiga, mendorong semangat gotong royong. Alih-alih menjadi instrumen politik yang memecah belah, koperasi ini justru bisa menjadi simbol persatuan dan gotong royong di tingkat desa, di mana masyarakat bekerja bersama untuk meningkatkan kesejahteraan bersama.
Keempat, membuka ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat. Dengan adanya koperasi, masyarakat desa memiliki forum baru untuk berdiskusi dengan pemerintah mengenai arah pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa kebijakan ini benar-benar untuk rakyat, bukan sekadar agenda politik.
Tidak dapat disangkal bahwa setiap kebijakan ekonomi besar selalu memiliki dimensi politik. Namun, apakah Koperasi Desa Merah Putih akan menjadi alat pemberdayaan atau sekadar instrumen politik, sepenuhnya bergantung pada bagaimana pengelolaannya.
Dengan pendekatan yang transparan, partisipatif, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, koperasi ini bisa menjadi warisan penting bagi pembangunan desa di Indonesia.
Ini adalah saatnya bagi pemerintah, kepala desa, dan masyarakat untuk berkolaborasi, memastikan bahwa koperasi ini benar-benar membawa perubahan positif dan bukan hanya menjadi wacana politik semata.
Desa yang kuat adalah Indonesia yang kuat. Koperasi Desa Merah Putih bisa menjadi langkah awal menuju masa depan yang lebih mandiri dan sejahtera.